Demonstrasi
yang terjadi di Jakarta selasa kemarin menyisakan Tanya. Mengapa demonstrasi
yang bertujuan menyampaikan aspirasi dan ingin mendapatkan dukungan kemudian
“berubah” menjadi anarki ?
Ya.
Pemberitaan di berbagai media massa kemudian memotret “aksi anarkis” daripada
tuntutan sang pendemo. Dilengkapi dengan tayangan di televisi, gambar di media
online, bagaimana sang pendemo “menyisir” jalan untuk “memaksa” supir-supir
agar ikut demonstrasi. Termasuk berbagai adegan “Pemukulan” sang driver GO-jek
yang terpental dipukul dari atas sepeda motor.
Publik
kemudian “menyesalkan” bahkan mengutuk “kekerasan” yang dilakukan di jalan
raya. Jalan raya sebagai tempat public kemudian menjadi teror kepada penghuni
Jakarta.
Menyelesaikan
“kekerasan” di jalan raya merupakan akumulasi berbagai himpitan dari
“ketimpangan” social di tengah masyarakat. Supir taksi yang sering diabaikan
(seperti tidak boleh masuk ke hotel menunggu pelanggan dengan alasan sudah ada
kerjasama dengan perusahaan tertentu), mengejar setoran, penumpang yang
berulah, kebutuhan keluarga yang semakin mencekik, ditambah “pemalakan” preman
di setiap perempatan membuat mereka “terus terhimpit”.
Namun
yang sering dilupakan, akar kekerasan “diwariskan” oleh rezim orde baru didalam
menyelesaikan. Perampasan tanah, penggusuran, penculikan, pembunuhan pejuang
keadilan, pembantaian, bahkan pembakaran symbol-simbol “yang dianggap” melawan
penguasa kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Berbagai
kejadian seperti, penembakan tanpa peradilan, pembantaian komunitas tertentu,
pembunuhan Munir kemudian “melekat” diingat public generasi dipimpin rezim
Soeharto. Publik kemudian mencatat, ditengah himpitan dan saluran demokrasi
yang mandul, penyelesaian dengan cara kekerasan menemukan momentum sebagai
ikrar untuk “bertahan hidup”.
Ketika
kekerasan menemukan momentum sebagai ikrar “bertahan hidup” dan identitas, maka
kekerasan kemudian menjadi pola dan diterima sebagai kewajaran social di tengah
masyarakat. Hannah Arendt, filosof politik
Jerman menyebutnya “banality of evil (
banalisasi kejahatan)”
Sedangkan
Rieke Dyah Pitaloka
menyebutkan “Kekerasan oleh Negara kemudian “diajarkan” kepada
rakyat. Negara kemudian
“mewarisi” dan menurunkan ke generasi
selanjutnya dan diterima oleh rakyat sebagai cara atau “identitas’.
Kelompok yang ditekan
kemudian “harus memperjuangkan” kepentingannya sehingga cara-cara kekerasan
kemudian dipergunakan. Penyegelan tempat hiburan, penutupan tempat ibadah,
pengusiran kaum minoritas, pengrusakan fasilitas umum (kantor, pembakaran
kantor polisi, penyisiran angkutan umum, perusakan pot bunga). Teori ini sering
disampaikan oleh Novri Susan. “Setiap
stratifikasi adalah posisi yang diperjuangkan oleh manusia dan kelompoknya”
Namun public kemudian melawan
“cara-cara kekerasan”. Demonstrasi yang bertujuan mendapatkan dukungan dari public
kemudian berbalik arah.
Memuat profile Maryati alias
Tuti (54), Pekerja Harian Lepas (PHL) dari Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI
sebagai pahlawan “yang mengusir” demonstran yang merusak taman lebih disoroti public
daripada tuntutan sang demonstran. Dengan bermodalkan sapu kemudian “mengusir”
demonstran yang merusak taman. Tuti kemudian menjadi “pioneer” melawan
kekerasan.
Issu angkutan aplikasi
kemudian tenggelam dari hiruk pikuk dan “kebingungan” Pemerintah terhadap
tuntutan demonstran. Issu itu kemudian tenggelam dan kemudian “public”
menyoroti sikap heroic dari Tuti.
Bahkan sikap heroic Tuti
merupakan “gambaran” kemarahan public terhadap demonstrasi dengan cara
kekerasan. Publik kemudian “melawan” cara kekerasan peninggalan orde baru.
Kekerasan Negara yang diwariskan kepada rakyat kemudian dilawan. Publik
kemudian memberikan apresiasi kepada Tuti daripada menoleh persoalan aksi
demonstran. Dukungan public terhadap demonstranpun menemui titik nadir.
Tuti kemudian lebih popular daripada
pemimpin demonstran. Tuti kemudian “membungkam” akademisi dan candidate
Gubernur Jakarta yang “sok peduli”. Tuti kemudian menjadi symbol perlawanan “kekerasan”.
Tuti membungkam mulut kotor sumpah serapah sang demonstran.
Sikap public “melawan” cara
kekerasan merupakan akumulasi penggunaan cara kekerasan dalam setiap aksi
demonstran. Cara ini harus dihentikan. Selain tidak mendidik justru akan
menimbulkan antipasti dari public.
Selamat datang perlawanan
kekerasan.