15 November 2015

opini musri nauli : CATATAN HUKUM KEBAKARAN HUTAN



Musim hujan telah tiba beberapa hari sebelum kedatangan Jokowi. Musim hujan kemudian menimbulkan udara yang cerah di langit Jambi.

Namum melupakan kebakaran dan asap tahun 2015 adalah kesalahan yang tidak pantas kita ulangi. Catatan hokum menggambarkan bagaimana pola dan upaya sistematis untuk menutupi kejahatan kebakaran dan melepaskan tanggungjawab korporasi berhasil saya tuliskan.
Upaya dimulai dengan sangat rapi. Ketika awal kebakaran Juli 2015, entah sengaja memang “koor”, korporasi kemudian berteriak serentak. “Tidak mungkin korporasi” melakukan kebakaran di areal izin konsensi”.

Dengan bantahan dari korporasi, public seakan-akan mahfum dan sedikit berkonsentrasi terhadap pelaku perseorangan. Namun berbeda dengan bantahan dari korporasi, data-data Walhi Jambi tahun 2015 jelas menunjukkan. Titik api berasal di konsesi perusahaan. Walhi Jambi sudah menegaskan. sekitar 80 % titik api di areal korporasi. Angka ini kemudian tidak sebanding dengan diseretnya pelaku di tingkat penyidikan. Dari 15 perusahaan yang disebut-sebut, hanya 4 yang baru ke tingkat penyidikan. Angka yang rendah dibandingkan dengan perseorangan yang mencapai 28 orang.

Dengan melihat titik api dan dilakukan peninjauan dilapangan dengan menggunakan titik koordinat GPS (groundcheck), titik api kebakaran jelas menunjukkan korporasi tidak dapat melepaskan tanggungjawab. Perusahaan yang tergabung di group besar telah ditemukan titik api sehingga tidak dapat dilepaskan tanggungjawab secara hokum.

Pertanyaan hukum apakah perusahaan yang melakukan pembakaran atau izin konsensi telah terbakar tidak menjadi penting dalam pembuktikan. Prinsip “strict Liability” esensi penting dalam pasal 48, pasal 49 UU Kehutanan, Pasal 56 UU Perkebunan, Pasal 18 PP No. 4 tahun 2001, Pasal 20 PP No. 45 tahun 2004 dan Permentan No. 47 tahun 2014 telah menegaskan. Kebakaran merupakan “tanggungjawab perusahaan”. Tanggungjawab tidak melihat sebab terjadinya kebakaran. Kebakaran yang terjadi merupakan tanggungjawab secara hokum dari korporasi.  Dalam sistem hokum Anglo Saxon, mekanisme ini biasa dikenal dengan asas “liability without fault”. 

Sehingga bantahan dari korporasi yang mengatakan tidak mungkin korporasi melakukan pembakaran tidak tepat secara hokum.

Upaya kedua dilakukan dengan desain membantah “keterlibatan korporasi”. Dengan slogan, tidak hanya kebakaran terjadi di areal perusahaan, tapi pelaku juga berasal dari masyarakat yang melakukan pembakaran. Rujukannya jelas. UU Lingkungan hidup mengatur tentang “pembolehan masyarakat untuk membakar diarealnya.

Bantahan ini mungkin tidak tepat secara hokum. Dengan menunjuk kepada masyarakat yang dibenarkan untuk membakar, maka upaya ini tidak dapat melepaskan tanggungjawab perusahaan dari hokum.

Prinsip “strict liability” tidak dapat melepaskan tanggungjawab perusahaan dari titik api yang terdapat di arealnya. Prinsip ini juga tidak dapat melepaskan tanggungjawab dengan mekanisme pembagian resiko kerugian. Sebuah mekanisme yang biasa dikenal didalam sistem hokum konsumen.

Dalam persoalan kebakaran, perusahaan tidak dapat melepaskan tanggungjawab terjadinya kebakaran di areal konsensinya. Dengan merujuk prinsip “perusahaan bertanggungjawab dengan melihat dampak” maka perusahaan tidak dapat melepaskan dengan alasan sebab. Dalam pembuktian, dampak kebakaran sudah begitu massif sehingga hokum memudahkan pembuktian sehingga sebab menjadi tidak penting untuk melihat pertanggungjawaban.

Dalam catatan penulis, dengan luas gambut yang terbakar hingga mencapai 33 ribu ha, menghentikan penerbangan 3 bulan lebih, angka ISPU mencapai 1200 pm bahkan telah merenggut nyawa anak-anak adalah fakta yang tidak terbantahkan. Angka ini harus diminta pertanggungjawaban kepada para pemegang izin yang tidak mampu mengelola arealnya.

Mekanisme inilah yang dimudahkan dalam sistem hokum. Beban pembuktian justru diletakkan kepada para pemegang izin. Pemegang izin harus mampu membuktikan dia mampu mengelola izin. Dengan mengabaikan kemampuan mengelola izin sehingga terjadinya kebakaran di arealnya, hokum harus memberikan punishment dengan meminta pertanggungjawaban. Mekanisme inilah yang membedakan dengan pertanggungjawaban yang tetap meletakkan “pembagian resiko” dalam persoalan konsumen di Indonesia.

Sehingga bantahan dari perusahaan, bahwa penyebab kebakaran tidak hanya terjadinya di arealnya tidak dapat diterima secara hokum.

Melihat begitu “gigihnya” korporasi melepaskan tanggungjawab dari persoalan kebakaran dan asap tahun 2015 membuat kita harus mempersiapkan diri bagaimana upaya serius dari korporasi. Energi kita memang diperlukan untuk mempersiapkan diri sebagai bagian bentuk perlawanan akibat kebakaran dan asap tahun 2015.

Upaya yang dilakukan selain telah dilakukan oleh lembaga lingkungan hidup yang terus menyuarakan kebakaran yang terjadi di areal perusahaan, juga menyampaikan akibat buruk dari asap terhadap kesehatan dan kehidupan manusia. Upaya ini akan terus kita lakukan hingga kita bisa memastikan agar persoalan ini dapat dijawab oleh hokum sebagai bentuk pertanggungjawaban dari korporasi.