Akhir-akhir
ini NU sebagai organisasi Islam di Indonesia mengalami “hujatan” dan
“pembunuhan karakter”. Persoalan “wiridan, maulidan ataupun tradisi panjang di
kalangan NU dipersoalkan.
Masih
ingat 5 tahun terakhir, persoalan “wiridan” atau menghormati almarhum yang
dilaksanakan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari dan 1000 hari dianggap “bid’ah”.
Sebuah ujaran menyakitkan di tengah tradisi yang sudah berlangsung lama di
berbagai tempat. Dan tidak tanggung-tanggung seruan ini baik dilakukan oleh
kelompok-kelompok tertentu maupun seorang artis yang baru “melek” belajar
agama.
Sebagai
tradisi yang baik, menghormati 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari maupun 1000
hari sudah menjadi tradisi yang berakar lama di Jambi. (Di tempat lain saya
juga menemukan tradisi ini. Sehingga tradisi ini sudah berakar lama di
Indonesia).
Saya
walaupun bukan berasal dari Nahdiyin, tapi di lingkungan sekitarnya baik di
sekitar rumah orang tua, di rumah kontrakan, di rumah sekarang di kantor bahkan
di berbagai tempat, sudah menjadi tradisi melaksanakannya. Termasuk menghadiri
berbagai tempat di rumah keluarga yang melaksanakannya maupun di rumah-rumah
teman.
Sebagai
sebuah tradisi, maka tidak ada satupun yang mempersoalkan. Apakah yang
melaksanakan merupakan keluarga nahdiyin ataupun bukan. Baik yang datang maupun
yang melaksanakan, sama sekali tidak mempersoalkan. Sehingga tradisi ini sudah
menjadi bagian dari tradisi kemasyarakatan. Bukan menjadi milik bagian dari
tradisi nahdiyin saja.
Namun
tradisi ini kemudian mulai dipersoalkan. Saya tidak berpretensi untuk menilai
dari pendekatan agama. Namun mempersoalkan tradisi yang baik merupakan
kesempatan bagi saya untuk melihat bagaimana relevansi dengan hubungan social
di tengah masyarakat.
Dalam
perkembangannya, NU sebagai organisasi yang cukup tua dan mewarisi tradisi
nahdiyin sudah berlangsung 3 generasi mengalami “gempuran”. Tidak cukup
mempersoalkan tradisi saja. Tapi secara organisasi NU kemudian mengalami
“gempuran”.
Masih
ingat ketika Ketua Umum PBNU (Rois Am), Said Aqil Siroj (SAS) kemudian “dituduh
Syiah”. Sebuah “pelabelan” yang cukup menghentak terhadap serangan NU.
Belum usai serangan terhadap SAS, PBNU yang
mengeluarkan seruan agar Nadhiyin tidak mengikuti aksi superdamai 2 Desember
dengan membawa bendera NU.
Serangan
kepada tokoh-tokoh NU pun bergema. Masih ingat dengan “bully” seorang pekerja
perusahaan BUMN terhadap Gus Mus (KH. Mustofa Bisri, Rois Syuriah NU), seorang
“nahdiyin yang dihormat di kalangan Nahdiyin ataupun “ketelodoran” seorang
tokoh nasional kepada KH Makruh Amin atau seorang Ibu yang “menghina” KH Maimoen
Zoebair. Padahal ketiga-tiganya dikenal sebagai sebagai Kiyai yang dihormati di
kalangan Nahdiyin.
Bahkan
KH Maimoen Zoebair dikenal sebagai “kitab kuning berjalan’. Kitab kuning adalah
kitab tradisional tentang pelajaran agama Islam di pondok pesantren mulai dari
Fiqh, aqidah, akhlak tasawuf dan tata bahasa arab (nawu, ilmu sharf) maupun
hadist, tafsir hingga ulumul Qur’an.
Banser
NU kemudian melakukan “tabayyun” kepada sang penghina dan meminta kesediaan
untuk meminta maaf kepada orang-orang yang dihormati di kalangan NU.
Kebesaran
jiwa dan kelapangan hati dari yang dihina kemudian memaafkan. Bahkan Gus Mus
meminta manajemen perusahaan agar tidak memberhentikan sang penghinanya.
Di
tengah berbagai lintasan informasi yang cepat, kegamangan melihat islam menjadi
persoalan. Di tengah hidup plural dan keberagaman, Islam kemudian “dikesankan”
sebagai kelompok yang mempersoalkan segala
sesuatu dengna rumit. Yasinan, tahlilan, wiridan, maulidan dianggap
sebagai bid’ah. Dalam kegamangan itulah, kemudian NU menghadirkan wajah Islam
yang “rahmatan lil alamin”.
Didalam kitabnya, KH. Hasyim
Asy’ari dalam kitab Qanun Asasi li
Jami’ati Nahdlatul Ulama’, memprihatinkan adanya gerakan keagamaan
baru yang menyerukan pemberantasan bid’ah
(heterodoksi) dengan kedok kembali
kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Padahal, gerakan baru inilah yang sebenarnya
memproduksi bid’ad.
Pernyataan KH Hasyim tersebut, bisa dianggap 1) merespon situasi internasional
tentang maraknya gerakan Wahabisme di Timur tengah dan, 2) terhadap situasi
nasional tentang maraknya gerakan “pembaharuan” Islam (puritanisme).
NU
kemudian memilih “al-Islam Shalih li Kulli Zamān wa Makān (Islam untuk semua manusia).
Dalam muktamar ke-33, NU kemudian “menegaskan Islam Nusantara “Meneguhkan Islam Nusantara Untuk Peradaban
Indonesia dan Dunia”. Sebuah tema di tengah kegamangan
melihat Islam dan Keindonesiaan.
Dengan rumusan itulah kemudian NU
merespon dengan
prinsip dasar; tawasuth
(moderat), Tasamuh
(toleransi), tawazun
(keseimbangan), dan i’tidal
(keadilan). Publik kemudian mengenal sebagai identitas NU hadir di persoalan
umat dan kebangsaan.
Dari standing inilah kemudian
NU dijadikan “sasaran tembak” dari berbagai kelompok untuk menghancurkan
identitas NU sebagai “pagar” Kebangsaan.
Tujuannya adalah agar NU
menjadi lembaga yang tidak krebil sehingga agenda-agenda menghancurkan Islam,
kebangsaan dan Kemanusiaan dapat dilaksanakan di Indonesia.
Berpijak dari sinilah, maka
dari ulama-ulama yang kemudian melahirkan NU dan ormas keagamaan lainnya yang merupakan
“warisan” menjaga “Islam, Kebangsaan dan kemanusiaan” untuk rakyat Indonesia.
Menjadi tugas kita menjaga NU
sebagai warisan yang dapat kita teruskan kepada generasi selanjutnya.
Baca : ISLAM NUSANTARA
Note
Data
dari berbagai sumber.