Asalamualaikum,
Uda. Apa kabar. Maaf. Saya harus menggunakan kata uda. Sebagai bentuk
penghormatan dari garis Marga.
Sengaja
saya panggil uda, agar hubungan kekerabatan tetap dijaga. Lha kalo panggil
“opung” nanti “ketuaan’. Kalo dipanggil “abang” atau “lae” akunya yang kurang
nyaman.
Waduh.
Kok kita ngomong urusan keluarga, ya. Tarombo.
Uda
Denny. Kemarin aku menyimak perbincangan heboh dan keberatan dengan paparan yang
uda telah sampaikan. Aku sengaja menyimak bait-bait dari “Mencari Makan atas
nama Rakyat”. Setiap bait-bait kuyakini apakah Uda Denny yang buat atau cuma
sekedar informasi yang didapatkan Uda cuma sepenggal-sepenggal.
Mungkin
Uda sudah baca tentang berbagai tulisan yang memaparkan persoalan Kendeng dari
berbagai sumber. Atau Uda sudah menerima berbagai informasi untuk melengkapi
puzzle yang kurang lengkap ditulisan uda. Saya yakin, uda diberi “pikiran
jernih” dan memahami persoalan dari berbagai sudut. Kalo yang seperti ini,
biarlah uda Denny bisa menjawabnya.
Namun
menyimak dari paparan yang telah Uda Denny sampaikan, maka Uda Denny justru
kurang melakukan pekerjaan yang menjadi “andalan” tulisan Uda. “Tabayyun”.
Dalam
berbagai posting mengcounter suara yang menanggapi tulisan Uda Denny, uda Denny
malah mengutip berbagai sumber yang justru mendukung pembangunan semen (pro
semen).
Uda
Denny.
Merendahkan
perlawanan masyarakat berarti juga merendahkan alam pikiran rakyat. Cara ini
sudah harus dihentikan, Uda Denny. Ini bukan sekedar “melukai” hati rakyat. Tapi
justru “merendahkan” pikiran kita sendiri.
Tidak
pantas dan bukan cara uda Berfikir yang “meremehkan” perlawanan rakyat.
Mengapa
Uda Denny justru tidak “tabayyun” kepada perlawanan dari rakyat. Mendengarkan
“suara hati” mereka. Mendengarkan sudut hati mereka. Bahkan memahami alam
pikiran mereka.
Kalo
uda Denny pulang ke Medan, Uda Denny pasti mendengar bagaimana “ibu-ibu” di
pasar melawan dengan membuka baju. Apakah uda Denny berani mengatakan
“perbuatan yang dilakukan” bertentangan dengan agama.
Tidak.
Uda Denny. Upaya yang dilakukan masyarakat Kendeng tidak mungkin kita pahami
dari dunia maya. Perlawanan mereka nyata. Perlawanan mereka tidak cuma sekedar
“menyemen kaki”, jalan ratusan kilometer atau nembang didepan istana. Tidak
cuma itu, Uda.
Mereka
sudah melawan melalui setiap pintu yang disediakan Negara. Entah dari kampong,
Kabupaten, Propinsi dan Ibukota Negara. Lihatlah bagaimana infografis yang
bertebaran didunia maya. jadi ini bukan sekedar “menyemen” kaki.
Mereka
sudah menang di Pengadilan. Mereka sudah ketemu Jokowi yang memerintahkan agar
Pemda harus tunduk kepada KLHS. Tapi semunya “ngeyel”, uda Denny. Mereka sudah
tuli.
Semoga
Uda Denny mendapatkan ‘asupan” informasi yang cukup terhadap kabar dari saya.
Uda
Denny. “meletakkan masyarakat” sebagai obyek perlawanan itu adalah paradigma
penguasa. Negara bukan memahami persoalan rakyat. Tapi sibuk membangun
kalkulasi “siapa penggerak”, “siapa yang membayar”, “tidak mungkin rakyat yang
bergerak”. Cara ini sudah kuno dan tidak tepat menggambarkan persoalan yang
sebenarnya.
Apabila
Uda Denny bertemu dengan Tokoh Marhaenis, Mas Ganjar, coba luangkan waktu
mendengarkan suara dari masyarakat Kendeng. Uda Denny juga harus “tabayyun’.
Bukankah uda Denny sering “mengingatkan” agar perbanyak “tabayyun” sebelum
memahami persoalan.
Mengapa
Uda Denny kemudian “abai” dengan ingatkan diri sendiri.
Oya,
Uda Denny. Kalo uda Denny ketemu dengna pendamping, silahkan Tanya. Sebarkan
angket. Apakah pendamping “yang mengorbankan” masyarakat ?
Sekedar
informasi, Uda. Kendeng adalah inspirasi dalam beradvokasi. Di tangan
Kendenglah, para pendamping kemudian menjadi barisan untuk mendukung Kendeng. 9
Perempuan Kendeng yang menggerakkan pendamping. Mereka yang menjadi penentu.
Tidak ada satupun pendamping yang mampu “menyetir” 9 Perempuan Kendeng.
Coba
Uda Denny lihat. Apakah para pendamping mempunyai kemampuan melawan dengan cara
“menembang”. Itu saja para pendamping tidak ada apa-apanya. Dari sini,
informasi bisa Uda Denny lihat mengapa perlawanan Kendeng terus membesar.
Uda
Denny. Dari sistem pengelolaan, model, cara, justru masyarakat yang paling
tahu, paling mengerti, paling paham bahkan paling banyak ide tentang alam.
Entah air, tanah, gunung, hutan, gambut. Energi itu tidak mungkin ada didalam
pikiran pendamping. Jadi. 9 perempuan Kendeng justrulah sebagai “pioneer”
terhadap berbagai strategi perlawanan.
Uda
Denny. Sebelum menutup cerita saya. Sudah ada 2 orang Batak yang ikut “menyemen”.
Perempuan lagi. Satu boru Gultom dan satu lagi Siagian. Kalo yang lainnya sih
ada. Tapi aku tidak monitor.
Sebelum
menutup obrolan kita. Sampe sekarang uda sering sampaikan. Selalu minum kopi.
Nanti kalo uda Denny ada waktu. Aku bawakan kopi dari Jambi.
Tenang
Uda Denny. Kopi kita adalah kopi giling, Bukan kopi Gunting.