26 November 2016

opini musri nauli : SUMBANG SALAH PANDU TERHADAP GUSMUS


Ciutan (twitter) Pandu Wijaya (Pandu) terhadap KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang menimbulkan “kehebohan” di negeri. Ciutannya di twitter oleh Pandu dianggap tidak pantas ditujukan kepada seorang Kiyai yang dihormati NU.
Seorang dihormati yang ditandai sebagai Rais Am Syuriah NU (Dewan Penasehat). Lembaga ini dihormati di NU dengan tugas sebagai pemegang kebijakan tertinggi organisasi. Dalam struktur ini, memegang jabatan ini sering disebut ulama mumpuni dan dihormati di kalangan Nadhiyin.

Pandu kemudian menyadari kesalahnnya. Bersama ibu dan saudaranya, Pandu kemudian mengunjungi Gus Mus di Rembang dan diterima.  Justru Gus Mus menerima permohonan maaf dan menyuguhi makanan dan minuman.

Sambil berguyon, Gus Mus berkata “kamu merepotkan Ibumu”. Bahkan Gus Mus kemudian meminta kepada Fadjroel Rachman (Komisaris Utama PT. Adhi Karya) agar terhadap Pandu agar tidak dipecat.

Dari peristiwa diatas, banyak pesan yang hendak disampaikan oleh Gus Mus. Jawaban dari “hardikan” Pandu justru disambut dengan senyuman. Dengan santai Gus Mus menyebutkan “bahasa khusus di tempat umum”. Sebuah perumpamaan yang tidak tepat disebutkan oleh Pandu dalam twitter.

Kedua. Gus Mus justru memaafkan dan “memperjuangkan” agar Pandu tidak diberhentikan. Ketiga. Justru Gus Mus menyambut sang penghina dengna makanan dan minuman. Keempat. Sambil guyon “kamu merepotkan ibumu”.

Kedatangan Pandu bersilahturahmi ke kediaman ke tempat pesantren Gus Mus sebuah jiwa besar yang kemudian disambut oleh Gus Mus. Bersama dengan Ibu Pandu, Gus Mus justru menyambut tangan terbuka. Ibu sebagai symbol yang dihormati oleh Gus Mus kemudian membuat kita membaca peristiwa ini menjadi terharu.

Dalam praktek hukum formal, kesalahan fatal dari Pandu bisa menyeret ke persoalan yang cukup serius. Dengan UU ITE yang mengintai terhadap “penghinaan” terhadap Kiyai NU, bisa berakibat di ujung jeruji. Dari ranah ini kita sudah bisa melihat bagaimana kasus Buni Yani ataupun Abu Uwais kemudian ditetapkan sebagai tersangka dan menunggu proses hukum selanjutnya.

Namun diskusi kali ini bukan melihat peristiwa terhadap Pandu dari hukum formal. Tapi dari ranah pendekatan hukum adat di Jambi.

Dalam Pucuk Undang Delapan, penghinaan biasa disebut dengan “Sumbang Salah”. “Sumbang Salah” dikategorikan sebagai melakukan perbuatan yang menurut pendapatn umum melanggar kepentingan bersama/umum sehingga menimbulkan kegaduhan di seantero negeri.

Dalam praktek yang jamak terjadi, terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai “sumbang salah” baik, karena ucapan maupun perbuatan. Perbuatan maupun ucapan sungguh tidak pantas sehingga terhadap pelaku haruslah diberi sanksi.

Didalam menyelesaikan persoalan, sang “terhukum” dapat  menemui “ninik mamak” dan menyampaikan permohonan maaf. Ninik mamak dari terhukum kemudian menemui ninik mamak dari korban untuk menyampaikan permohonan maafnya.

Kedatangan Ninik Mamak dapat “membawa nasi putih, air jernih” atau  rokok nan sebatang. sirih nan sekapur”. Kedatangan ninik mamak dari terhukum kepada ninik mamak korban disambut dengan Seloko. “Apabila duduk didalam musyawarah dan mufakat. Disitu kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah

Adat duduk bermusyawarah. Bertampan  hendak lebar. Bersambang hendak panjang. Supaya yang genting tidak putus. Supaya yang biang tidak tembuk

Kedua belah pihak dapat menemui Kepala Kampung/Kepala Dusun untuk membantu menyelesaikannya. Sehingga didalam rapat adat kemudian mempertemukan kedua belah pihak sehingga dapat dilakukan penyelesaian sehingga kedua belah dapat saling memaafkan.

Terhadap terhukum kemudian didalam rapat adat dijatuhi hukuman adat yang ditentukan kedua belah pihak. Dalam praktek dijatuhi “ayam sekok. Beras segantang. Selemak semanis”. Di berbagai tempat ditambah “kelapa sepikul”, atau “asam garam”, atau “kain sekayu” atau “emas setengah setail”.

Namun terhadap “sumbang salah” kepada pembesar negeri tidak mudah. Ninik mamak terhukum bisa langsung mengajukan permohonan maaf kepada Kepala Dusun. Kepala Dusun bersama-sama dengan Ninik mamak kedua belah pihak menemui sang pembesar untuk menyampaikan permohonan maaf dari terhukum.

Walaupun sang Pembesar telah memaafkan, namun sanksi kepada terhukum tidak bisa lagi berupa “ayam sekok. beras segantang. Namun lebih berat seperti “kambing sekok. Beras 20 gantang”. Di berbagai tempat ditambah “kelapa 20 pikul”, atau “asam garam”, atau “kain  4 kayu” atau “emas setail”.

Bahkan terhadap penghinaan terhadap keluarga pembesar ataupun penistaan terhadap kesusilaan (seperti menuduh yang tidak pantas, menuduh pembesar pembohong, menuduh pembesar fitnah lebih besar yang dapat keguncangan negeri).

Sanksinya berupa “kerbo sekok, Beras 100 gantang”. Bahkan ditambah “kelapa 100 pikul”, atau “asam garam”, atau “kain  10  kayu” atau “emas 4 setail”. Sanksi ini dapat dipersamakan dengan kesalahan yang disebut “dago dagi (perbuatan yang melanggar kepentingan umum yang mengakibatkan kekacauan), “tikam bunuh” (membunuh dengan senjata tajam”, “upas racun” (membunuh dengan racun).

Sehingga “sumbang salah” terhadap pembesar negeri merupakan perbuatan yang berat di tengah masyarakat di Jambi.

Namun dengan kebesaran dari Gus Mus yang memberikan maaf kemudian memberikan keteladanan dari “kebesaran jiwa” seorang pembesar negeri.

Rasa terharu terhadap “guyonan” Gus Mus kepada Pandu “kamu merepotkan ibumu” kemudian membuat peristiwa ini memberikan pelajaran penting kepada kita semua. Gus Mus kemudian meletakkan maaf sebagai akhlak. Sebuah cerminan Islam yang bisa kita teladani.