Dalam
catatan Belanda baik dalam Laporan resmi Residentie Palembang kepada Gubernur
Jenderal Belanda di Batavia, disebutkan penyerbuan Belanda dengan kekuatan
penuh ke Istana Kerajaan Jambi. Istana kemudian berhasil dikuasai dan kemudian
dibakar tanpa jejak. Tahun 1857 kemudian Belanda menyatakan tidak mengakui lagi
Sultan Taha Saifuddin sebagai Raja di Kerajaan Jambi.
Belajar
dari pengalaman panjang berbagai perang di Kerajaan Mataram mengalahkan Sultan
Agung, Perang Padri di Sumbar dan perang Aceh, kas Pemerintah Belanda kemudian
kosong. Sehingga “ketika penyerbuan” ke Istana dengan didatangkan pasukan dari
Palembang dan Sumbar, Belanda berharap “kejutan” ini dapat menumbangkan Sultan
Thaha Saifuddin. Perhitungan ini kemudian dipercepat dengan memobilisasi
dukungan pendanaan untuk “mematikan” gerak langkah perlawanan Sultan Thaha
Saifuddin dari pengungsian.
Dengan
perhitungan waktu sejak Istana Kerajaan Jambi diserbu tahun 1857 dengan
dinyatakan gugur dalam perlawanan di Tanah Garo tahun 1904, maka hampir 50
tahun Sultan Thaha Saifuddin begitu bertahan. Tentu saja ini menjadi perhatian
ahli sejarah. Sampai sekarang ahli sejarah belum dapat menjelaskan secara
detail hingga Sultan Thaha Saifuddin mampu bertahan setengah Abad.
Namun
cerita di tengah masyarakat terutama jalur perlawanan begitu hidup. Dengan rute
perlawanan dari Danau Solok Sipin terus ke Lubuk Ruso, kemudian ke Muara
Tembesi, Muara Tebo hingga kemudian sempat mampir di Tanah Sepenggal di Lubuk
Landai (Muara Bungo).
Berbagai
versi kemudian berkembang setelah alur perjalanan ini. Versi pertama
menyebutkan rute pelarian Sultan Thaha Saifuddin bermula dari Danau Solok Sipin
kemudian ke Lubuk Ruso, kemudian ke Muara Tembesi kemudian ke Muara Tebo dan Sungai
Alai. Dari Sungai Alai kemudian “mudik” ke
arah batas Sumbar dan “diperkirakan” ke Malaysia. Negeri Malaysiapun
banyak versi. Ada yang menyebutkan ke Johor. Ada yang menyebutkan Ke Penang.
Versi
lain kemudian menyebutkan setelah tiba di Tebo kemudian ke Sungai Alai kemudian
“berlindung” di Tanah Sepenggal. Dan kemudian terlibat pertempuran di Tanah
Garo hingga Belanda kemudian menyatakan tewas tahun 1904.
Sejarah
kedekatan Sultan Thaha Saifuddin hingga sampai ke Tanah Sepenggal masih
memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun dengan rentang waktu 50 tahun sejak
Istana Kerajaan Jambi diserbu Belanda, “kekuatan” yang melindungi Sultan Thaha
Saifuddin begitu hebat.
Laporan
resmi Residentie Palembang kepada Gubernur Jenderal Batavia sebagaimana disampaikan
oleh Snouck Horgrunje menyebutkan “upaya pengakuan Kerajaan Jambi kepada Sultan
Thaha Saifuddin”. Dengan mengangkat Sultan (bayangan) diharapkan dapat
mematahkan perlawanan Sultan Thaha Saifuddin yang mendapatkan dukungan dari
rakyat.
Namun
rentang waktu hingga 50 tahun, Sultan Thaha Saifuddin begitu kokoh merupakan
sebuah peristiwa penting.
Didalam
pelarian dengan ditemani “orang kepercayaan” Sultan Thaha Saifuddin, Sultan
Thaha Saifuddin begitu dihormati. Setiap jalur pelarian, Sultan Thaha Saifuddin
diterima dan dikawal dengan disiapkan “julat”. Julat adalah seorang kepercayaan
dari pemimpin dusun di setiap jalur pelarian. Julat kemudian mengawal selama
perjalanan hingga ke tempat berikutnya.
Dengan
kesaktian dan kemampuan menguasai medan dari julat, Sultan Thaha Saifuddin
mudah bersembunyi dan berhasil menghindari dari kejaran Belanda. Julat yang
menguasai rute perjalanan kemudian mengantarkan Sultan Thaha Saifuddin pada
rute berikutnya. Demikian seterusnya.
Dengan
charisma Sultan Thaha Saifuddin, julat yang ditunjuk merupakan “punggawa”
kehormatan dari jalur masing-masing yang dilewati oleh Sultan Thaha Saifuddin.
Bahkan
didalam setiap rute yang dilalui, Sultan Thaha Saifuddin selalu “berkabar”
kepada Negara Turki. Sultan Thaha Saifuddin membutuhkan ‘stempel” yang
menyatakan Kerajaan Jambi sebagai “vassal dari Negara Ottaman Turki.
Peristiwa
ini membuat Belanda “cukup hati-hati” menghadapi Sultan Thaha Saifuddin.
Sebagai Negara kecil di Eropa, Belanda tidak mau “berkonfontrasi” langsung
dengan Negara Ottaman Turki yang cukup disegani pada awal abad XVII hingga awal
abad 20-an. Surat dari Snouck Horgrunje kepada Gubernur Jenderal di Batavia
menerangkan dengan jelas. Agar Belanda tidak dituduh “mencaplok” wilayah
kekuasaan Ottaman Turki.
Belanda
kesulitan mencari Sultan Thaha Saifuddin hingga tahun 1901 membangun benteng
pertahanan di Muara Tembesi. Dengan dibangunnya Benteng di Muara Kumpeh, maka
jalur informasi ke Malaysia ataupun jalur perdagangan ke Eropa menjadi sulit. Berbagai
pertempuan sengit terjadi baik mendekati Sungai Alai, Ke daerah Pelepat
hingga Belanda kemudian menyatakan gugur
Sultan Thaha Saifuddin 1904 di Tanah Garo.
.
Namun
dibalik cerita tentang akhir perjalanan Sultan Thaha Saifuddin, “kekuatan”
besar yang melindungi Sultan Thaha Saifuddin, rute pertempuran dan rute
pelarian hingga pentingnya Julat adalah cerita yang masih disampaikan turun
temurun. Dan cerita itu begitu hidup sehingga sebagai keturunan terakhir
Kerajaan Jambi, nama Sultan Thaha Saifuddin begitu dikenang dan dikagumi.
Semangat
kepahlawanan pantang menyerah merupakan keteladanan yang menginspirasi
anak-anak muda di berbagai pelosok yang rutenya dilewati Sultan Thaha Saifuddin