Padi Menjadi. Airnyo jernih, ikan jinak.
Rumput hijau. Kerbo gepuk
Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugu’
Entah apa
kalimat yang pantas menggambarkan suasana “penyerbuan” ke Desa Sukamulya,
Kertajati, Majalengka oleh aparat yang menolak pembangunan proyek Bandara
Internasional Jawa Barat (BIJB). Padi yang ditanami kemudian dihancurkan tanpa
mempertimbangkan “rasa” dan penghormatan terhadap tanaman padi.
Entah lain
peradaban atau sama sekali tidak menghargai padi, sehingga menghancurkan padi
justru tidak semata-mata menghancurkan padi yang akan menjadi beras. Tanaman
utama dimakan rakyat Indonesia.
Tapi padi bukan
semata-mata tanaman utama. Proses penghormatan padi baik dimulai dari
“penyimpanan”, penamaan hingga panen merupakan rangkaian prosesi acara yang
berlangsung terus menerus dan masih dilangsungkan hingga sekarang.
Di Kaharingan, dikenal istilah yaitu "Parei
manyengan tingang akan pantai danum kalunen indu tuntung haseng". (Padi dikirimkan ke bumi, ketempat manusia
tinggal guna dimakan untuk kelanjutan dan kesempurnaan kehidupan manusia".
Artinya melalui padi, manusia memperoleh kesempurnaan hidup, serta kesegaran
jiwa dan badan). Oleh karena itu bagi suku dayak pada masa lalu memperoleh padi
secara langsung, yaitu dengan memiliki ladang/ tanah untuk komunalnya, dan
mengusahakannya merupakan tumpuan harapan dan menjadi salah satu syarat
mendapat kebanggaan keluarga dan masyarakat[1].
Atau istilah Wiwitan merupakan ritual persembahan
tradisional masyarakat Jawa sebelum panen padi dilakukan. Ritual itu dilakukan sebagai wujud terima
kasih dan rasa syukur kepada bumi sebagai sedulur sike[2]p,
dan Dewi Sri ( Dewi Padi) yang mereka percaya menumbuhkan padi sebelum panen[3].
Selain wiwitan
dikenal Mapag Sri. Mapag Sri
adalah tradisi yang dilaksanakan untuk menyambut datangnya panen raya sebagai
wujud rasa syukur kepada Tuhan yang Maha esa.
Mapag Sri berarti menjemput padi. Dalam
bahasa Jawa halus, mapag berarti menjemput, sedangkan sri dimaksudkan sebagai
padi. Maksud dari menjemput padi adalah panen. Mapag Sri dilaksanakan
dengan maksud sebagai ungkapan rasa syukur para petani kepada Tuhan Yang
Mahaesa karena panen yang diharapkan telah tiba dengan hasil yang memuaskan.
Mapag Sri dilaksanakan menjelang musim panen.
Meskipun panen ini berlangsung setiap tahun, Mapag Sri tidak selalu
dilaksanakan setiap tahunnya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan upacara ini
tidak bisa selalu dilaksanakan seperti faktor keamanan, dan faktor buruknya
hasil panen sehingga upacara ini tidak dapat dilaksanakan.
Mapag Sri adalah ritus yang terhubung dengan mitos Dewi Sri atau Nyi Pohaci Sanghyang Sri yang dianggap sebagai Dewa Padi. Bagi masyarakat tradisional khususnya wilayah pesisir pantura Indramayu, Cirebon, Dewi Sri adalah dewi pemberi kehidupan dan menuntun orang pada berbagai tatacara menghorm
Cerita Dewi Sri
yang dengan tumbuh-tumbuhan khususnya padi
dijumpai di dalam Kitab Tantu Panggelaran yang terdapat pada abad 15-16.
Di Pulau Jawa mitos asal mula tumbuh tumbuhan
yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, biasanya dihubungkan dengan
tokoh dewa-dewi dalam agama Hindu. Misalnya Dewi Sri atau Tiksnawati, atau
Laksmi, adalah cakti Dewa Wisnu.
Dalam cerita-cerita mitos dewi kesuburan,
Dewi Sri atau dengan sebutan lainnya selalu didampingi Dewa Wisnu yang juga
dalam wujud lain. Cakti merupakan daya kekuatan seorang dewa untuk dapat
berkarya dan menciptakan. Banyak mitos tentang kelahiran, penerus keturunan
yang kemudian dihubungkan dengan tokoh perempuan. Berkaitan dengan ini kemudian
di lingkungan masyarakat agraris muncul kultus dewi ibu[4]
Prosesi
penghormatan terhadap padi dapat ditandai dengan berbagai rangkaian seperti Macul (mencangkul), Ngurit (istilah dalam menyiapkan bibit padi. Dengan
cara petani menebar butir-butir padi), Ngkluku (Pekerjaan ini
adalah membuka lahan dengan menggunakan luku. Luku adalah bajak dalam bahasa
Jawa), Nggaru (Nggaru adalah meratakan tanah Nggaru juga
dibantu dengan dua ekor sapi atau kerbau), Angkler (Angkler ketika
menggarap lahan yang disiapkan untuk ditanami padi), Tembok (Tembok kegiatan utamannya adalah mengerjakan pematang sawah. biasanya
pematang sawah dibongkar untuk diganti baru), Ndaut (Ndaut adalah kegiatan
mencabut bibit dari persemaian), Tandur
(Tandur adalah menanam benih padi
di lahan yang telah disiapkan. Tandur biasanya dikerjakan oleh ibu-ibu setelah
sebelumnya ngluku, nggaru, tembok, dikerjakan oleh bapak-bapa.), Matun (Matun adalah kegiatan menyiangi rumput beberapa minggu setelah padi di
tanam), Tunggu manuk (Setelah padi mulai berbuah biasanya ada hama
tanaman. yang paling sering adalah burung), Derep (Derep adalah kegiatan menanam padi. Derep menggunakan alat yang bernama
ani-ani. Ani-ani adalah alat dari sekeping kayu dan bambu kecil dengan sebilah
logam di pinggir kayu yang berfungsi sebagai pisau. pisau inilah yang digunakan
untuk memotong bulir padi dari batangnya), Nebaske (Nebaske berarti
menjual padi di sawah kepada tukang tebas padi[5].
Pada
komunitas Masyarakat Adat Dayak dalam wilayah adat Binua Sunge Samak di Sungai
Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, ada 20 tahapan berladang dalam satu siklus yang
harus dilewati dari mulai Bahaupm
(musyawarah) hingga Mipis Banih
(ritual memberkati benih sebagai ungkapan kegembiraan dan rasa syukur kepada
Sang Pencipta atas hasil panen padi ladang) atau Roah. Mipis Banih sebagai
ungkapan kegembiraan dan syukur tersebut juga dikenal dengan Naik Dango[6].
Di Sumsel juga dikenal
“sonor”. Padi Sonoratau biasa mayarakat menyebutnya dengan ‘nyonor’
merupakan system pertanian padi di areal rawa dan gambut. Nyonor dilakukan
masyarakat hanya ketika memasuki musim panas (kemarau) yang berkepanjangan. Di
Desa Perigi Nyonor misalnya, dalam perkembangannya Nyonor dilakukan bisa
mencapai beberapa tahun sekali. Tentunya setiap daerah berbeda-beda mengenai
waktu kapan akan menyonor. Sonor juga merupakan sebuah ‘cara’ atau kebiasaan
masyarakat dalam mengelola rawa dan api, aktivitas ini sesuai dengan definisi
sonor di dalam masyarakat Perigi yakni membuka lahan dengan cara membakar
(untuk pertanian).Dimana api digunakan dalam menyiapkan lahan dan harus dapat
dikendalikan, karena jika tidak mampu dikendalikan akan merugikan tanaman
masyarakat sekitarnya dan tanaman-tanaman hutan yang memiliki peranan penting.
Jika mengenai tanaman milik orang lain, akan didenda sejumlah denda adat berupa
ganti rugi[7].
Di Jambi dikenal istilah seperti ”ngambil arin
dan baleh arin” atau “narin” atau “pelarian” (yaitu dimana petani bekerja
di lahan petani yang lain secara bergantian berdasarkan hitungan jumlah hari
kerja), Gerebuh (jika ada keluarga yang mendapat musibah (misalnya
kematian, kecelakaan atau musibah besar lainnya) maka anggota keluarga terdekat
atau bisa penduduk dusun secara suka rela membantu menyelesaikan pekerjaan yang
mendesak seperti : panen padi (nuai), nebas
jerami, merumput (membersihkan gulma/rerumputan pada areal ladang tempat
menanam padi ladang), Nyerayo meminta
bantu kepada keluarga, tetangga atau dalam skala besar kepada seluruh penduduk
(isi alam isi negeri, anak jantan anak
betino) untuk membantu meyelesaikan pekerjaan yang mendesak seperti panen
padi (nuai), nebas jerami, merumput
(membersihkan gulma/rerumputan padi ladang), “Nigoi sawah” (mengelola
sawah orang lain dengan sistem bagi tiga), “Nugal”
(bersama-sama dengan petani-petani yang bedekatan lokasi ladang (kelompok
talang) menanam padi ladang. Penanaman padi ladang mengunakan alat dari kayu
yang diruncingkan untuk membuat lobang tanam yang dinamakan “tugal”[8]
Di daerah gambut, juga dikenal seperti “peumoan,
pematang,”, tradisi membersihkan lahan seperti pelarian, beselang maupun
tata cara membuka lahan seperti melaras, menebang, mereda, melarat, membakar
dan memerun[9]”
maupun teknik mengelola wilayah “peumoan” seperti “mengorot, ngaur,
ngiri, menampi sudah dikenal masyarakat.
Sejarah panjang tentang padi juga ditandai
dengan benih-benih local padi. Setiap desa-desa di Jambi mengenal padi benih
local dengan penamaan yang masih dirawat hingga sekarang. Misalnya Renik Kanal,
Pulut Mantung, Silang Jambu, Silang Kudung, Pulut Turun Daun (Desa Tanjung
Alam), Seringin Tinggi, Kuning Besar, Pulut Putih, Pulut Hitam (Desa Gedang), Padi
rias, Padi Sunggut, Padi Dayang, Padi Lumut, Padi Seribu Naik, Padi Kasar
(Lubuk Mandarsyah) adalah nama-nama padi local yang tetap dirawat hingga
sekarang. Tentu masih banyak nama-nama setiap desa yang mengenal benih local.
Bahkan saya pernah mencatat, ada satu desa hingga mempunyai benih local hingga
15 padi local.
Masyarakat di Jambi juga mengenal alat
tradisional seperti Tajak, Luci, galah, Tuai, jangki, bilik sebagai alat bantu
untuk padi.[10] Fungsi
alat-alat pertanian tradisional digunakan untuk memanen dan memelihara padi
baik sebelum atau sesudah pane.
Dengan dirawatnya padi oleh rakyat di Jambi,
maka ujaran seperti Padi Menjadi. Airnyo
jernih, ikan jinak. Rumput hijau. Kerbo gepuk. Ke aek
cemeti keno. Ke darat durian gugu’, merupakan lambang kesuburan dan
kemakmuran di Jambi. Tanda alam bersahabat dan memberikan kemakmuran kepada
manusia di sekitarnya.
Penghormatan terhadap padi sering juga diujar
didalam makna filosofi seperti “Ilmu padi.
Semakin berisi semakin menunduk”. Atau “Menanam
padi pasti tumbuh rumput. Tapi menanam rumput tidak mungkin tumbuh padi”.
Kalimat pertama mengisyaratkan agar setiap
diri kita mempunyai refleksi terhadap “keagungan” terhadap ilmu. Semakin tinggi
ilmu yang didapatkan justru bersikap rendah hati. Dengan rendah hati, maka
ketinggian ilmu kemudian dihormati.
Sedangkan kalimat kedua mengisyaratkan,
bagaimanapun kebaikan ditebar dimuka bumi, maka tetap ada yang membalaskannya
dengan kejahatan. Namun apabila kita menyebarkan kejahatan, maka tidak mungkin
akan timbul kebaikan. Dengan demikian, maka sudah seharusnya, tetap menyebarkan
kebaikan. Terhadap kejahatan yang dibalas dari kebaikan, maka kejahatan
(rumput) tetap harus disiangi (dibuang).
Melihat berbagai penghormatan terhadap padi,
maka sampai sekarang saya tidak bisa membayangkan bagaimana mungkin “Negara”
kemudian menghancurkan padi sebagai symbol penghormatan masyarakat Indonesia.
Cara-cara instan selain akan berhadapan dengan timbulnya kekerasan serupa oleh
rakyat, menghancurkan padi adalah menghancurkan peradaban. Peradaban adiluhung
masyarakat Indonesia.
[1] Data berbagai sumber
[2] sedulur sikep bagi orang Jawa karena bumi
dianggap sebagai saudara manusia yang harus dihormati dan dijaga
dilestarikannya untuk kehidupan.
[3] Disebut sebagai ‘wiwitan’ karena arti ‘wiwit’
adalah ‘mulai’, memotong padi sebelum panen diselenggarakan.
[4] Frans Magnis Suseno, Etika Jawa -Sebuah
Analisa Filsafat Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia, Jakarta, 1989
[5] Data berbagai sumber
[6] Riset Walhi Kalbar, 2016,
[7] Riset Walhi Sumsel, 2016
[8] Riset Walhi Jambi, 2011
[9] Bahkan dalam tradisi “merun”, dikenal mantra hantu
tanah, jumblang tanah, Betak biuto, Tembu Beriang, Dibatasi lahan kayu, lahan
rempai, Keluarlah dari sini. Kalau dak mau keluar, lukah dak kami pampah.
Mati dak kami bangun. Kami membakar yang layu yang rengah. Jin Api. Jin
Angin bakarlah yang layu yang rengah. Dengan pembacaan mantra, maka api
tidak menjalar dan dapat dikendalikan hingga masa menugal.
[10] Bujang Ibrahim, Peralatan Produksi Tradisional dan
Perkembangannya di Daerah Jambi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi
Jambi, Jambi, 1990, hal.