Ada
slogan yang sering kita temukan di spanduk-spanduk pinggir jalan. Lalulintas
adalah cerminan wajah kota. Kata-kata ini keren sekaligus “menyentak” peristiwa
yang heboh di viral dunia maya.
Seorang
Ibu terpandang, bekerja di insituti terhormat mengamuk di jalan raya di tengah
kemacetan. Turun dari mobil, mengejar petugas polisi lalu lintas di perempatan
pintu busway. Lengkap dengan adegan tarik-tarik kunci mobil, tarik baju hingga
banting HP.
Secara
sekilas, apabila peristiwa itu tidak disertai dengan pemberitaan yang baik
dapat ditangkap “terkesan” seorang ibu mengamuk kepada seorang petugas resmi
maka persepsi bisa macam-macam. Ada apa seorang ibu yang mengamuk kepada
petugas resmi.
Namun
viral yang kemudian disertai informasi yang lengkap kemudian menjawab. Seorang
ibu kesal dengan petugas yang tidak mau mengurai kemacetan. Walaupun menurut
petugas berita yang benar, ketika sang Ibu hendak memasuki jalur busway dan
menilangnya.
Peristiwa
ini kemudian menjawab slogan diatas. Apakah begitu wajah ibukota Jakarta yang
sumpek dengan kemacetan. Atau begitukah wajah petugas yang tetap sabar meladeni
pengemudi yang “ngeyel” melanggar aturan.
Dengan
tumbuhnya industry mobil dan semakin “murahnya” harga mobil, kemacetan di
Jakarta tidak dapat dihindarkan. Di tengah teriknya matahari, sumpek lalu
lintas, maka emosi pengemudi sering tertumpah tanpa disadari.
Menyusuri
jalan-jalan Jakarta tanpa diimbangi emosi yang stabil, sumbu pendek, tidak
sabaran membuat lalu lintas semakin parah. Namun disisi lain, angkutan umum
yang disediakan belum mampu menjawab kebutuhan terutama dengan berjubelnya
penumpang dan sering kehilangan barang didalam angkutan umum.
Wajah
sang Ibu adalah tipikal wajah orang Jakarta yang menjadi “mesin” dan berputar
sesuai arah jam. Kemacetan harus dilalui pada jam-jam tertentu seperti pagi
hari, sore hari, jam istirahat, jumat sore ataupun senin pagi. Setiap waktu jam
macet membuat rutinitas menjemukan dan bikin emosi mudah terpancing.
Wajah
sang Ibu adalah masyarakat urban yang hendak mengadu nasib di kerasnya Jakarta.
Masyarakat urban yang mulai memahami pola perputaran masyarakat industry.
Sebuah lompatan peradaban dari masyarakat agraris yang semula tinggal di
daerah.
Pola
ini kemudian membentuk karakter diri sang Ibu yang menganggap petugas tidak
becus sehingga sudah pantas dimarahi dan melakukan “kekerasan” verbal dan fisik
kepada petugas.
Didalam
diri sang Ibu kemudian sudah menganggap petugas yang digaji oleh Negara sudah
harus dimarahi ketika lalu lintas macet dan di saat petugas tidak mau mengurai
kemacetan.
Namun
disatu disisi, petugas yang dimaki, dipukul dan ditarik oleh sang Ibu berada
didalam kebimbangan. Hendak tegas menegakkan hukum namun berhadapan dengan sang
ibu yang sudah tidak terkendali emosinya.
Disisi
lain mengalah kepada kepentingan sang Ibu akan membuat lalu lintas menjadi
semrawut.
Berkaca
dari peristiwa maka dipastikan, sang Ibu belum mampu mengikuti wajah lalu
lintas perkotaan yang berangkat dari kedisplinan berlalu lintas. Sang Ibu masih
terjebak bergaya masyarakat agraris yang sudah tidak tepat diterapkan di
Jakarta.
Sedangkan
sang petugas yang sudah mampu menahan emosi dan menyerahkan kepada proses hukum
haruslah diberi apresiasi. Sang petugas sudah meninggalkan paradigma lama
sebagai “pangreh” dan bertindak sebagai “pamong praja”. Di tangan petugas,
sikap keteladanan memberikan cerminan dan ketenangan kepada masyarakat pengguna
jalan.
Namun
yang pasti, wajah sang Ibu adalah wajah lalulintas di Jakarta yang belum siap
memasuki masyarakat modern berlalu lintas. Tidak mengimbangi “kesabaran”
petugas yang berada di pinggir jalan memastikan lalu lintas tetap berjalan
normal.
Selamat
datang di Jakarta. Kota yang sering disenandungkan oleh Koes Plus. Yang menyeramkan
seperti dalam istilah. “Kejamnya ibu tiri
tidak sekejam ibukota Jakarta.