Marga
Senggrahan termasuk kedalam Luak XVI. Luak XVI terdiri dari Marga Serampas,
Marga Sungai Tenang, Marga Peratin Tuo, Marga Tiang Pumpung dan Marga Renah
Pembarap.
Kata
“senggrahan” berasal dari kata “pesanggrahan”. Artinya “persinggahan” Raja Jambi dari Tanah
Pilih sebelum pergi berburu.
Marga
Senggrahan terdiri dari Dusun Kandang, Dusun Lubuk Beringin, Dusun Lubuk Birah
dan Dusun Durian Rambun. Setiap dusun dipimpin pemangu Pemerintahan yang diberi
gelar. Depati Tiang Menggalo di Dusun Kandang, Depati Surau Gembala Halim di
Dusun Klipit, Depati Kurawo di dusun Lubuk Beringin, Depati Renggo Rajo di
Lubuk Birah dan Rio Kemunyang di Dusun Durian Rambun. Nama Rio Kemunyang
kemudian dijadikan nama Hutan Desa.[1]
Lubuk
Beringin dikenal sebagai “Beringin”
yang lebat. Beringin yang lebat merupakan Tempat orang banyak berkumpul.
Lubuk
Birah berasal dari kata “birah”.
Artinya Gelembung atau jin. Terletak di Pematang Tebat. Lubuk Birah merupakan
tempat tinggal selungkup. Daun selungkup mirip dauh keladi. Daun Selungkup
tidak tenggelam di air.
Dalam
cerita tutur dari masyarakat, ketika banjir menghantam daerah Lubuk Birah,
tempat yang tidak dimasuki banjir cuma terletak di daerah daung selungkup.
Daerah yang tidak terkena banjir inilah yang kemudian menjadi pemukiman di
Lubuk Birah. Untuk mengenang daerah aman dari banjir, maka mereka kemudian
menyebutkan “Birah”. Daerah birah terletak di Lubuk. Sehingga kemudian
dinamakan Lubuk Birah[2].
Sedangkan
Durian Rambun dikenal didalam cerita rakyat sebagai durian yang bertakuk
rambutan. Menurut kepercayaan masyarakat, pohon durian tidak boleh ditebang
(ditutu). Salah seorang kemudian menebang pohon rambutan. Namun akibat pohon
rambutan ditebang dan mengenai pohon durian, maka kemudian sang penebang pohon
dijatuhi sanksi. Namun sang penebang protes karena tidak pernah menebang pohon
durian. Padahal yang ditebang cuma pohon durian.
Untuk
mengenang cerita rakyat, maka dusun kemudian disebut Durian rambun. Cerita yang
sama juga diceritakan oleh Ketua Lembaga Adat Desa Durian Rambun[3].
Mereka
mengaku sebagai “Serampas rendah”.
Sebagai bagian dari ikrar marga Serampas yang kemudian “beladang jauh” ke
Senggrahan.
Hubungan
kekerabatan dengan Marga Tiang Pumpung, Marga Renah Pembarap ditandai dengan
seloko “Gedung di tiang pumpung, Pasak di
Pembarap. Dan kunci di Senggrahan[4].
Mereka mengaku keturunan dari Sri Saidi
Malin Samad. Sri Saidi Malin Samad mempunyai saudara Siti Baiti dan Syech Raja.
Syech Raja diakui sebagai “puyang” Renah Pembarap. Sedangkan Siti Baiti
“puyang” Marga Tiang Pumpung.
Selain
itu juga hubungan kekerabatan antara Marga Senggrahan begitu kuat dengan Marga
Renah Pembarap. Masyarakat Marga Senggrahan mengaku banyak berasal dari Marga
Renah Pembarap. Cerita ini dikuatkan dari Guguk dan Lubuk Beringin.
Tambo
Marga Senggrahan berbatas dengan Marga Peratin Tuo, Marga Tiang Pumpung, Marga
Pangkalan Jambu, Marga Renah Pembarap. Marga Peratin Tuo ditandai dengan tambo
seperti “hulu sungai Birun ke bukit Majo, terus ke napal takuk rajo (Dusun
Sepantai).
Sedangkan
Tiang Pumpung dengan Tambo “Renah kayu Gedang mendaki Bukit punggung Parang”.
Terus Renah Bilut yang terletak di Badak Tekurung.
Marga
Pangkalan Jambu ditandai dengan Tambo “Bukit Sengak terus Renah Hutan udang. Terus
Bukit Kapung Sungai Tinggi balek ke Belalang Bukit Gagah Berani
Marga
Renah Pembarap ditandai dengan Hilir Bukit Kemilau Rendah terus ke Bukit
Kemilau Tinggi terus bukit tepanggang. Terus ke Sri Serumpun Muara Nilo. Bukit
tepanggang berbatas juga dengan Guguk yang termasuk kedalam marga Renah
Pembarap[5].
Batas
antara Marga Senggrahan dengan Marga Pangkalan Jambi merupakan keunikan. Marga
Senggrahan menyebutkan Bukit Kapung Sungai Tinggi Bane Belalang Bukit Gagah
berani”. Sedangkan Marga Peratin Tuo menyebutkan “Bukit berani. Sedangkan Marga
Pangkalan Jambu menyebutkan “Bukit lipai besibak. Lubuk Birah juga menyebutkan
“Bukit Lipai besibak”[6].
Bukit
Kapung Sungai Tinggi Bane Belalang Bukit Gagah berani” atau “Bukit berani” atau
“Bukit lipai besibak menunjukkan tempat yang sama. Atau dengan kata lain, penamaan
yang berbeda namun menunjuk tempat yang sama.
Marga
Senggrahan termasuk kedalam Luak XVI. Dalam bukunya “Djambi”, Tideman
menyebutkan “Luak XVI merupakan federasi.
Luak XVI merupakan 10 Marga di Kerinci dan 6 Marga di Bangko. Bersama-sama
dengan Serampas, Sungai Tenang, Peratin Tuo, Tiang Pumpung, Renah Pembarap
mengaku berasal dari Mataram (Jawa)[7].
Tideman kemudian menyebutkan “Senggrahan termasuk kedalam Sungai Manau”. Senggrahan
bersama-sama dengan Pratin Tuo dan Mesoemai”[8].
Dusun
Kandang kemudian masuk kedalam Dusun Lubuk Beringin. Dusun Lubuk Beringin,
Dusun Lubuk Birah dan Dusun Durian rambun kemudian masuk kedalam Kecamatan
Muara Siau. Sehingga nama Marga Senggrahan praktis tidak tertinggal selain
cerita rakyat dan dokumen sejarah lainnya.
Tidak
ada satupun ornament yang tersisa mengenai Marga Senggrahan. Namun tutur cerita
dari rakyat, masyarakat masih mengenal dengan baik tentang Marga Senggrahan.
Baca : istilah Marga di Jambi
[1] Peraturan Desa Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Kelembagaan
dan Pengelolaan Hutan Desa Rio Kemunyang Desa Durian Rambun
[2] Kepala Dusun Lubuk Beringin, Desa Lubuk Beringin 27
Maret 2016
[3] Lembaga Adat Desa Durian Rambun, Desa Durian Rambun, 28
Maret 2016
[4] Seloko ini juga disebutkan oleh Samsuddin, Lembaga
Adat Kecamatan Renah Pembarap, Guguk, 16 Maret 2016
[5] Samsuddin, Guguk, 16 Maret 2016. Guguk termasuk
kedalam Marga Renah Pembarap.
[6]
Pertemuan di Muara Siau, Muara Siau, Mei 2011
[7] Djambi, bewerkt door J.
Tideman, met medewerking, Bruk de Bussy, 1938, , Hal.
134
[8] Djambi, bewerkt door J.
Tideman, met medewerking, Bruk de Bussy, 1938, , Hal,
131