18 November 2016

opini musri nauli : Makna Padi Bagi Rakyat




Padi Menjadi. Airnyo jernih, ikan jinak.
Rumput hijau. Kerbo gepuk
Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugu’



Entah apa kalimat yang pantas menggambarkan suasana “penyerbuan” ke Desa Sukamulya, Kertajati, Majalengka oleh aparat yang menolak pembangunan proyek Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB). Padi yang ditanami kemudian dihancurkan tanpa mempertimbangkan “rasa” dan penghormatan terhadap tanaman padi.

Entah lain peradaban atau sama sekali tidak menghargai padi, sehingga menghancurkan padi justru tidak semata-mata menghancurkan padi yang akan menjadi beras. Tanaman utama dimakan rakyat Indonesia.

Tapi padi bukan semata-mata tanaman utama. Proses penghormatan padi baik dimulai dari “penyimpanan”, penamaan hingga panen merupakan rangkaian prosesi acara yang berlangsung terus menerus dan masih dilangsungkan hingga sekarang.

Di Kaharingan, dikenal istilah yaitu "Parei manyengan tingang akan pantai danum kalunen indu tuntung haseng".  (Padi dikirimkan ke bumi, ketempat manusia tinggal guna dimakan untuk kelanjutan dan kesempurnaan kehidupan manusia". Artinya melalui padi, manusia memperoleh kesempurnaan hidup, serta kesegaran jiwa dan badan). Oleh karena itu bagi suku dayak pada masa lalu memperoleh padi secara langsung, yaitu dengan memiliki ladang/ tanah untuk komunalnya, dan mengusahakannya merupakan tumpuan harapan dan menjadi salah satu syarat mendapat kebanggaan keluarga dan masyarakat[1].

Atau istilah Wiwitan merupakan ritual persembahan tradisional masyarakat Jawa sebelum panen padi dilakukan. Ritual itu dilakukan sebagai wujud terima kasih dan rasa syukur kepada bumi sebagai sedulur sike[2]p, dan Dewi Sri ( Dewi Padi) yang mereka percaya menumbuhkan padi sebelum panen[3].

Selain wiwitan dikenal Mapag Sri. Mapag Sri adalah tradisi yang dilaksanakan untuk menyambut datangnya panen raya sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan yang Maha esa.

Mapag Sri berarti menjemput padi. Dalam bahasa Jawa halus, mapag berarti menjemput, sedangkan sri dimaksudkan sebagai padi. Maksud dari menjemput padi adalah panen. Mapag Sri dilaksanakan dengan maksud sebagai ungkapan rasa syukur para petani kepada Tuhan Yang Mahaesa karena panen yang diharapkan telah tiba dengan hasil yang memuaskan.

Mapag Sri dilaksanakan menjelang musim panen. Meskipun panen ini berlangsung setiap tahun, Mapag Sri tidak selalu dilaksanakan setiap tahunnya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan upacara ini tidak bisa selalu dilaksanakan seperti faktor keamanan, dan faktor buruknya hasil panen sehingga upacara ini tidak dapat dilaksanakan.

Mapag Sri adalah ritus yang terhubung dengan mitos Dewi Sri atau Nyi Pohaci Sanghyang Sri yang dianggap sebagai Dewa Padi. Bagi masyarakat tradisional khususnya wilayah pesisir pantura Indramayu, Cirebon, Dewi Sri adalah dewi pemberi kehidupan dan menuntun orang pada berbagai tatacara menghorm

Cerita Dewi Sri yang dengan tumbuh-tumbuhan khususnya padi dijumpai di dalam Kitab Tantu Panggelaran yang terdapat pada abad 15-16.

Di Pulau Jawa mitos asal mula tumbuh tumbuhan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, biasanya dihubungkan dengan tokoh dewa-dewi dalam agama Hindu. Misalnya Dewi Sri atau Tiksnawati, atau Laksmi, adalah cakti Dewa Wisnu.

Dalam cerita-cerita mitos dewi kesuburan, Dewi Sri atau dengan sebutan lainnya selalu didampingi Dewa Wisnu yang juga dalam wujud lain. Cakti merupakan daya kekuatan seorang dewa untuk dapat berkarya dan menciptakan. Banyak mitos tentang kelahiran, penerus keturunan yang kemudian dihubungkan dengan tokoh perempuan. Berkaitan dengan ini kemudian di lingkungan masyarakat agraris muncul kultus dewi ibu[4]

Prosesi penghormatan terhadap padi dapat ditandai dengan berbagai rangkaian seperti Macul (mencangkul), Ngurit (istilah dalam menyiapkan bibit padi. Dengan cara petani menebar butir-butir padi), Ngkluku (Pekerjaan ini adalah membuka lahan dengan menggunakan luku. Luku adalah bajak dalam bahasa Jawa), Nggaru (Nggaru adalah meratakan tanah Nggaru juga dibantu dengan dua ekor sapi atau kerbau), Angkler (Angkler ketika menggarap lahan yang disiapkan untuk ditanami padi), Tembok (Tembok kegiatan utamannya adalah mengerjakan pematang sawah. biasanya pematang sawah dibongkar untuk diganti baru), Ndaut (Ndaut adalah kegiatan mencabut bibit dari persemaian), Tandur (Tandur adalah menanam benih padi di lahan yang telah disiapkan. Tandur biasanya dikerjakan oleh ibu-ibu setelah sebelumnya ngluku, nggaru, tembok, dikerjakan oleh bapak-bapa.), Matun (Matun adalah kegiatan menyiangi rumput beberapa minggu setelah padi di tanam), Tunggu manuk (Setelah padi mulai berbuah biasanya ada hama tanaman. yang paling sering adalah burung),  Derep (Derep adalah kegiatan menanam padi. Derep menggunakan alat yang bernama ani-ani. Ani-ani adalah alat dari sekeping kayu dan bambu kecil dengan sebilah logam di pinggir kayu yang berfungsi sebagai pisau. pisau inilah yang digunakan untuk memotong bulir padi dari batangnya), Nebaske (Nebaske berarti menjual padi di sawah kepada tukang tebas padi[5].

Pada komunitas Masyarakat Adat Dayak dalam wilayah adat Binua Sunge Samak di Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, ada 20 tahapan berladang dalam satu siklus yang harus dilewati dari mulai Bahaupm (musyawarah) hingga Mipis Banih (ritual memberkati benih sebagai ungkapan kegembiraan dan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas hasil panen padi ladang) atau Roah. Mipis Banih sebagai ungkapan kegembiraan dan syukur tersebut juga dikenal dengan Naik Dango[6].

Di Sumsel juga dikenal “sonor”. Padi Sonoratau biasa mayarakat menyebutnya dengan ‘nyonor’ merupakan system pertanian padi di areal rawa dan gambut. Nyonor dilakukan masyarakat hanya ketika memasuki musim panas (kemarau) yang berkepanjangan. Di Desa Perigi Nyonor misalnya, dalam perkembangannya Nyonor dilakukan bisa mencapai beberapa tahun sekali. Tentunya setiap daerah berbeda-beda mengenai waktu kapan akan menyonor. Sonor juga merupakan sebuah ‘cara’ atau kebiasaan masyarakat dalam mengelola rawa dan api, aktivitas ini sesuai dengan definisi sonor di dalam masyarakat Perigi yakni membuka lahan dengan cara membakar (untuk pertanian).Dimana api digunakan dalam menyiapkan lahan dan harus dapat dikendalikan, karena jika tidak mampu dikendalikan akan merugikan tanaman masyarakat sekitarnya dan tanaman-tanaman hutan yang memiliki peranan penting. Jika mengenai tanaman milik orang lain, akan didenda sejumlah denda adat berupa ganti rugi[7].

Di Jambi dikenal istilah seperti ngambil arin dan baleh arin” atau “narin” atau “pelarian” (yaitu dimana petani bekerja di lahan petani yang lain secara bergantian berdasarkan hitungan jumlah hari kerja),  Gerebuh (jika ada keluarga yang mendapat musibah (misalnya kematian, kecelakaan atau musibah besar lainnya) maka anggota keluarga terdekat atau bisa penduduk dusun secara suka rela membantu menyelesaikan pekerjaan yang mendesak seperti : panen padi (nuai), nebas jerami, merumput (membersihkan gulma/rerumputan pada areal ladang tempat menanam padi ladang), Nyerayo meminta bantu kepada keluarga, tetangga atau dalam skala besar kepada seluruh penduduk (isi alam isi negeri, anak jantan anak betino) untuk membantu meyelesaikan pekerjaan yang mendesak seperti panen padi (nuai), nebas jerami, merumput (membersihkan gulma/rerumputan padi ladang),  “Nigoi sawah” (mengelola sawah orang lain dengan sistem bagi tiga), “Nugal” (bersama-sama dengan petani-petani yang bedekatan lokasi ladang (kelompok talang) menanam padi ladang. Penanaman padi ladang mengunakan alat dari kayu yang diruncingkan untuk membuat lobang tanam yang dinamakan “tugal[8]
Di daerah gambut, juga dikenal seperti “peumoan, pematang,”, tradisi membersihkan lahan seperti pelarian, beselang maupun tata cara membuka lahan seperti melaras, menebang, mereda, melarat, membakar dan memerun[9]maupun teknik mengelola wilayah “peumoan” seperti “mengorot, ngaur, ngiri, menampi sudah dikenal masyarakat.
Sejarah panjang tentang padi juga ditandai dengan benih-benih local padi. Setiap desa-desa di Jambi mengenal padi benih local dengan penamaan yang masih dirawat hingga sekarang. Misalnya Renik Kanal, Pulut Mantung, Silang Jambu, Silang Kudung, Pulut Turun Daun (Desa Tanjung Alam), Seringin Tinggi, Kuning Besar, Pulut Putih, Pulut Hitam (Desa Gedang), Padi rias, Padi Sunggut, Padi Dayang, Padi Lumut, Padi Seribu Naik, Padi Kasar (Lubuk Mandarsyah) adalah nama-nama padi local yang tetap dirawat hingga sekarang. Tentu masih banyak nama-nama setiap desa yang mengenal benih local. Bahkan saya pernah mencatat, ada satu desa hingga mempunyai benih local hingga 15 padi local.
Masyarakat di Jambi juga mengenal alat tradisional seperti Tajak, Luci, galah, Tuai, jangki, bilik sebagai alat bantu untuk padi.[10] Fungsi alat-alat pertanian tradisional digunakan untuk memanen dan memelihara padi baik sebelum atau sesudah pane.
Dengan dirawatnya padi oleh rakyat di Jambi, maka ujaran seperti Padi Menjadi. Airnyo jernih, ikan jinak. Rumput hijau. Kerbo gepuk. Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugu’, merupakan lambang kesuburan dan kemakmuran di Jambi. Tanda alam bersahabat dan memberikan kemakmuran kepada manusia di sekitarnya.
Penghormatan terhadap padi sering juga diujar didalam makna filosofi seperti “Ilmu padi. Semakin berisi semakin menunduk”. Atau “Menanam padi pasti tumbuh rumput. Tapi menanam rumput tidak mungkin tumbuh padi”.
Kalimat pertama mengisyaratkan agar setiap diri kita mempunyai refleksi terhadap “keagungan” terhadap ilmu. Semakin tinggi ilmu yang didapatkan justru bersikap rendah hati. Dengan rendah hati, maka ketinggian ilmu kemudian dihormati.

Sedangkan kalimat kedua mengisyaratkan, bagaimanapun kebaikan ditebar dimuka bumi, maka tetap ada yang membalaskannya dengan kejahatan. Namun apabila kita menyebarkan kejahatan, maka tidak mungkin akan timbul kebaikan. Dengan demikian, maka sudah seharusnya, tetap menyebarkan kebaikan. Terhadap kejahatan yang dibalas dari kebaikan, maka kejahatan (rumput) tetap harus disiangi (dibuang).

Melihat berbagai penghormatan terhadap padi, maka sampai sekarang saya tidak bisa membayangkan bagaimana mungkin “Negara” kemudian menghancurkan padi sebagai symbol penghormatan masyarakat Indonesia. Cara-cara instan selain akan berhadapan dengan timbulnya kekerasan serupa oleh rakyat, menghancurkan padi adalah menghancurkan peradaban. Peradaban adiluhung masyarakat Indonesia.




[1] Data berbagai sumber
[2] sedulur sikep bagi orang Jawa karena bumi dianggap sebagai saudara manusia yang harus dihormati dan dijaga dilestarikannya untuk kehidupan.
[3] Disebut sebagai ‘wiwitan’ karena arti ‘wiwit’ adalah ‘mulai’, memotong padi sebelum panen diselenggarakan.

[4] Frans Magnis Suseno, Etika Jawa -Sebuah Analisa Filsafat Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia, Jakarta, 1989
[5] Data berbagai sumber
[6] Riset Walhi Kalbar, 2016,
[7] Riset Walhi Sumsel, 2016
[8] Riset Walhi Jambi, 2011
[9] Bahkan dalam tradisi “merun”, dikenal mantra  hantu tanah, jumblang tanah, Betak biuto, Tembu Beriang, Dibatasi lahan kayu, lahan rempai, Keluarlah dari sini.  Kalau dak mau keluar, lukah dak kami pampah. Mati dak kami bangun.  Kami membakar yang layu yang rengah. Jin Api. Jin Angin bakarlah yang layu yang rengah. Dengan pembacaan mantra, maka api tidak menjalar dan dapat dikendalikan hingga masa menugal.
[10] Bujang Ibrahim, Peralatan Produksi Tradisional dan Perkembangannya di Daerah Jambi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jambi, Jambi, 1990, hal.