Dunia
politik Indonesia sedang “memasuki suasana suram”. Ikrar Koalisi Merah Putih
(KMP) yang digawangi oleh Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Golkar, PPP,
PAN, PKS ketika Pipres 2014 dan “memperkuat koalisi parlemen”. Pelan tapi pasti,
kemenangan berbagai posisi kunci di MPR dan DPR “Berhasil dikuasai”. Termasuk
menggolkan” paket UU MD3.
Kebutuhan
oposisi yang kuat diperlukan di alam demokrasi yang sehat. Partai-partai
pendukung seperti PDIP, PKB, Partai Hanura dan Partai Nasdem tentu
berkonsenstrasi “mewujudkan” nawa cita Jokowi dan berbagai janji kampanye dan
sulit diharapkan menjadi kritis terhadap program-program Pemerintah. Rakyat
kemudian “disuguhi” alunan orchestra yang sama dan tidak diberi pilihan
terhadap program Pemerintah.
Sehingga
tidak salah kemudian public berharap “suara di parlemen” akan menambah kekayaan
demokrasi di Indonesia.
Namun
belum seumur jagung suasana demokrasi dirasakan oleh rakyat, arus balik
mendukung Pemerintah mulai berdatangan. Terpilihnya Zulkilfi Hasan (Ketua MPR) menumbangkan Hatta Rajasa di PAN
membuat bandul politik bergerak ke Pemerintah. Kedatangan ZN ke istana disusul
kemudian Presiden PKS Sohibul Iman (Presiden PKS yang menggantikan Anis Matta)
membuat peta KMP menjadi berubah. Walaupun dengan tegas PAN dan PKS masih
menyatakan “masih berada di KMP”, namun kekuatan KMP menjadi berkurang.Ditambah
dukungan dari PPP dan Partai Golkar membuat KMP menjadi “berantakan”. Praktis
tinggal Partai Gerindra yang belum merapat ke Pemerintah. Partai Demokrat pun tidak bisa diharapkan akan mendukung KMP
karena sejak awal partai tersebut terang-terangan memilih menjadi kekuatan
tersendiri, bukan bagian dari koalisi mana pun.
Berbagai
kebijakan Pemerintah seperti polemik pencalonan dan pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai kapolri, soal PMN (Penyertaan Modal Negara
untuk BUMN). praktis “aman” didukung oleh parlemen.
Tentu saja, sebagai “pemain
politik”, Jokowi memainkan berbagai gaya yang unik. Dengan “ciamik”, Jokowi
memainkan “pertarungan” dengan KMP saat persoalan Komjen Budi Gunawan untuk
menghindarkan “pertarungan terbuka” dengan KIH.
Dengan “bungkus”
silahturahmmi”, Jokowi bertemu dengan Prabowo sebagai “orang penting” di KMP.
Prabowo kemudian mengumpulkan “petinggi” KMP dan mengirimkan signal kepada
Jokowi agar tidak melantik Komjen Budi Gunawan.
Kemudian “membuka ruang”
kepada PAN dan PKS sebagai pesan “kekuatan personal” Jokowi sebagai
“bargaining” politik untuk menghindarkan “desakan dari KIH.
Peta kemudian terbelah. KIH tidak
solid yang ditandai dengan “sikap kritis” terhadap berbagai program pemerintah.
Sementara KMP kemudian “bubar secara de facto” dengan dukungan dari parta
pendukung KMP (seperti PAN dan PKS) dan diikuti PPP dan Partai Golkar. Praktis
tinggal Partai Gerindra dan Partai Demokrat yang “tidak merapat” ke pemerintah.
Dalam menyukseskan agendanya,
Jokowi “memainkan emosi public” sebagai pressure terhadap agenda yang
ditawarkan. Kasus “pelemahan” KPK dan kasus “papa minta saham”, Jokowi
memainkan “daya lenting” untuk menekan MKD agar memutuskan rantai kekuatan
terhadap Setya Novanto. MKD kemudian bergeming dan Setya Novanto kemudian
mengundurkan diri dari DPR-RI.
Dengan melihat dinamika
politik, maka kekuatan KMP sebagai “oposisi di parlemen” menjadi masa lalu.
Kekuatan “ikrar permanen” cuma seumur jagung.
Namun justru public dan
rakyat menjadi dirugikan. Jokowi menjadi “pemain” unggul dan tidak bisa
dikontrol. Praktis Partai Gerindra yang memainkan “oposisi di senayan”, Parlemen
kemudian menjadi “stempel” berbagai kebijakan. Dan itu berbahaya bagi tumbuhnya
iklim demokrasi.
Sikap tegas Partai Gerindra
yang tetap memilih “oposisi” adalah pelajaran penting bagi demokrasi. Kita
harus memberikan apresiasi kepada Partai Gerindra yang masih tetap kokoh
mengambil sikap “memperkuat di parlemen”. Sikap Partai Gerindra adalah contoh
demokrasi yang sehat di tengah “pragmatis” oposisi yang ditinggalkan oleh
partai pendukung KMP.
Partai Gerindra harus
bersabar dalam demokrasi di Indonesia. Sebuah pelajaran yang telah ditunjukkan
oleh PDIP dalam putaran dua kali pemilu dan kemudian “meraih” pemenang Pemilu
dan mengantarkan Jokowi sebagai Presiden.