16 Desember 2016

opini musri nauli : Polemik Undang-undang Payung




Dalam sebuah kesempatan pertemuan, para pihak bertahan tentang tafsir tentang sebuah produk hukum. Sektor pertambangan bertahan tentang pertambangan yang mengatur berkaitan dengan tambang. Sektor kehutanan bersikukuh sektor kehutanan. Sedangkan sektor perkebunan berpatokan tentang UU Perkebunan.


Sayapun harus berulangkali mendengarkan dan menyimak penjelasan masing-masing pihak. Namun ketika saya telaah lebih jauh, akhirnya saya menemukan pangkal persoalan. Ya. Persoalan sektoral kemudian mengabaikan makna hakekat dari peraturan perundang-undangan.

Untuk memahami persoalan diatas, maka sebelum kita melakukan analisis mendalam tentang peraturan yang berkaitan Sumber daya alam, maka setiap pemangku kepentingan mendasarkan kepada masing-masing undang-undang sektoral

Kehutanan berpihak kepada UU Kehutanan. Baik UU No. 41 tahun 1999 yang kemudian dipertegas didalam UU No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakaan Kehutanan.

Sedangkan Pertambangan berpihak kepada UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Minerba.

Atau Perkebunan yang mendasarkan kepada UU No. 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan yang mencabut UU No. 18 Tahun 2004.

Masih banyak UU sektoral yang mengatur tentang sumber daya alam seperti UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber daya air yang kemudian dibatalkan oleh MK dan kembali ke UU No. 11 Tahun 1974. Atau UU No. 27 tahun 2007 dengan perubahan UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil.

Masing-masing mengeluarkan asas “Lex specialis derogate lex generalis”. Sehingga masing-masing pihak kemudian mendasarkan, merekalah yang paling berwenang membicarakan sector masing-masing. Asas ini digunakan

Secara sekilas, asas yang digunakan tidak salah. Namun yang dilupakan masing-masing pihak adalah didalam praktek perundang-undangan di Indonesia dikenal juga UU Payung.

Dalam kajian teoritik, UU Payung (umbrella act, umbrella provision, raamwet, modewet) biasa juga disebut sebagai UU Pokok. UU ini diharapkan menjadi sandaran atau batu uji sehingga dapat memayungi UU yang berkaitan teknis daripada UU tersebut. Sehingga kemudian dikenal sebagai UU Payung.

Istilah UU payung menimbulkan perdebatan. Sebagian ahli menolak penerapan UU Payung. Argumentasinya adalah UU hanyalah mengikat peraturan yang berkaitan didalam UU itu sendiri. Sehingga tidak relevan menjadikan UU yang lain sebagai sandaran atau dasar hukum untuk UU berkaitan itu sendiri.

Selain itu juga, UU Payung dikenal didalam sistem hukum Negara Anglo saxon yang mendasarkan kepada Yurisprudensi. Asas ini kemudian tidak sesuai didalam sistem Eropa Kontinental.

Namun sebagian ahli menyetujui dengan argumentasi dengan adanya UU Payung maka dapat dibangun keserasian atau keselarasan berbagai peraturan perundang-undangan sehinggga peraturan tidak menjadi kacau, saling bertentangan antara satu UU dengan UU lain, jalan sendiri dan mengabaikan kepastian hukum kepada masyarakat.

Selain itu juga adanya UU payung memberikan arahan dan pedoman dari setiap persoalan satu issu hukum.

Dalam praktek perundang-undangan ataupun mekanisme putusan MK, Indonesia sudah menerapkan berbagai peraturan dengan menempatkan kata “Pokok” sebagai pedoman UU payung ataupun penegasan didalam pasal-pasal tertentu.

UU No. 5 Tahun 1960 dikenal sebagai UU Pokok yang berkaitan dengan agraria. Definisi “agraria” sudah jelas. Yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa.

Makna ini jelas sebagai terjemahan langsung dari pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Sehingga tidak salah kemudian Mahfud didalam disertasinya menyebutkan UU No. 5 Tahun 1960 sebagai karya terbaik Indonesia (master piece Indonesia). Selain UU No. 5 Tahun 1960, Mahfud juga menempatkan UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab UU Hukum Acara Pidana.

Menilik kalimat “berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa” kemudian menegaskan maka UU No. 5 Tahun 1960 yang menentukan status terhadap “agraria”. Dengan demikian, maka UU sektoral lainnya kemudian hanya berwenang untuk membicarakan tentang “komoditi” seperti sector pertambangan, perkebunan, air, kehutanan dan lainnya. UU sektoral sama sekali tidak dibenarkan membicarakan tentang tanah.

Lihatlah didalam uraian pasal-pasal tentang UU sektoral. Khan yang diatur tentang kayu (didalam UU Kehutanan) misalnya. Lihat didalam Pasal 50 ayat (3). Yang diatur Tentang dilarang “membuka hutan”, dilarang tentang “menebang kayu”, dilarang “membawa kayu”. Dengan demikian, maka UU Kehutanan tidak dibenarkan membicarakan tentang status tanah terhadap kepemilikan atau menentukan pencabutan status tanah milik atau kelompok masyarakat. Pasal 67 UU Kehutanan kemudian menetapkan prasyarat masyarakat hukum adat.  Bahkan didalam putusan MK sendiri telah menegaskan baik didalam Putusan MK No. 35 tahun 2013 maupun didalam putusan MK No. 45 Tahun 2013.

Begitu juga UU Minerba, UU Perkebunan, UU Sumber daya air, UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

UU No. 5 Tahun 1960 juga kemudian melahirkan UU No. 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak atas tanah dan bangunan.

Meninggalkan UU No. 5 Tahun 1960 “sering digunakan secara sesat” didalam menafsirkan UU No. 5 Tahun 1967 Tentang Pokok-pokok Kehutanan dan UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Pokok-pokok Pertambangan. Kedua UU ini merupakan paket Soeharto di awal rezim pemerintahan.

Selain itu juga UU No. 14 tahun 1969 adalah UU Pokok Tentang Tenaga Kerja yang kemudian dicabut dengan UU No. 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan. UU No. 25 Tahun 1997 kemudian melahirkan UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

UU Pokok Kekuasaan Kehakiman juga sebagai UU Pokok berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman. UU No. 14 Tahun 1970 kemudian melahirkan UU UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, UU No. 5 Tahun 1986 yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 51 tahun 2009 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, UU No. 8 Tahun 1989 yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Agama dan UU No. 31 Tahun 1997 Pengadilan Militer.

UU Kepegawaian No. 8 tahun 1974 yang kemudian diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999 menempatkan sebagai UU Pokok. UU ini kemudian diganti dengan UU No. 5 Tahun 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.

Begitu juga UU No. 5 Tahun 1974 yang kemudian dikenal sebagai UU Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini kemudian diubah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004. UU ini kemudian melahirkan UU No. 6 Tahun 2014.

Selain didalam UU ditegaskan sebagai UU Pokok, UU didalamnya juga bertindak sebagai UU Payung atau UU Pokok.  UU 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional kemudian melahirkan UU No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan. Didalam pasal 8 huruf 13 UU 20 Tahun 2003 kemudian memberikan amanat bentuk Badan Hukum Pendidikan dan melahirkan UU No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan.

Begitu juga didalam Makna pasal 44 dan penjelasan umum angka (5) UU No. 32 Tahun 2009. UU Lingkungan Hidup kemudian mengamanatkan sebagai UU Payung didalam perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup. Sehingga seluruh UU yang berkaitan dengan sumber daya alam kemudian harus memperhatikan ketentuan didalam UU No. 32 Tahun 2009. Makna ini kemudian dipertegas dengan menggunakan istilah “Ketentuan Lingkungan Hidup strategis” didalam UU No. 32 Tahun 2009.

Disisi lain, Mahkamah Konstitusi juga menjadikan berbagai UU Pokok didalam mempertimbangkan permohonan terhadap UU. Didalam memeriksa perkara No. 11 Tahun 2008 berkaitan dengan UU No. 29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, UU No. 32 Tahun 2004 menjadikan batu uji untuk memutuskan perkaranya. Sehingga UU No. 29 Tahun 2009 tetap mendasarkan kepada UU No. 32 Tahun 2004.

Dengan melihat berbagai kenyataan baik didalam peraturan perundang-undangan maupun didalam putusan MK, maka UU Payung atau UU Pokok telah mendapatkan tempat. Sehingga menjadi tidak relevan lagi mempersoalkan UU Payung atau UU Payung dalam sistem hukum perundang-undangan.

UU Payung atau UU Pokok tidak tepat disandingkan dengan asas “lex specialis derogate lex generalis”. UU Payung merupakan UU yang mengatur dengan issu hukum tertentu. Sehingga penerapan asas ini menjadi tidak relevan.

Selain itu juga dengan mendasarkan kepada UU Payung atau UU Pokok, maka sinkronisasi maupun keselarasan antara satu UU dengan UU lain menjadi baik. Sehingga dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat di Indonesia.


Dimuat di Harian Jambi Independent, 20 Desember 2016

http://jambiindependent.com/read/2016/12/20/11955/polemik-undangundang-payung/