Musim hujan telah tiba beberapa
hari sebelum kedatangan Jokowi. Musim hujan kemudian menimbulkan udara yang
cerah di langit Jambi.
Namum melupakan kebakaran dan asap
tahun 2015 adalah kesalahan yang tidak pantas kita ulangi. Catatan hokum
menggambarkan bagaimana pola dan upaya sistematis untuk menutupi kejahatan
kebakaran dan melepaskan tanggungjawab korporasi berhasil saya tuliskan.
Upaya dimulai dengan sangat rapi.
Ketika awal kebakaran Juli 2015, entah sengaja memang “koor”, korporasi
kemudian berteriak serentak. “Tidak mungkin korporasi” melakukan kebakaran di
areal izin konsensi”.
Dengan bantahan dari korporasi,
public seakan-akan mahfum dan sedikit berkonsentrasi terhadap pelaku
perseorangan. Namun berbeda dengan bantahan dari korporasi, data-data Walhi
Jambi tahun 2015 jelas menunjukkan. Titik api berasal di konsesi perusahaan.
Walhi Jambi sudah menegaskan. sekitar 80 % titik api di areal korporasi. Angka
ini kemudian tidak sebanding dengan diseretnya pelaku di tingkat penyidikan.
Dari 15 perusahaan yang disebut-sebut, hanya 4 yang baru ke tingkat penyidikan.
Angka yang rendah dibandingkan dengan perseorangan yang mencapai 28 orang.
Dengan melihat titik api dan
dilakukan peninjauan dilapangan dengan menggunakan titik koordinat GPS
(groundcheck), titik api kebakaran jelas menunjukkan korporasi tidak dapat
melepaskan tanggungjawab. Perusahaan yang tergabung di group besar telah
ditemukan titik api sehingga tidak dapat dilepaskan tanggungjawab secara hokum.
Pertanyaan hukum apakah perusahaan
yang melakukan pembakaran atau izin konsensi telah terbakar tidak menjadi
penting dalam pembuktikan. Prinsip “strict Liability” esensi penting dalam
pasal 48, pasal 49 UU Kehutanan, Pasal 56 UU Perkebunan, Pasal 18 PP No. 4
tahun 2001, Pasal 20 PP No. 45 tahun 2004 dan Permentan No. 47 tahun 2014 telah
menegaskan. Kebakaran merupakan “tanggungjawab perusahaan”. Tanggungjawab tidak
melihat sebab terjadinya kebakaran. Kebakaran yang terjadi merupakan
tanggungjawab secara hokum dari korporasi.
Dalam sistem hokum Anglo Saxon, mekanisme ini biasa dikenal dengan asas
“liability without fault”.
Sehingga bantahan dari korporasi
yang mengatakan tidak mungkin korporasi melakukan pembakaran tidak tepat secara
hokum.
Upaya kedua dilakukan dengan
desain membantah “keterlibatan korporasi”. Dengan slogan, tidak hanya kebakaran
terjadi di areal perusahaan, tapi pelaku juga berasal dari masyarakat yang
melakukan pembakaran. Rujukannya jelas. UU Lingkungan hidup mengatur tentang
“pembolehan masyarakat untuk membakar diarealnya.
Bantahan ini mungkin tidak tepat
secara hokum. Dengan menunjuk kepada masyarakat yang dibenarkan untuk membakar,
maka upaya ini tidak dapat melepaskan tanggungjawab perusahaan dari hokum.
Prinsip “strict liability” tidak
dapat melepaskan tanggungjawab perusahaan dari titik api yang terdapat di
arealnya. Prinsip ini juga tidak dapat melepaskan tanggungjawab dengan
mekanisme pembagian resiko kerugian. Sebuah mekanisme yang biasa dikenal
didalam sistem hokum konsumen.
Dalam persoalan kebakaran,
perusahaan tidak dapat melepaskan tanggungjawab terjadinya kebakaran di areal
konsensinya. Dengan merujuk prinsip “perusahaan bertanggungjawab dengan melihat
dampak” maka perusahaan tidak dapat melepaskan dengan alasan sebab. Dalam pembuktian,
dampak kebakaran sudah begitu massif sehingga hokum memudahkan pembuktian
sehingga sebab menjadi tidak penting untuk melihat pertanggungjawaban.
Dalam catatan penulis, dengan luas
gambut yang terbakar hingga mencapai 33 ribu ha, menghentikan penerbangan 3
bulan lebih, angka ISPU mencapai 1200 pm bahkan telah merenggut nyawa anak-anak
adalah fakta yang tidak terbantahkan. Angka ini harus diminta
pertanggungjawaban kepada para pemegang izin yang tidak mampu mengelola
arealnya.
Mekanisme inilah yang dimudahkan
dalam sistem hokum. Beban pembuktian justru diletakkan kepada para pemegang
izin. Pemegang izin harus mampu membuktikan dia mampu mengelola izin. Dengan
mengabaikan kemampuan mengelola izin sehingga terjadinya kebakaran di arealnya,
hokum harus memberikan punishment dengan meminta pertanggungjawaban. Mekanisme
inilah yang membedakan dengan pertanggungjawaban yang tetap meletakkan “pembagian
resiko” dalam persoalan konsumen di Indonesia.
Sehingga bantahan dari perusahaan,
bahwa penyebab kebakaran tidak hanya terjadinya di arealnya tidak dapat
diterima secara hokum.
Melihat begitu “gigihnya”
korporasi melepaskan tanggungjawab dari persoalan kebakaran dan asap tahun 2015
membuat kita harus mempersiapkan diri bagaimana upaya serius dari korporasi.
Energi kita memang diperlukan untuk mempersiapkan diri sebagai bagian bentuk
perlawanan akibat kebakaran dan asap tahun 2015.
Upaya yang dilakukan selain telah
dilakukan oleh lembaga lingkungan hidup yang terus menyuarakan kebakaran yang
terjadi di areal perusahaan, juga menyampaikan akibat buruk dari asap terhadap
kesehatan dan kehidupan manusia. Upaya ini akan terus kita lakukan hingga kita
bisa memastikan agar persoalan ini dapat dijawab oleh hokum sebagai bentuk
pertanggungjawaban dari korporasi.