Dalam sebuah kesempatan
pertemuan, para pihak bertahan tentang tafsir tentang sebuah produk hukum. Sektor
pertambangan bertahan tentang pertambangan yang mengatur berkaitan dengan
tambang. Sektor kehutanan bersikukuh sektor kehutanan. Sedangkan sektor
perkebunan berpatokan tentang UU Perkebunan.
Sayapun harus berulangkali
mendengarkan dan menyimak penjelasan masing-masing pihak. Namun ketika saya
telaah lebih jauh, akhirnya saya menemukan pangkal persoalan. Ya. Persoalan sektoral
kemudian mengabaikan makna hakekat dari peraturan perundang-undangan.
Untuk memahami persoalan
diatas, maka sebelum kita melakukan analisis mendalam tentang peraturan yang
berkaitan Sumber daya alam, maka setiap pemangku kepentingan mendasarkan kepada
masing-masing undang-undang sektoral
Kehutanan berpihak kepada UU
Kehutanan. Baik UU No. 41 tahun 1999 yang kemudian dipertegas didalam UU
No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakaan Kehutanan.
Sedangkan
Pertambangan berpihak kepada UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Minerba.
Atau
Perkebunan yang mendasarkan kepada UU No. 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan yang
mencabut UU No. 18 Tahun 2004.
Masih
banyak UU sektoral yang mengatur tentang sumber daya alam seperti UU No. 7
Tahun 2004 Tentang Sumber daya air yang kemudian dibatalkan oleh MK dan kembali
ke UU No. 11 Tahun 1974. Atau UU No. 27 tahun 2007 dengan perubahan UU No. 1
Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil.
Masing-masing
mengeluarkan asas “Lex specialis derogate
lex generalis”. Sehingga masing-masing pihak kemudian mendasarkan,
merekalah yang paling berwenang membicarakan sector masing-masing. Asas ini
digunakan
Secara
sekilas, asas yang digunakan tidak salah. Namun yang dilupakan masing-masing
pihak adalah didalam praktek perundang-undangan di Indonesia dikenal juga UU
Payung.
Dalam
kajian teoritik, UU Payung (umbrella act,
umbrella provision, raamwet, modewet) biasa juga disebut sebagai UU Pokok.
UU ini diharapkan menjadi sandaran atau batu uji sehingga dapat memayungi UU
yang berkaitan teknis daripada UU tersebut. Sehingga kemudian dikenal sebagai
UU Payung.
Istilah
UU payung menimbulkan perdebatan. Sebagian ahli menolak penerapan UU Payung. Argumentasinya
adalah UU hanyalah mengikat peraturan yang berkaitan didalam UU itu sendiri.
Sehingga tidak relevan menjadikan UU yang lain sebagai sandaran atau dasar
hukum untuk UU berkaitan itu sendiri.
Selain
itu juga, UU Payung dikenal didalam sistem hukum Negara Anglo saxon yang
mendasarkan kepada Yurisprudensi. Asas ini kemudian tidak sesuai didalam sistem
Eropa Kontinental.
Namun
sebagian ahli menyetujui dengan argumentasi dengan adanya UU Payung maka dapat
dibangun keserasian atau keselarasan berbagai peraturan perundang-undangan
sehinggga peraturan tidak menjadi kacau, saling bertentangan antara satu UU
dengan UU lain, jalan sendiri dan mengabaikan kepastian hukum kepada
masyarakat.
Selain
itu juga adanya UU payung memberikan arahan dan pedoman dari setiap persoalan
satu issu hukum.
Dalam
praktek perundang-undangan ataupun mekanisme putusan MK, Indonesia sudah
menerapkan berbagai peraturan dengan menempatkan kata “Pokok” sebagai pedoman
UU payung ataupun penegasan didalam pasal-pasal tertentu.
UU
No. 5 Tahun 1960 dikenal sebagai UU Pokok yang berkaitan dengan agraria.
Definisi “agraria” sudah jelas. Yang
berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa.
Makna
ini jelas sebagai terjemahan langsung dari pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Sehingga
tidak salah kemudian Mahfud didalam disertasinya menyebutkan UU No. 5 Tahun
1960 sebagai karya terbaik Indonesia (master piece Indonesia). Selain UU No. 5
Tahun 1960, Mahfud juga menempatkan UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab UU Hukum
Acara Pidana.
Menilik
kalimat “berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa” kemudian menegaskan maka UU No. 5 Tahun 1960 yang menentukan
status terhadap “agraria”. Dengan
demikian, maka UU sektoral lainnya kemudian hanya berwenang untuk membicarakan
tentang “komoditi” seperti sector
pertambangan, perkebunan, air, kehutanan dan lainnya. UU sektoral sama sekali
tidak dibenarkan membicarakan tentang tanah.
Lihatlah
didalam uraian pasal-pasal tentang UU sektoral. Khan yang diatur tentang kayu
(didalam UU Kehutanan) misalnya. Lihat didalam Pasal 50 ayat (3). Yang diatur Tentang
dilarang “membuka hutan”, dilarang
tentang “menebang kayu”, dilarang “membawa kayu”. Dengan demikian, maka UU
Kehutanan tidak dibenarkan membicarakan tentang status tanah terhadap
kepemilikan atau menentukan pencabutan status tanah milik atau kelompok
masyarakat. Pasal 67 UU Kehutanan kemudian menetapkan prasyarat masyarakat
hukum adat. Bahkan didalam putusan MK
sendiri telah menegaskan baik didalam Putusan MK No. 35 tahun 2013 maupun
didalam putusan MK No. 45 Tahun 2013.
Begitu
juga UU Minerba, UU Perkebunan, UU Sumber daya air, UU Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil.
UU
No. 5 Tahun 1960 juga kemudian melahirkan UU No. 20 Tahun 2000 Tentang Bea
Perolehan Hak atas tanah dan bangunan.
Meninggalkan UU No. 5
Tahun 1960 “sering digunakan secara sesat”
didalam menafsirkan UU No. 5 Tahun 1967 Tentang Pokok-pokok Kehutanan dan UU
No. 11 Tahun 1967 Tentang Pokok-pokok Pertambangan. Kedua UU ini merupakan
paket Soeharto di awal rezim pemerintahan.
Selain itu juga UU No.
14 tahun 1969 adalah UU Pokok Tentang Tenaga Kerja yang kemudian dicabut dengan
UU No. 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan. UU No. 25 Tahun 1997 kemudian
melahirkan UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
UU Pokok Kekuasaan Kehakiman juga sebagai UU Pokok berkaitan dengan
Kekuasaan Kehakiman. UU No. 14 Tahun 1970 kemudian melahirkan UU UU No. 14
Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, UU No. 5 Tahun 1986 yang kemudian
diperbaharui dengan UU No. 51 tahun 2009 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, UU
No. 8 Tahun 1989 yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 50 Tahun 2009 Tentang
Pengadilan Agama dan UU No. 31 Tahun 1997 Pengadilan Militer.
UU Kepegawaian No. 8 tahun 1974 yang kemudian diubah dengan UU No. 43 Tahun
1999 menempatkan sebagai UU Pokok. UU ini kemudian diganti dengan UU No. 5
Tahun 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.
Begitu juga UU No. 5 Tahun 1974 yang kemudian dikenal sebagai UU Pokok
Pemerintahan Daerah. UU ini kemudian diubah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999
dan UU No. 32 Tahun 2004. UU ini kemudian melahirkan UU No. 6 Tahun 2014.
Selain didalam UU ditegaskan sebagai UU Pokok, UU didalamnya juga bertindak
sebagai UU Payung atau UU Pokok. UU 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional kemudian melahirkan UU No. 9
Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan. Didalam pasal 8 huruf 13 UU 20 Tahun 2003 kemudian memberikan
amanat bentuk Badan Hukum Pendidikan dan melahirkan UU No. 9 Tahun 2009 Tentang
Badan Hukum Pendidikan.
Begitu juga didalam Makna pasal 44
dan penjelasan umum angka (5) UU No. 32 Tahun 2009. UU Lingkungan Hidup
kemudian mengamanatkan sebagai UU Payung didalam perlindungan dan pengelolaan
Lingkungan Hidup. Sehingga seluruh UU yang berkaitan dengan sumber daya alam
kemudian harus memperhatikan ketentuan didalam UU No. 32 Tahun 2009. Makna ini
kemudian dipertegas dengan menggunakan istilah “Ketentuan Lingkungan Hidup strategis” didalam UU No. 32 Tahun 2009.
Disisi
lain, Mahkamah Konstitusi juga menjadikan berbagai UU Pokok didalam
mempertimbangkan permohonan terhadap UU. Didalam memeriksa perkara No. 11 Tahun
2008 berkaitan dengan UU No. 29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Propinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, UU No. 32 Tahun 2004 menjadikan batu uji untuk
memutuskan perkaranya. Sehingga UU No. 29 Tahun 2009 tetap mendasarkan kepada
UU No. 32 Tahun 2004.
Dengan
melihat berbagai kenyataan baik didalam peraturan perundang-undangan maupun
didalam putusan MK, maka UU Payung atau UU Pokok telah mendapatkan tempat.
Sehingga menjadi tidak relevan lagi mempersoalkan UU Payung atau UU Payung
dalam sistem hukum perundang-undangan.
UU
Payung atau UU Pokok tidak tepat disandingkan dengan asas “lex specialis derogate lex generalis”. UU
Payung merupakan UU yang mengatur dengan issu hukum tertentu. Sehingga
penerapan asas ini menjadi tidak relevan.
Selain
itu juga dengan mendasarkan kepada UU Payung atau UU Pokok, maka sinkronisasi
maupun keselarasan antara satu UU dengan UU lain menjadi baik. Sehingga dapat
memberikan kepastian hukum kepada masyarakat di Indonesia.
Dimuat di Harian Jambi Independent, 20 Desember 2016
http://jambiindependent.com/read/2016/12/20/11955/polemik-undangundang-payung/