Ketika
issu Kendeng menggelinding bak bola salju, tuduhan terhadap perlawanan 9
Perempuan juga menggelinding mengikuti bola salju. Berbarengan, saling
menelikung, menyikut bahkan menafikan perlawanan 9 perempuan Kendeng.
Entah
melalui kampus terkenal yang “mengesahkan” AMDAL, jawaban dari Gubernur yang
“ngeyel’ tidak tunduk kepada putusan Pengadilan ataupun “jawaban” ngeles Pakde
Jokowi.
Belum
lagi terkait dengan pemain teater, iklan, massa bayaran ataupun kelompok yang
mematikan perlawanan 9 perempuan Kendeng. Kesemuanya bertindak “mewakili” kelas
menengah yang kemudian menasbihkan diri menjadi “paling benar”, “paling layak”,
“paling suci”, “paling baik”. Dilengkapi dengan jabatan, titel ataupun lembaga
yang kredibel.
Mereka
membaca dari literature yang rumit, kajian yang dalam dan tentu saja berangkat
dari bacaan terbitan universitas bergengsi, ahli yang berkompeten dan tentu
saja dilengkapi berbaris titel akademik. Sehingga analisis, kajian harus
dianggap bermutu dan kredibel membicarakan Kendeng.
Membaca
9 Perempuan Kendeng dari ruangan berpendingin sembari memakan “fast food”
justru “menjauhkan” diri dari problema dan akar persoalan Kendeng itu sendiri.
Mereka enggan duduk, mendengarkan, merasakan bahkan membayangkan “rusaknya”
tambang dan “menghilangkan” 200 mata air dan menghasilkan 1000 liter/detik.
Cara
pandang kelas Menengah Indonesia sudah saya rasakan ketika “rakyat” menemukan
momentum untuk bertindak dan menyelamatkan dirinya. Baik dari lingkup politik,
ekonomi, budaya bahkan terhadap alam sendiri.
Ketika
mahasiswa kemudian turun ke jalan “memprotes” pencalonan Soeharto untuk ke
tujuh kalinya, kelas menengah kemudian “mencibir”. Bahkan ketika dimulai Pemilu
1997, kelas menengah justru “asyik” melihat mahasiswa dipukul, tawuran, dikejar
tentara sambil makan “sandwich” dari televisi sambil tertawa. Persis melihat
ketoprak humor. Namun sejarah kemudian berbicara. Jatuhnya Soeharto Mei 1998,
malah yang tertawa menonton aksi-aksi mahasiswa “berebut’ panggung naik mimbar
dan kemudian teriak “paling reformasi’. Suasana ini masih dirasakan ketika
bertemu dengan “orang-orang birokrat” ataupun anggota parlemen.
Ketika
kebakaran, kelas menengah, entah melalui pejabat ataupun kalangan kampus
kemudian dengan enteng “menuduh’ kebakaran disebabkan karena petani yang
membuka lahan dengna cara membakar. Lalu ketika angka-angka dan titik api
ditunjukkan di areal konsensi perusahaan, eh, kemudian mereka dengan enteng
kemudian berbaris membuat program
“restorasi gambut” sembari mengajak satu atau dua orang dari kampong untuk
mengikuti kegiatan. Dan dengan gamblang kemudian melupakan “penyebab” kebakaran
di areal konsesi. Mereka kemudian “tertimbun” mengejar target proyek tanpa
menyentuh esensi persoalan kebakaran.
Disisi
lain, ketika “diingatkan” tipologi gambut yang tidak bisa dikonversi untuk
sawit dan HTI, pejabat pemerintah dan didukung kalangan kampus, dengan enteng
menyiapkan konsep pengelolaan “gambut berkelanjutan”. Lengkap dengan analisis
yang rumit, scientific dan ilmiah. Namun ketika sawit dan HTI yang tidak cocok
dengan gambut dan penyumbang kebakaran, eh, dengan enteng kemudian membuat
konsep “membuka lahan tanpa membakar’. Lagi-lagi kelas menengah tidak mau
mengakui model pengelolaan yang sudah dilakukan rakyat ratusan yang lalu.
Di
sector hutan, pemangku kepentingan sering “teriak” melindungi kawasan hutan
dengan menawarkan konsep seperti Hutan Produksi, hutan konservasi, hutan
lindung, hutan alam. Namun ketika masyarakat mengenal kawasan lindung yang
ditandai dengan symbol-simbol tertentu, dengan enteng kemudian menuduh
masyarakat sebagai penyebab dan biang kerusakan hutan.
Berbagai
peristiwa yang kemudian terbukti menempatkan masyarakat yang “paling tahu”,
paling merasakan”, paling mengerti” bahkan paling menderita akibat kerusakan
alam. Tidak salah kemudian ketika ungkapan “Guru kampus belajar dari guru
kampung’.
Namun
apabila tidak juga membuka mata dan pikiran kelas menengah di Indonesia. Pilihan
masyarakat untuk “melawan” terhadap ancaman kerusakan maka yang paling
dirasakan oleh masyarakat itulah yang menjadi “basis” argumentasi sebagai “counter”
terhadap tawaran, model yang disodorkan kampus.
Maka
jangan bermimpi kelas menengah di Indonesia menjadi motor penggerak terhadap perubahan. Perubahan akan terus
menggelinding dan berbarengan dengan kerusakan sumber daya alam itu sendiri.
Dan kelas menengah menjadi “bagian” dari rezim yang melanggengkan kerusakan
sumber daya alam itu sendiri.
Baca juga : Sesat Pikir Kelas menengah