Dalam
menyusuri jalan lintas Sumatera[1],
di perbatasan Kabupaten Merangin dan memasuki Kabupaten Bungo, kita melewati
Kantor Camat Pelepat.
Pelepat
adalah nama Marga Pelepat yang termasuk kedalam Kabupaten Bungo. Didalam Peta
Belanda tahun 1910 disebutkan Marga Pelepat berpusat “rantau Keloyang.
Di
masyarakat, Pelepat disebut “Kampung Kasang”. Dusun tuo sementara yang kemudian
ditinggalkan.
Dalam
tutur di tengah masyarakat[2],
Sejarah Pelepat dimulai dari “Puyang” tiga bersaudara. Masing-masing bernama
Rio Anum, Rio Pamuncak dan Rio Mandaliko. Rio Anum berpusat di Dusun Danau, Rio
Pamuncak di Senamat dan Rio Mandaliko di Sungai Gurun. Rio Mandaliko adalah
seorang perempuan.
Istilah
senamat masih menimbulkan berbagai versi. Versi pertama menyebutkan, kata
senamat berasal dari istilah “seni amat”. Seni amat berarti adik
bungsu. Atau terkecil. Sebagai adik bungsu atau terkecil ditandai
dengan Batu patah sembilan (Menhir). Sedangkan versi kedua menyebutkan
arti kata senamat berasal dari istilah senang amat. Senang amat berarti
hidup senang.
Namun
yang unik. Apabila Senamat Ulu masuk kedalam Bathin III Ulu, sedangkan Desa
Senamat malah masuk kedalam Margo Pelepat. Jauh sekali letaknya.
Cerita ini juga ditemukan di Senamat Ulu
yang termasuk kedalam Marga Batin III Ulu[3].
Wilayah
Marga Pelepat cukup luas sehingga banyak berbatasan dengan Marga-marga
sekitarnya. Memanjang mempertemukan wilayah Bangko dan Tebo.
Marga
Pelepat berbatasan langsung dengan Marga Bilangan V, Marga III Ulu yang
ditandai dengan nama tempat “Batang Senamat’, Batin III yang ditandai dengan
Bukit yang terletak di Sungai Mengkuang, Marga Batin II-Babeko, Marga Petajin
Hulu yang ditandai dengan nama Bukit Sepunggur, Marga Tabir yang ditandai dngan
“Bukit Luncung atau bukit Besar di Rantau Panjang”, Marga Muara Kibul dan Marga
Kibul.
Marga
Tabir yang disebutkan adalah Marga Tabir Ilir. Sedangkan didalam Tembo Marga
Batin III Ulu wilayah berbatasan dengan Marga Pelepat disebutkan di hulu Batang
Senamat di hulu merupakan wilayah administasi Marga Batin III Ulu kemudian
mengilir Sungai Senamat yang kemudian mengalir ke Batang Pelepat melewai Sungai
Senamat.
Marga
Batin III Ulu dari Batang Buat, Muara
Buat dan Batang Bungo. Keterangan berbeda disampaikan oleh Ketua Lembaga Adat
Bungo yang menyebutkan Dusun-dusun termasuk kedalam Marga Batin III Ulu yaitu
Rantau Pandan, Muara Buat, Laman Panjang, Aur Cino dan Senamat Buat.
Sedangkan
didalam Peta Belanda, Rantau Pandan termasuk kedalam Marga Batin V Bungo dan
Muara Buat termasuk kedalam Marga Batin III Ulu.
Muara
Buat terdiri dari kampung Dusun Senamat Ulu, Lubuk Beringin dan Aur Chino.
Kampung kemudian dipimpin yang diberi gelar “rio”.
Senamat
Ulu kemudian telah dikukuhkan sebagai sebagai wilayah adat sesuai dengan surat
Keputusan Bupati Bungo Nomor 48 tahun 2009. Sedangkan hutannya kemudian disebut
sebagai Huta Adat Bukit Bujang.
Sedangkan
Dusun Lubuk Beringin yang termasuk Marga Batin III Ulu juga menetapkan Ndendang
Hulu Sako – Batang Buat sebagai Hutan Desa berdasarkan Peraturan Dusun Lubuk
Beringin Nomor 01 Tahun 2009.
Dusun-dusun
yang termasuk kedalam Marga Pelepat yaitu Dusun Danau, Dusun Senamat dan Dusun
Sungai Gurun yang merupakan Dusun kakak beradik. Sedangkan Dusun Kotojayo
merupakan wilayah Rio Anum. Dusun Senamat terdiri dari Bukit Telago, Sekampil
dan Sungai Berajo. Sedangkan Dusun Rantau Keloyang dan Lubuk Telau merupakan
wilayah yang termasuk kedalam Rio Mandaliko.
Dusun
Batu Kerbau, Dusun Lubuk Telau yang mengaku “Puyang” Datuk Senaro Putih
kemudian ditetapkan berdasarkan Perda Nomor 3 Tahun 2006 dan hutan adat
kemudian ditetapkan berdasarkan SK Bupati Bungo Nomor 1249 tahun 2002.
Pemberian
tanah didalam Marga Pelepat biasa disebut didalam seloko “Sejalar Peringgi.
Sekokok Ayam”. Seloko ini melambangkan wilayah yang hendak diberikan.
Sebagai
penghulu dari Marga Pelepat, Maka didusun Senamat kemudian disebut sebagai “rio
Pamuncak”.
Marga
Pelepat mempunyai cara didalam menyelesaikan. Seloko “Nengok tumbuh” adalah
proses “pengaduan” dari salah satu terhadap setiap perselisihan.
Istilah
“Nengok tumbuh” mirip dengan seloko “tumbuh diatas tumbuh” di Marga Sumay
Kabupaten Tebo.
Nengok tumbuh atau Tumbuh
diatas tumbuh adalah nilai filosofis yang fundamental. Dalam bacaan modern,
nilai ini merupakan nilai fundamental (ground norm) dalam pemikiran Hans Kelsen
yang kemudian dapat ditarik menjadi norma-norma yang dapat diterapkan secara
praktis.
Nengok tumbuh atau Tumbuh
diatas tumbuh apabila dilihat dari makna harfiahnya berarti “setiap
persoalan harus dilihat dari sebab perbuatan itu terjadi”. Sebagai contoh,
sebuah perkelahian yang terjadi, tentu saja harus didengarkan dari keterangan
dua pihak. Mengapa perkelahian itu terjadi.
Secara
filosofi dapat dilihat dari nilai “Nengok
tumbuh atau tumbuh diatas tumbuh”
berangkat dari Hubungan sebab akibat.
Misalnya “meruak daging, merencong tulang”. “Meruak daging” adalah perkelahian
yang menyebabkan luka. Sedangkan “merencong tulang” adalah perkelahian yang
menyebabkan patah tulang. Para pihak yang bersengketa kemudian berunding untuk
menyelesaikannya. Tahap ini kemudian dikenal dengan istilah “akad dulur”.
Pemikiran
ini sebenarnya berangkat dari teori yang disampaikan oleh von Buri yang
kemudian dikenal Teori hubungan sebab akibat yang biasa dikenal dengan istilah
teori kausalitas (Teori conditio sine qua non). Teori ini pertama kali
dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum dari Jerman. Beliau
mengatakan bahwa tiap-tiap syarat yang menjadi penyebab suatu akibat yang tidak
dapat dihilangkan (weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor yang
menimbulkan akibat harus dianggap “causa” (akibat).
Tiap
faktor tidak diberi nilai, jika dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor
penyebab serta tidak ada hubungan kausal dengan akibat yang timbul. Tiap factor
diberi nilai, jika tidak dapat dihilangkan (niet weggedacht) dari
rangkaian faktor-faktor penyebab serta memiliki hubungan kausal dengan
timbulnya akibat.
Teori
conditio sine qua non disebut juga teori equivalen (equivalent theorie),
karena tiap factor yang tidak dapat dhilangkan diberi nilai sama dan sederajat.
Maka teori Von Buri ini menerima beberapa sebab (meervoudige causa)
Sebutan
lain dari teori Von Buri ini adalah “bedingungs theorie” (teori syarat).
Disebut demikian karena dalam teori ini antara syarat (bedingung) dengan
sebab (causa) tidak ada perbedaan.
Dengan
melihat teori yang disampaikan oleh Von Buri, maka nilai filosofi dari “Nengok tumbuh atau tumbuh diatas tumbuh” berangkat dari setiap perbuatan
yang ditimbulkan merupakan akibat dari sebab sebuah peristiwa.
Didalam
mengelola sumber daya alam dikenal istilah “Rimbo
batuah”. Rimbo batuah juga
dikenal di Marga Sungai Tenang dengan seloko “rimbo sunyi”, Rimbo keramat di
Marga Sumay atau di Marga Batin Pengambang “teluk
sakti rantau betuah gunung bedewo”.
Daerah-daerah
yang disebutkan didalam seloko adalah hutan primer (forest cover) yang tidak
boleh dibuka. Didalam peta disebutkan sebagai kawasan lindung ataupun daerah
kawasan konservasi.
Diluar
daerah yang telah ditentukan tidak boleh dibuka, maka dibenarkan untuk membuka
hutan yang disebutkan didalam “mati tanah. buat tanaman”.
Seloko
ini mirip dengan seloko “sesap rendah.
jerami tinggi’ di Marga Sungai Tenang. Atau “tunggul pemarasan” di Marga Sumay.
Marga
Pelepat kemudian menjadi Kecamatan Pelepat dan kemudian menjadi Kecamatan
Pelepat dan Pelepat Ilir.
Dusun
Sekampil, Bukit Telago, Sungai Gurun, Rantau Keloyang termasuk kedalam
kecamatan Pelepat. Sedangkan Dusun Danau, Dusun Kotojayo termasuk kedalam Marga
Pelepat Ilir.
Baca : Istilah Marga di Jambi
Dimuat di Jambi Ekspress, 23 Agustus 2016
[1] Dikenal sebagai Lintas Tengah Sumatera. Namun dalam perkembangannya,
sering juga disebut “Lintas Sumatera”. Lintas Tengah sumatera untuk membedakan
Lintas Timur Sumatera dan Lintas Barat Sumatera. Lintas Timur Sumatera
menghubungkan Palembang, Jambi dan Pekanbaru. Sedangkan Lintas Barat Sumatera
menghubungkan Padang dan Bengkulu. Lintas Tengah Sumatera memanjang (membelah
tengah pulau Sumatera) yang menghubungkan mulai dari Bakauheni Bandar Lampung,
Kota Bumi, (Lampung), Martapura, Baturaja, Prabumulih, Muara Enim, Lahat,
Tebing Tinggi, Lubuk Linggau (Sumsel), Sarolangun, Bangko, Muara Bungo (Jambi),
Damasraya, Solok, Bukit Tinggi, Lubuk Sikaping (Sumbar), Muara Sipongi,
Kotanopa, Penyabungan, Padang Sidempuan, Sipirok, Tarutung, Balige, Porsea,
Pematang Siantar, Tebingi Tinggi ke
Medan (Sumut)
[2] Zulkifli, Tokoh adat di Desa Senamat.
[3] Rio Dusun Senamat Ulu,