15 Desember 2016

opini musri nauli : SIAPAKAH WAJAH LALULINTAS ?


Ada slogan yang sering kita temukan di spanduk-spanduk pinggir jalan. Lalulintas adalah cerminan wajah kota. Kata-kata ini keren sekaligus “menyentak” peristiwa yang heboh di viral dunia maya.

Seorang Ibu terpandang, bekerja di insituti terhormat mengamuk di jalan raya di tengah kemacetan. Turun dari mobil, mengejar petugas polisi lalu lintas di perempatan pintu busway. Lengkap dengan adegan tarik-tarik kunci mobil, tarik baju hingga banting HP.

Sang Petugas tidak mau melakukan perlawanan namun lari menjauh dari tempat perselisahan.

Secara sekilas, apabila peristiwa itu tidak disertai dengan pemberitaan yang baik dapat ditangkap “terkesan” seorang ibu mengamuk kepada seorang petugas resmi maka persepsi bisa macam-macam. Ada apa seorang ibu yang mengamuk kepada petugas resmi.

Namun viral yang kemudian disertai informasi yang lengkap kemudian menjawab. Seorang ibu kesal dengan petugas yang tidak mau mengurai kemacetan. Walaupun menurut petugas berita yang benar, ketika sang Ibu hendak memasuki jalur busway dan menilangnya.

Peristiwa ini kemudian menjawab slogan diatas. Apakah begitu wajah ibukota Jakarta yang sumpek dengan kemacetan. Atau begitukah wajah petugas yang tetap sabar meladeni pengemudi yang “ngeyel” melanggar aturan.

Dengan tumbuhnya industry mobil dan semakin “murahnya” harga mobil, kemacetan di Jakarta tidak dapat dihindarkan. Di tengah teriknya matahari, sumpek lalu lintas, maka emosi pengemudi sering tertumpah tanpa disadari.

Menyusuri jalan-jalan Jakarta tanpa diimbangi emosi yang stabil, sumbu pendek, tidak sabaran membuat lalu lintas semakin parah. Namun disisi lain, angkutan umum yang disediakan belum mampu menjawab kebutuhan terutama dengan berjubelnya penumpang dan sering kehilangan barang didalam angkutan umum.

Wajah sang Ibu adalah tipikal wajah orang Jakarta yang menjadi “mesin” dan berputar sesuai arah jam. Kemacetan harus dilalui pada jam-jam tertentu seperti pagi hari, sore hari, jam istirahat, jumat sore ataupun senin pagi. Setiap waktu jam macet membuat rutinitas menjemukan dan bikin emosi mudah terpancing.

Wajah sang Ibu adalah masyarakat urban yang hendak mengadu nasib di kerasnya Jakarta. Masyarakat urban yang mulai memahami pola perputaran masyarakat industry. Sebuah lompatan peradaban dari masyarakat agraris yang semula tinggal di daerah.

Pola ini kemudian membentuk karakter diri sang Ibu yang menganggap petugas tidak becus sehingga sudah pantas dimarahi dan melakukan “kekerasan” verbal dan fisik kepada petugas.

Didalam diri sang Ibu kemudian sudah menganggap petugas yang digaji oleh Negara sudah harus dimarahi ketika lalu lintas macet dan di saat petugas tidak mau mengurai kemacetan.

Namun disatu disisi, petugas yang dimaki, dipukul dan ditarik oleh sang Ibu berada didalam kebimbangan. Hendak tegas menegakkan hukum namun berhadapan dengan sang ibu yang sudah tidak terkendali emosinya.

Disisi lain mengalah kepada kepentingan sang Ibu akan membuat lalu lintas menjadi semrawut.

Berkaca dari peristiwa maka dipastikan, sang Ibu belum mampu mengikuti wajah lalu lintas perkotaan yang berangkat dari kedisplinan berlalu lintas. Sang Ibu masih terjebak bergaya masyarakat agraris yang sudah tidak tepat diterapkan di Jakarta.

Sedangkan sang petugas yang sudah mampu menahan emosi dan menyerahkan kepada proses hukum haruslah diberi apresiasi. Sang petugas sudah meninggalkan paradigma lama sebagai “pangreh” dan bertindak sebagai “pamong praja”. Di tangan petugas, sikap keteladanan memberikan cerminan dan ketenangan kepada masyarakat pengguna jalan.

Namun yang pasti, wajah sang Ibu adalah wajah lalulintas di Jakarta yang belum siap memasuki masyarakat modern berlalu lintas. Tidak mengimbangi “kesabaran” petugas yang berada di pinggir jalan memastikan lalu lintas tetap berjalan normal.

Selamat datang di Jakarta. Kota yang sering disenandungkan oleh Koes Plus. Yang menyeramkan seperti dalam istilah. “Kejamnya ibu tiri tidak sekejam ibukota Jakarta.