Marga
Simpang Tiga yang berpusat di Pauh kurang dikenal didalam document maupun
literature. Nama Marga Simpang Tiga kemudian tenggelam dan lebih dikenal
sebagai Pauh.
Simpang
Tiga dalam artinya sama juga dikenal di Marga Pangkalan Jambu. Marga Pangkalan
Jambu mengenal Simpang tiga dengan istilah “Tiga jalur’. Menunjukkan 3 orang
Rio yang menguasai Marga Pangkalan Jambu. Yaitu Rio Niti, Rio Gumalo dan Rio
Menang[1].
Pauh
berdasarkan cerita “merantaunya dari hulu Pauh. Suatu tempat kemudian terdapat
Batang bamboo. Diikatnya perahu dibatang Bambu kemudian disebut Pauh.
Disebut
sebagai Simpang tiga disebabkan adanya Simpang tiga yang menuju ke Marga Air
Hitam, menuju ke Jambi dan Menuju ke Sarolangun.
Marga
Simpang Tiga terdiri dari Dusun-dusun seperti Pauh, Batu Ampar, Karang Mendapo,
Pangindaran, Batu Kucing, Kasang Melintang, Pangkal Bulian, Samaran, Lubuk
Napal, Sepintun, Lamban Sigatal.
Kepala
Dusun disebut Depati.
Keseluruhan
Dusun-dusun yang termasuk kedalam Marga Simpang Tiga kemudian menjadi Desa yang
termasuk kedalam Kecamatan Pauh.
Menurut
tembo di Marga Simpang Tiga[2],
wilayah Marga Simpang Tiga berbatasan dengan Marga Air Hitam ditandai dengan
nama tempat “Lubuk Kepayang”, Marga Batin VI ditandai dengan daerah “Semapit
besar” di Sungai Itam, Marga Batin V di Sarolangun yang berbatasan langsung
dengan Pemusiran dan Marga Pelawan di Lubuk Sepuh. Selain itu juga langsung
berbatasan dengan Propinsi Sumsel di Hulu Sungai Kapas.
Kepayang
adalah jenis pohon yang tumbuh di hutan. Dulu “puyang” masyarakat menanam di
hutan. Tumbuhnya cepat. Kayu dapat digunakan untuk dinding rumah. Minyaknya
dapat digunakan sebagai minyak goreng.
Dengan
demikian, maka Desa yang langsung
berbatasan dengan Desa didalam Marga Batin V –Sarolangun yaitu Desa Pangindaran
dengan Desa Ladang Panjang.
Desa Batu Ampar merupakan kampong tertua sejak 1889, sebelum berada di
Muaro Merangin dengan sebutan dusun Balai Melintang di pimpin oleh Depati Gelar
Singo delago. Dan hingga 1916 kampung ini pindah ke seberang Sungai Tembesi
hingga saat ini yang lebih dikenal dengan sebutan Dusun Batu Ampar[3].
Penduduk
Dusun Batu Ampar berasal dari Rawas, Palembang[4].
Dusun
Karang Mendapo berasal dari sepasang suami istri dari daerah Aik Amo-Padang yang merantau
ke Jambi[5].
Khabar ini
akhirnya sampai ketelinga Rajo Jambi, kemudian Rajo Jambi mengunjungi sepasang
suami istri ini. Kemudian Rajo Jambi berkata; ”kalau bigitu, dimana kamu minta
tanah untuk tempat bermukim dan berladang”. Lalu sepasang suami istri ini
diajak untuk menyusuri aliran sungai tembesi.
Sesampainya di
Batu Napal yang melebar ke sungai tembesi, sepasang suami istri ini meminta
kepada Raja Jambi untuk menetap disitu, dan Raja Jambi menyetujuinya. Keesokan
harinya, mereka bajalan ke Ujung Tanjung.
Desa Karang Mendapo adalah Desa disatukannya beberapa
dusun. Dusun yang disatukan tersebut adalah Dusun Karang Mendapo, Dusun Muaro
Danau dan Dusun Teluk Gedang
Sedangkan
disebut Kasang Melintang berasal dari kata “Kasang dan Melintang. Kasang
berarti “kasai”, nama jenis pohon yang cuma terdapat di Kasang Melintang.
Sedangkan disebutkan “melintang” disebabkan adanya pohon “kasai yang melintang di
Sungai (menyuruk/menutupi sungai). Secara sekilas, akibat penutupan pohon kasai
yang melintang menyebabkan sungai tidak terlihat. Sungai ini kemudian dikenal Batang
Tembesi yang mengairi dusun-dusun di Marga Simpang Tiga.
Disebut
“Pangkal Bulian’ karena banyaknya pohon bulian yang terdapat di pangkal (ujung)
desa. Sedangkan Samaran yang merupakan bagian dari Pauh dimana terdapat
tumbuhan yang dikenal “belami”. “Belami” kemudian menyamar dari Pauh sehingga
kemudian disebut “samaran”.
Lubuk
Napal dikenal sebagai nama tempat dimana di daerah lubuknya terdapat napal.
Napal adalah batu yang licin yang biasanya terdapat daerah yang lembab.
Ada keunikan tentang struktur social di Marga
Simpang Tiga. Menurut masyarakat, mereka berikrar sebagai “Marga” bukan batin. Marga
merupakan masyarakat pembarap (pendatang) sehingga diberi pemimpin dusun diberi
gelar “depati. Sedangkan Batin merupakan penduduk asli yang pemimpin dusunnya biasa
diberi gelar Rio atau Penghulu. Struktur ini dikenal didalam Marga Pelawan diberi
gelar “Depati atau Rio namun juga mengenal “Penghulu” yang terdapat di Dusun
Pulau Aro[6].
Namun
di Marga Nan Tigo, masyarakat tidka mengenal “Depati atau Rio’”. Mereka
mengenal Datuk yang menguasai tiga wilayah yaitu Datuk Temenggung berpusat di Dusun Mengkadai. Datuk Ranggo
berpusat di Dusun Muara Mansao. Sedangkan Datuk Demang berpusat di Kampung
Pondok.
Di Bungo,
antara Depati atau Rio adalah jabatan yang sama. Rio menunjukkan asal pemimpin
Dusun sebagai putra asli. Sedangkan Depati dianggap orang “Semendo”.
Keterangan ini kemudian
didukung oleh Elsbeth Locher Sholten sebagaimana dikutip dari “memorie van
Overgave, V.E. Korn, 1936[7].
Keterangan ini dapat dilihat Djambi, Tideman hanya menyebutkan “Rio atau Depati
adalah Kepala Pemerintahan setingkat dusun[8]”
Kecuali
di Marga Jujuhan yang disebut Depati dan Rio. Namun di Dusun Empelu yang
termasuk kedalam Marga Tanah Sepenggal dikenal “Rajo Penghulu”.
Di Bungo,
antara Depati atau Rio adalah jabatan yang sama. Rio menunjukkan asal pemimpin
Dusun sebagai putra asli. Sedangkan Depati dianggap orang “Semendo”.
Keterangan ini kemudian
didukung oleh Elsbeth Locher Sholten sebagaimana dikutip dari “memorie van
Overgave, V.E. Korn, 1936. Keterangan ini dapat dilihat Djambi, Tideman hanya
menyebutkan “Rio atau Depati adalah Kepala Pemerintahan setingkat dusun”
Sedangkan
didalam Marga Sungai Tenang, selain istilah Depati
dan Rio, juga dikenal Mangku. Depati, Rio dan Mangku mempunyai kedudukan yang
berbeda. Depati memangku pemerintahan setingkat dusun. Sedangkan Rio dan Mangku
berfungsi memangku pemerintahan setingkat kampong.
Di Marga Sumay[9]
“Margo
adalah kepala Pemerintahan. Pesirah merupakan orang semendo. Rio merupakan putra
asli. Sedangkan Depati dan Bathin merupakan Kepala Pemerintahan di tingkat
Dusun. Depati merupakan orang semendo. Bathin merupakan putra asli.
Dengan melihat keterangan yang disampaikan
oleh dan F. J Tideman, maka ada perbedaan yang mendasar mengenai istilah “Rio”.
Didalam Marga Sumay, “Rio” adalah Kepala
Pemerintahan Margo. “Rio” merupakan Putra Asli. Pernyataan ini didukung oleh Elizabeth justru menyebutkan “Rio pemimpin di tingkat Marga. Depati di
tingkat Dusun”. Bandingkan dengan Keterangan F. J.
Tideman yang menganggap “Rio” adalah Kepala Pemerintahan setingkat Dusun.
Sedangkan didalam Marga Sungai Tenang, Depati
membawahi Rio atau Mangku. Misalnya Depati Suko Merajo yang membawahi “Rio
Penganggung jagobayo di Tanjung Mudo, Depati Gento Rajo yang membawahi “Rio
Pembarap” dan “Rio Gento Pedataran”. Depati Kuraco membawahi Rio Kemuyang.
Dengan demikian, maka didalam dokumen Tideman
didalam buku klasiknya “Djambi” menyebutkan Rio dan Depati di wilayah dusun.
Sedangkan Elizabeth “Rio” di tingkat Marga, sedangkan Depati di tingkat dusun
didukung oleh dokumen Tijdschrift voor Nederlandsch Indiƫ[10].
Baca : Istilah marga di Jambi
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 24 Agustus 2016
[1] Zulkifli yang diberi gelar “Rajo Nan Putih, Desan
Birun, 7 Agustus 2016
[2] Yazin, Pauh, 6 Agustus 2016
[3] Pertemuan Desa Batu Ampar, Batu Ampar, 3 Mei 2015
[4] Yazin, Pauh, 6 Agustus 2016
[5] Pertemuan Desa Karang Mendapo, Mei 2009, Dokument
Walhi Jambi
[6] Zaini, tokoh adat Kecamatan Pelawan, Muara Danau, 7 Agustus
2016
[7] Elsbeth Locher-Schoten. Kesultanan Sumatra dan Negara
Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme
Belanda.
[8] Tideman, Djambi,
Kolonial Instituut Amsterdam, 1938
[9] Sebagaimana disampaikan oleh Khatib Karim, Dusun Teliti, 22
Maret 2013
[10] Didalam “Tijdschrift
Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Genootschap”
tahun 1904 disebutkan Batin adalah “in
het batin gebied staan de woningen in de doesoen”. Dengan demikian, maka
Batin merupakan wilayah yang terdiri dari beberapa rumah yang terletak di
dusun.