24 Maret 2016

opini musri nauli : TUTI “PAHLAWAN” ANTI KEKERASAN


Demonstrasi yang terjadi di Jakarta selasa kemarin menyisakan Tanya. Mengapa demonstrasi yang bertujuan menyampaikan aspirasi dan ingin mendapatkan dukungan kemudian “berubah” menjadi anarki ?

Ya. Pemberitaan di berbagai media massa kemudian memotret “aksi anarkis” daripada tuntutan sang pendemo. Dilengkapi dengan tayangan di televisi, gambar di media online, bagaimana sang pendemo “menyisir” jalan untuk “memaksa” supir-supir agar ikut demonstrasi. Termasuk berbagai adegan “Pemukulan” sang driver GO-jek yang terpental dipukul dari atas sepeda motor.
Publik kemudian “menyesalkan” bahkan mengutuk “kekerasan” yang dilakukan di jalan raya. Jalan raya sebagai tempat public kemudian menjadi teror kepada penghuni Jakarta.

Menyelesaikan “kekerasan” di jalan raya merupakan akumulasi berbagai himpitan dari “ketimpangan” social di tengah masyarakat. Supir taksi yang sering diabaikan (seperti tidak boleh masuk ke hotel menunggu pelanggan dengan alasan sudah ada kerjasama dengan perusahaan tertentu), mengejar setoran, penumpang yang berulah, kebutuhan keluarga yang semakin mencekik, ditambah “pemalakan” preman di setiap perempatan membuat mereka “terus terhimpit”.

Namun yang sering dilupakan, akar kekerasan “diwariskan” oleh rezim orde baru didalam menyelesaikan. Perampasan tanah, penggusuran, penculikan, pembunuhan pejuang keadilan, pembantaian, bahkan pembakaran symbol-simbol “yang dianggap” melawan penguasa kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Berbagai kejadian seperti, penembakan tanpa peradilan, pembantaian komunitas tertentu, pembunuhan Munir kemudian “melekat” diingat public generasi dipimpin rezim Soeharto. Publik kemudian mencatat, ditengah himpitan dan saluran demokrasi yang mandul, penyelesaian dengan cara kekerasan menemukan momentum sebagai ikrar untuk “bertahan hidup”.

Ketika kekerasan menemukan momentum sebagai ikrar “bertahan hidup” dan identitas, maka kekerasan kemudian menjadi pola dan diterima sebagai kewajaran social di tengah masyarakat.  Hannah Arendt, filosof politik Jerman menyebutnya “banality of evil ( banalisasi kejahatan)”

Sedangkan Rieke Dyah Pitaloka menyebutkan Kekerasan oleh Negara kemudian “diajarkan” kepada rakyat. Negara kemudian “mewarisi” dan menurunkan ke generasi selanjutnya dan diterima oleh rakyat sebagai cara atau “identitas’.

Kelompok yang ditekan kemudian “harus memperjuangkan” kepentingannya sehingga cara-cara kekerasan kemudian dipergunakan. Penyegelan tempat hiburan, penutupan tempat ibadah, pengusiran kaum minoritas, pengrusakan fasilitas umum (kantor, pembakaran kantor polisi, penyisiran angkutan umum, perusakan pot bunga). Teori ini sering disampaikan oleh Novri Susan. “Setiap stratifikasi adalah posisi yang diperjuangkan oleh manusia dan kelompoknya

Namun public kemudian melawan “cara-cara kekerasan”. Demonstrasi yang bertujuan mendapatkan dukungan dari public kemudian berbalik arah.

Memuat profile Maryati alias Tuti (54), Pekerja Harian Lepas (PHL) dari Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI sebagai pahlawan “yang mengusir” demonstran yang merusak taman lebih disoroti public daripada tuntutan sang demonstran. Dengan bermodalkan sapu kemudian “mengusir” demonstran yang merusak taman. Tuti kemudian menjadi “pioneer” melawan kekerasan.

Issu angkutan aplikasi kemudian tenggelam dari hiruk pikuk dan “kebingungan” Pemerintah terhadap tuntutan demonstran. Issu itu kemudian tenggelam dan kemudian “public” menyoroti sikap heroic dari Tuti.

Bahkan sikap heroic Tuti merupakan “gambaran” kemarahan public terhadap demonstrasi dengan cara kekerasan. Publik kemudian “melawan” cara kekerasan peninggalan orde baru. Kekerasan Negara yang diwariskan kepada rakyat kemudian dilawan. Publik kemudian memberikan apresiasi kepada Tuti daripada menoleh persoalan aksi demonstran. Dukungan public terhadap demonstranpun menemui titik nadir.

Tuti kemudian lebih popular daripada pemimpin demonstran. Tuti kemudian “membungkam” akademisi dan candidate Gubernur Jakarta yang “sok peduli”. Tuti kemudian menjadi symbol perlawanan “kekerasan”. Tuti membungkam mulut kotor sumpah serapah sang demonstran.

Sikap public “melawan” cara kekerasan merupakan akumulasi penggunaan cara kekerasan dalam setiap aksi demonstran. Cara ini harus dihentikan. Selain tidak mendidik justru akan menimbulkan antipasti dari public.

Selamat datang perlawanan kekerasan.