Ciutan
(twitter) Pandu Wijaya (Pandu) terhadap KH. Ahmad Mustofa Bisri
(Gus Mus), Pengasuh Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin, Rembang menimbulkan “kehebohan”
di negeri. Ciutannya di twitter oleh Pandu dianggap tidak pantas ditujukan
kepada seorang Kiyai yang dihormati NU.
Seorang
dihormati yang ditandai sebagai Rais Am Syuriah NU (Dewan Penasehat). Lembaga ini dihormati di NU dengan tugas sebagai
pemegang kebijakan tertinggi organisasi. Dalam struktur ini, memegang jabatan
ini sering disebut ulama mumpuni dan dihormati di kalangan Nadhiyin.
Pandu
kemudian menyadari kesalahnnya. Bersama ibu dan saudaranya, Pandu kemudian
mengunjungi Gus Mus di Rembang dan diterima.
Justru Gus Mus menerima permohonan maaf dan menyuguhi makanan dan
minuman.
Sambil
berguyon, Gus Mus berkata “kamu
merepotkan Ibumu”. Bahkan Gus Mus kemudian meminta kepada Fadjroel Rachman
(Komisaris Utama PT. Adhi Karya) agar terhadap Pandu agar tidak dipecat.
Dari
peristiwa diatas, banyak pesan yang hendak disampaikan oleh Gus Mus. Jawaban
dari “hardikan” Pandu justru disambut
dengan senyuman. Dengan santai Gus Mus menyebutkan “bahasa khusus di tempat umum”. Sebuah perumpamaan yang tidak tepat
disebutkan oleh Pandu dalam twitter.
Kedua.
Gus Mus justru memaafkan dan “memperjuangkan”
agar Pandu tidak diberhentikan. Ketiga. Justru Gus Mus menyambut sang penghina
dengna makanan dan minuman. Keempat. Sambil guyon “kamu merepotkan ibumu”.
Kedatangan
Pandu bersilahturahmi ke kediaman ke tempat pesantren Gus Mus sebuah jiwa besar
yang kemudian disambut oleh Gus Mus. Bersama dengan Ibu Pandu, Gus Mus justru
menyambut tangan terbuka. Ibu sebagai symbol yang dihormati oleh Gus Mus
kemudian membuat kita membaca peristiwa ini menjadi terharu.
Dalam
praktek hukum formal, kesalahan fatal dari Pandu bisa menyeret ke persoalan
yang cukup serius. Dengan UU ITE yang mengintai terhadap “penghinaan” terhadap
Kiyai NU, bisa berakibat di ujung jeruji. Dari ranah ini kita sudah bisa
melihat bagaimana kasus Buni Yani ataupun Abu Uwais kemudian ditetapkan sebagai
tersangka dan menunggu proses hukum selanjutnya.
Namun
diskusi kali ini bukan melihat peristiwa terhadap Pandu dari hukum formal. Tapi
dari ranah pendekatan hukum adat di Jambi.
Dalam
Pucuk Undang Delapan, penghinaan biasa disebut dengan “Sumbang Salah”. “Sumbang
Salah” dikategorikan sebagai melakukan perbuatan yang menurut pendapatn umum
melanggar kepentingan bersama/umum sehingga menimbulkan kegaduhan di seantero
negeri.
Dalam
praktek yang jamak terjadi, terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai
“sumbang salah” baik, karena ucapan maupun perbuatan. Perbuatan maupun ucapan
sungguh tidak pantas sehingga terhadap pelaku haruslah diberi sanksi.
Didalam
menyelesaikan persoalan, sang “terhukum” dapat menemui “ninik mamak” dan menyampaikan permohonan
maaf. Ninik mamak dari terhukum kemudian menemui ninik mamak dari korban untuk
menyampaikan permohonan maafnya.
Kedatangan
Ninik Mamak dapat “membawa nasi putih,
air jernih” atau “rokok nan sebatang. sirih nan sekapur”.
Kedatangan ninik mamak dari terhukum kepada ninik mamak korban disambut dengan
Seloko. “Apabila duduk didalam musyawarah
dan mufakat. Disitu kusut diselesaikan. Disitu keruh
dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah
Adat
duduk bermusyawarah. Bertampan
hendak lebar. Bersambang hendak panjang.
Supaya yang genting tidak putus.
Supaya yang biang tidak tembuk
Kedua
belah pihak dapat menemui Kepala Kampung/Kepala Dusun untuk membantu
menyelesaikannya. Sehingga didalam rapat adat kemudian mempertemukan kedua
belah pihak sehingga dapat dilakukan penyelesaian sehingga kedua belah dapat
saling memaafkan.
Terhadap
terhukum kemudian didalam rapat adat dijatuhi hukuman adat yang ditentukan
kedua belah pihak. Dalam praktek dijatuhi “ayam
sekok. Beras segantang. Selemak semanis”. Di berbagai tempat ditambah “kelapa sepikul”, atau “asam garam”, atau “kain sekayu” atau “emas setengah
setail”.
Namun
terhadap “sumbang salah” kepada
pembesar negeri tidak mudah. Ninik mamak terhukum bisa langsung mengajukan
permohonan maaf kepada Kepala Dusun. Kepala Dusun bersama-sama dengan Ninik
mamak kedua belah pihak menemui sang pembesar untuk menyampaikan permohonan
maaf dari terhukum.
Walaupun
sang Pembesar telah memaafkan, namun sanksi kepada terhukum tidak bisa lagi
berupa “ayam sekok. beras segantang. Namun
lebih berat seperti “kambing sekok. Beras
20 gantang”. Di berbagai tempat ditambah “kelapa 20 pikul”, atau “asam
garam”, atau “kain 4 kayu” atau “emas setail”.
Bahkan
terhadap penghinaan terhadap keluarga pembesar ataupun penistaan terhadap
kesusilaan (seperti menuduh yang tidak
pantas, menuduh pembesar pembohong, menuduh pembesar fitnah lebih besar yang
dapat keguncangan negeri).
Sanksinya
berupa “kerbo sekok, Beras 100 gantang”. Bahkan ditambah “kelapa 100 pikul”, atau “asam
garam”, atau “kain 10 kayu”
atau “emas 4 setail”. Sanksi ini
dapat dipersamakan dengan kesalahan yang disebut “dago dagi (perbuatan yang
melanggar kepentingan umum yang mengakibatkan kekacauan), “tikam bunuh”
(membunuh dengan senjata tajam”, “upas racun” (membunuh dengan racun).
Sehingga
“sumbang salah” terhadap pembesar
negeri merupakan perbuatan yang berat di tengah masyarakat di Jambi.
Namun
dengan kebesaran dari Gus Mus yang memberikan maaf kemudian memberikan
keteladanan dari “kebesaran jiwa” seorang pembesar negeri.
Rasa
terharu terhadap “guyonan” Gus Mus kepada Pandu “kamu merepotkan ibumu” kemudian membuat peristiwa ini memberikan
pelajaran penting kepada kita semua. Gus Mus kemudian meletakkan maaf sebagai
akhlak. Sebuah cerminan Islam yang bisa kita teladani.