Usai sudah
penetapan dari Mabes Polri tentang kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Mabes
Polri kemudian meningkatkan status penyelidikan ke tahap penyidikan. Dengan
ditingkatkan status penyidikan maka Ahok kemudian ditetapkan sebagai tersangka.
Terlepas dari
berbagai perdebatan apakah perkara Ahok ini telah memenuhi unsur yang
disangkakan atau tidak, alangkah baiknya kita memahami proses hukum acara
pidana dalam sebuah perkara. Dari ranah inilah, maka kita dapat memahami apakah
Mabes Polri telah melaksanakan tugasnya untuk menuntaskan perkara ini.
Dengan
demikian, terhadap materi pokok perkara atau pasal yang dituduhkan kepada Ahok
sebagaimana tuduhan “penistaan agama” tidak menjadi pembahasan tulisan ini.
Pembahasan tentang materi pokok perkara akan menjadi pembahasan yang terpisah.
Ada beberapa
point-point yang menarik untuk dijadikan telaah dalam pemaparan dari
Kabareskrim Mabes Polri dan Kapolri. Point-point yang disampaikan dapat
menggambarkan bagaimana proses ini dibahas dan ditentukan
Point pertama
adalah “adanya perbedaan pandangan antara
saksi ahli pidana, saksi ahli Bahasa dan saksi ahli agama”. Point kedua adanya perbedaan pandangan sesama penyidik sehingga
disebutkan oleh Kapolri adanya “dissenting
opinion”. Point ketiga adalah sikap
penyelidik yang kemudian menyerahkan kepada proses hukum selanjutnya ke muka
persidangan.
Ketiga point
menjadi pengamatan saya sehingga bisa menentukan apakah Mabes Polri telah
menjalankan tugasnya yang disebutkan oleh Kapolri “Bekerja obyektif dan professional”.
Sebelum saya
menguraikan lebih lanjut, sebaiknya kita memahami hakekat dari hukum pidana.
Sebagaimana
sering disampaikan dalam berbagai kesempatan, prinsip hukum pidana adalah
mencari kebenaran materiil. Kebenaran materiil adalah kebenaran yang
sebenar-benarnya. Bukan kebenaran formil yaitu kebenaran berdasarkan kebenaran yang hanya didasarkan pada
formalitas-formalitas hukum. Kebenaran formil sering disebutkan didalam hukum
acara Perdata.
Dengan demikian, maka didalam ranah hukum
pidana, dalam pembuktian hukum pidana, maka fakta-fakta hukum adalah landasan
utama terhadap penilaian telah terjadi atau tidaknya suatu tindak pidana.
Fakta-fakta hukum merujuk kepada keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk dan keterangan tersangka (Pasal 184 KUHAP).
Melihat urutan kekuatan pembuktian hukum
acara pidana, maka pasal 184 KUHAP kemudian menempatkan saksi sebagai sebagai
bukti terkuat (pasal 185 KUHAP). Kekuatan saksi dapat dirujuk kepada pasal 1
ayat 27 KUHAP. Dengan
demikian, maka yang dikategorikan sebagai saksi adalah yang mendengar, melihat,
dan mengalami peristiwa secara langsung.
Dengan
demikian, maka keterangan saksi merupakan alat bukti yang pertama yang disebut
dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pada umumnya
tidak ada perkara yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi.
Bahkan menurut Yahya Harahap “hampir
semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan
saksi sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain masih
selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.
Dengan melihat kekuatan saksi, maka
penyelidik Mabes Polri kemudian dapat memanggil masyarakat yang mendengarkan
pidato Ahok di Kepulauan Seribu. Apakah pada saat itu, masyarakat Kepulauan
Seribu kemudian “merasakan” penistaan agama ataupun tidak. Itu materi yang
mesti digali oleh penyelidik Mabes Polri terhadap kekuatan pembuktian saksi.
Setelah keterangan saksi diberikan, maka
dilakukan penilaian apakah para saksi sudah dapat dikategorikan sebagai alat
bukti kuat untuk menentukan terjadi tindak pidana sebagaimana dituduhkan.
Apabila dari hasil penilaian dari penyelidik tidak ditemukan unsur
terpenuhinya, maka dengan kekuatan bukti saksi, perkara ini tidak dapat
dilanjutkan. Sedangkan apabila hasil penilaian terdapatnya unsur terpenuhinya
tindak pidana yang dituduhkan, maka terhadap bukti saksi haruslah didukung
dengan bukti yang lain yaitu keterangan ahli.
Dengan demikian, maka penyelidik kemudian
menggali keterangan ahli. Dalam kesempatan ini, dihadirkan berbagai ahli
pidana, ahli bahasa, dan ahli agama baik
yang dihadirkan oleh saksi, dari penyelidik itu sendiri dan ahli dari
pihak Ahok untuk menjawab persoalan diatas.
Terhadap keterangan ahli, apapun yang
diberikan, maka menurut saya sudah termasuk materi perkara.
Ahli yang dihadirkan oleh
Polri adalah Saksi ahli agama Deden, Buya Syafi’i Maarif, KH. Mustofa
Bisri (Gus Mus), Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas LA. M.Ag. (Muhammadiyah), KH.
Miftahul Ahyar, 6. Dr. H.M. Hamdan Rasyid (MUI).
Saksi Ahli Bahasa adalah . Prof.
DR. Wahyu Wibowo, Dr. Can Niknik M. Kuntoro, Wiwin Erni Siti Nurlina. Ahli
Pidana adalah Prof. Edward Omar Haritjh, Prof. Dr. Indriyanto Seno Aji, Dr. Eva
Achjani Zulfa, Dr. Pujiono.
Sedangkan dari Pelapor adalah ahli
agama Habib Riziek. Ahli Pidana Dr. Muzakir, Abdul
Chair Ramadhan, SH. , MH. Ahli Bahasa Dr. Husni Muaz, Dr. Rohmadi M.Pd.
Sedangkan dari pihak Ahok kemudian
dihadirkan ahli Ahli Agama Prof. Dr. Hamkah Haq, MA, Dr. Phil. Syafiq Hasyim,
KH. Masdar Farid, KH. Ahmad Ishomuddin, Dr. Sa’dullah Affandy, Dr. Zainal
Abidin. M.A. Ahli Bahasa, Prof. Rahayu Sutiarti, Dr. Aprinus Salam, Dr. M. Umar
Muslim. Ahli Pidana, C. Djisman Samosir. SH. MH., Dr. Noor Aziz Said, SH. , MS.
Dan Ahli Psikologi Prof. Sarlito Wirawan
Sebelum
kita memberikan penilaian terhadap kapasitas dan kualifikasi ahli, maka
terhadap ahli mempunyai beban pembuktian apabila keterangan ahli yang diberikan
seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang masalah yang diperlukan
penjelasannya dalam suatu perkara pidana yang diperiksa (pasal 1 angka 28
KUHAP).
Dengan
demikian, maka nilai pembuktian keterangan ahli terletak pada keahlian khusus
dalam bidangnya. Maka keterangan ahli tidak menyangkut pokok perkara yang
ditujukan, namun menjelaskan suatu keadaan masih kurang tentang suatu keadaan
atau siapa pelakunya
Didalam praktek didalam hukum
acara pidana, sebelum memberikan keterangan ahli (baik ahli pidana, ahli bahasa
maupun ahli agama), maka terhadap ahli harus dibuktikan kualifikasi tertentu.
Baik gelar akademis,
ketekunan terhadap keahlian, karya ilmiah yang sudah dihasilkan merupakan
“kredit point” dan penilaian terhadap suatu keahlian khusus.
Bahkan secara tersirat,
linier keahlian merupakan penilaian tersendiri bagi hakim untuk menilai suatu
keahlian dari ahli.
Kita dengan mudah menilai
bagaimana tergopoh-gopohnya ahli digital forensic dari Mabes Polri berhadapan
dengan hukum acara terhadap “keteledoran” memindahkan data rekaman dari CCTV
menggunakan “flask disk” berhadapan dengan keahlian yang mempunyai “hak paten”
yang dihadirkan pihak Jessica. Dari kualifikasi itu saja, mudah kelihatan, dari
sisi akademis, keahlian dari pihak Jessica lebih “kualifikasi” dibandingkan
ahli dari Mabes Polri.
Atau kita dengan mudah
menilai keahlian forensic yang berasal dari Australia yang dihadirkan oleh
Jessica baik karena keahlian yang beberapa kali memeriksa forensic korban sianida
dibandingkan dari ahli forensic yang belum pernah memeriksa korban sianida yang
dihadirkan oleh Jaksa Penuntut umum dan cuma membaca literature kedokteran.
Dengan memperbandingkan
kualifikasi baik sisi gelar akademis, ketekunan terhadap keahlian ataupun karya
ilmiah yang dihasilkan, maka terhadap berbagai ahli yang dihadirkan berbagai
pihak (saksi korban, Penyelidik Mabes
Polri maupun pihak Ahok) kita dapat mudah menilai “kapasitas ahli” sebelum
memberikan keterangan ahlinya dihadapan penyelidik.
Pembahasan formal terhadap
“keahlian” ahli diperlukan sebelum memberikan keterangan ahli. Bahkan dalam
praktek di sebuah pengadilan, ahli yang dihadirkan dibuktikan dengan
“kualifikasi” tertentu. Baik keterangan dari kampus yang menerangkan keahlian
yang dihadirkan (walaupun secara factual sudah diketahui ahli yang dihadirkan
dikenal sebagai Doktor yang dikenal public). Namun terhadap proses formal,
keterangan di kampus haruslah dibuktikan dengan formal.
Begitu juga didalam
penggalian “keahlian”, hakim sering memulai dengan melihat karya ilmiah, linier
pendidikan dan keahlian hingga ketekunan menjalani disiplin ilmunya.
Maka “sehebat apapun” sarjana
hukum ataupun telah memegang gelar sarjana hukum bertahun-tahun maka secara
formal akan dikalahkan dari segi akademis dari seorang Doktor ilmu hukum yang
masih muda. Dari gelar akademispun, kualifikasi S1 tentu saja mempunyai
penilaian dari pemegang gelar Doktor.
Praktek jamak ini sering
digunakan dalam praktek hukum acara pidana. Begitu juga dalam praktek hukum
acara perdata. Bahkan Di Pengadilan Negeri Jambipun, seorang ahli pernah tidak
diterima dimuka persidangan setelah yang bersangkutan tidak membawa keterangan
dari kampus yang menerangkan tentang keahlian yang bersangkutan.
Maka dari pendekatan ini,
terhadap perbedaan pendapat di kalangan penyelidik tidak dapat dibenarkan.
Penyelidik sama sekali tidak diberikan oleh KUHAP untuk memberikan pendapatnya.
Sehingga pernyataan Kapolri tentang “dissenting opinion” sama sekali tidak
dikenal di tahap penyelidikan. Tema “dissenting opinion” dikenal dalam putusan
hakim.
Atau dengan kata lain, KUHAP
tidak memberikan ruang kepada penyelidik untuk memberikan pendapat hukumnya.
Penyelidik memberikan penilaian apakah perkara ini dapat ditingkatkan kepada
penyidikan atau tidak berdasarkan kepada bukti-bukti yang ada.
Selain itu, terhadap perkara
ini kemudian disepakati “diserahkan” kepada pengadilan yang terbuka umum
menggambarkan beban perkara tidak mau diletakkan pada Mabes Polri. Mabes Polri
“terkesan” melemparkan bola panas kepada proses hukum.
Dari ranah ini, maka selain
melanggar HAM juga bertentangan dengan prinsip “penghormatan hukum” kepada
manusia.
Dalam prinsip hukum pidana,
dikenal asas “in dubio pro reo” yang kemudian menjadi pijakan untuk menilai
suatu perkara. Didalam berbagai yurisprudensi seperti Putusan MA No. 33
K/MIL/2009, Putusan MA No. 2175 K/Pid/2007 sering disebutkan “asas in dubio pro reo yang menyatakan jika
terjadi keragu-raguan apakah terdakwa salah atau tidak maka sebaiknya diberikan
hal yang menguntungkan bagi terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan”.
Makna ini kemudian merupakan
asas pelaksanaan pasal 183 KUHAP “Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan
pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya". Makna ini kemudian
dipertegas “ketentuan ini adalah untuk
menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang”
(penjelasan pasal 183 KUHAP).
Walaupun asas ini
dipergunakan hakim untuk menilai perkara, namun “membebankan” persoalan kepada
proses hukum kepada hakim dapat disebutkan “memindahkan bara persoalan”.
Membaca kasus Ahok, maka didalam ranah beban
pembuktian dan hukum acara pidana menimbulkan persoalan dari pendekatan formal
(cacat formiil). Terhadap pelanggaran
Hukum acara mengakibatkan “keseriuan”
memberikan penghormatan HAM. Dari ranah ini, maka penulis “terusik” terhadap persoalan dari hukum acara pidana.
Baca : Ahok - Sang Penghancur Mitos
Dengan demikian, sebelum memasuki materi
perkara, penilaian kasus Ahok dari pendekatan hukum formil merupakan alat
panduan (guideline) didalam melakukan penilaian selanjutnya didalam membaca
kasus Ahok.
Semoga ada yang bisa membantu untuk “menjawab” pertanyaan dan “menjernihkan” persoalan ini sehingga
untuk kasus Ahok, kita dapat mengukur terhadap pernyataan Kapolri “bekerja obyektif dan professional”.