30 Maret 2016

opini musri nauli : Nama Alay Taman Kota


Istilah “Jomblo” kemudian memantik diskusi. Apakah Kota Jambi kekurangan istilah sehingga taman sebagai area public kemudian dinamakan “Jomblo.


Dari pendekatan historis, penggunaan kata “Jomblo” menimbulkan tafsiran yang beragam. Tafsiran pertama kemudian mengerucut. Siapa yang mengusulkan sehingga kata “jomblo” rela diberikan kepada taman. Sebuah “pelajaran” sejarah yang kemudian akan dipersoalkan generasi selanjutnya.

Pendekatan kedua. Mengapa Jambi kemudian tidak memikirkan penggunaan kata “jomblo” terkesan main-main, tidak mempunyai makna sehingga menimbulkan kerutan kening bagi pendatang ke Jambi.


Kata Jomblo tidak ditemukan didalam kamus Bahasa Indonesia, kesusteraan Indonesia, kata mutiara Jambi, seloko hingga berbagai kalimat bijaksana di Jambi.


Kata Jomblo hidup dalam pergaulan anak-anak muda sebagai padanan kata “sendirian” atau belum mempunyai pasangan. Kata-kata ini menjadi pembicaraan bahasa “alay” dari generasi muda tanpa identitas. Selain kata-kata jomblo juga dikenal istilah TTM (Teman tapi mesra), PHP (Pemberi harapan palsu), jablay (jarang dibelai).


Generasi tanpa identitas sering kali membuat istilah yang bikin runyam. Bonyok sebagai singkatan bokap (bapak) dan Nyokap (ibu). TTDJ (Hati-hati di jalan). Atau penulisan yang membikin guru Indonesia sering marah. Kata Desi sering diplesetkan ‘d351”, aku dituliskan “aKu”, saya dituliskan “1”, “u n m det. Nah siapa yang tahu kata itu. Ya. You and me death. Artinya hubungan berakhir. Nah. Bagaimana ? Apakah tidak pusing dengan bahasa alay.


Nama-nama alay kemudian sering dijadikan “pemasaran” dari produk makanan (sebenarnya makanan yang biasa sering ada di warung). Seperti “bakso setan”. Padahal yang dijual adalah bakso. Bukan yang menjual bakso setan. Ketika ditanyakan mengapa dinamakan “bakso setan”, dengan enteng penjual menjawab “kalo bakso dijual  tengah malam, ya berarti yang membeli bakso berarti setan”. Nah. Loh. Bagaimana hubungan nama “bakso setan” dengan jawaban sekedarnya dari sang penjual bakso.


Dengan demikian, maka istilah di kalangan generasi alay selain tidak merujuk kepada kaidah tata bahasa, tidak mempunyai akar sejarah, juga “terkesan” mengikuti trend anak muda generasi alay. Generasi alay kemudian akan terlindas dengan putaran zaman dengan istilah-istilah baru.


Namun belum sempat kita membenahi gaya bahasa Alay, gaya Alay kemudian dijadikan nama taman di area public. Sehingga tidak salah kemudian, tugas kita mengembalikan “daya nalar” kembali wajar kemudian menemukan masalah dengan penamaan taman.


Padahal masih banyak nama-nama yang bisa menginspirasi kaum muda untuk mengenal kota Jambi. Nama-nama seperti Orang Kayo Pedataran, Orang Kayu Gemuk, Dara Jingga dan Dara Petak dapat digunakan. Atau menggunakan cerita kepahlawanan (epos) seperti Pamalayu, Sinancan.  Atau dengan nama dari cerita rakyat seperti “angso duo”,


Orang Kayo Pedataran merupakan putra dari Datuk Paduko Berhalo. Datuk Paduko Berhalo menikah dengan Putri Pinang Masak. Orang Kayo Pedataran merupakan saudara dari Orang kayo Hitam, Orang Kayo Pingai dan Orang Kayu Gemuk. Orang Kayo Hitam kemudian menikah dengan Putri Mayang Mengurai.


Penggunaan nama “Orang Kayo Pingai” sudah ditempatkan sebuah jalan di Talang Banjar. Kata “Mayang Mengurai” selain nama Hutan kota juga penamaan daerah di ujung sipin. Sedangkan “orang kayo Gemuk dan Orang Kayo Pedataran” belum pernah dijadikan nama baik jalan maupun tempat.


Dara Jingga dan Dara Petak merupakan Putri dari Sri Tribuana Raja Mauliwarmadhewa dan Puti Reno Mandi. Dara Jingga kemudian menikah dengan Mahesa Anabrang dan melahirkan Adityawarman. Sedangkan Dara Petak kemudian menikah dengan Raden Wijaya dan melahirkan Raden Kalagemet. Raden Kalagemet kemudian menjadi Raja Majapahit yang bergelar Sri Jayanegara.


Peristiwa “penundukan” yang disebut Pamalayu itu telah ditafsirkan oleh para ahli sejarah. Kebanyakan sejarahwan cenderung mengikuti teori yang dikemukakan oleh Krom dalam karya Hindoe-Javaansche Geschiedenis melihat patung Amoghapasa yang ditemukan di Pulau Punjung. Dalam sejarah dikenal dengan Ekspedisi Pamalayu. Ekspedisi gagal dan Kerajaan Jambi tetap “berdaulat’.


Sedangkan Sinancan merupakan tombak buatan Empu Berjakarti yang diberikan kepada Rangkayo Hitam sebagai tanda persahabatan. Epos ini melengkapi kisah heroik kesaktian Rangkayo hitam yang tidak bisa ditundukkan para pembesar di tanah Jawa yang menolak upeti kepada Raja Jawa.


Cerita angso duo merupakan kisah dari dilepaskan dua ekor angsa. Dengan berhentinya dua angsa di tempat sekarang terletak masjid Agung Al-Falah, maka Raja Jambi kemudian menetapkan sebagai wilayah kerajaan Jambi. Angso duo kemudian ditetapkan menjadi nama pasar tradisional. Sedangkan patung angso duo dapat terlihat di pintu masuk Unja Mendalo.


Saya jadi penasaran. Siapa pembisiknya sehingga Pemerintah kota begitu “teledor” dan menerima usulan nama dari sang pembisiknya. Begitu pengaruh atau begitu terpesonanya Pemerintah Kota dengan kata “Jomblo” sehingga bersedia menamakan taman di kota Jambi. Sekaligus saya juga penasaran mengapa Pemerintah Kota begitu teledor menerima nama-nama Alay dan mengabaikan nama-nama orang penting terhadap kelahiran sejarah Melayu Jambi di Tanah Pilih Pesako Betuah.


Advokat. Tinggal di Jambi