Bu
Patmi. Namanya pendek. Tanpa dialek. Tenang, teduh, tanpa suara. Berdiam di
depan istana. Semua mengharu-biru ketika sendok semen pertama kali kemudian
dituangkan kedalam kotak yang berisi kaki. Air mata kemudian tidak sadar
menetes. Dari kejauhan, rasa sesak tidak dapat disembunyikan.
Ya.
Bu Patmi adalah barisan 9 orang perempuan kendeng. Melawan tanpa suara.
Bersenandung. Tapi tetap kukuh bertahan. Mengajarkan arti perlawanan. Melawan
berbagai kekuatan Negara yang mengepungnya.
Kampus
terkenal, akademisi, birokrat yang bandel, bahkan “keras kepala” kepala Negara dan
berbagai macam tuduhan bahkan meragukan ketulusan arti perjuangan dilawan
dengan senyuman, diam bahkan kadang bersenandung.
Bu
Patmi bukan penggemar Hollywood. Bukan juga penggemar film laga memperebutkan
air. Mungkin bu Patmi tidak kenal Alvin Anson, Beau Ballinger, Monica Leigh
yang membintangi film Water Wars (2014). Atau Kevin Costner, Dennis Hooper,
Jeanne Tripplehorn, Tina Majorino yang membintangi Film “Water World (1995). Kedua film yang kemudian mengingatkan
pentingnya air melebihi pentingnya emas, senjata bahkan kekuasaan.
Lihatlah
kedua film laga memperebutkan wilayah, memperebutkan air setelah peradaban
besar dunia kemudian hancur oleh perang.
Berbeda
dengan kedua film yang mendapatkan air, kehidupan dengan senjata, kekuasaan, bu
Patmi “mempertahankan” dengan senyuman, diam dan bersenandung.
Bu
Patmi kemudian mengajarkan perlawanan dengna sabar, tekun, kukuh mempertahankan
keyakinan. Keyakinan terhadap ibu bumi yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupannya. Alam bawah sadar kemudian mengajarkan arti pentingnya air. Sebuah
ajaran leluhur yang tetap bergema di abad modern.
Bu
Patmi kemudian melawan tanpa berteriak. Tanpa protes terhadap ketidakadilan.
Namun melawan dengan bertahan. Mempertahankan bumi dan air tanpa banyak
memberikan penjelasan.
Bu
Patmi kemudian meladeni “kebawelan” kelas menengah Indonesia. Yang meragukan
perjuangannya. Yang menuduh penyiksaan terhadap tubuh perempuan sebagai symbol
perlawanan. Yang menyediakan dirinya untuk bertahan tanpa harus mengatakan.
Teringat
dalam sebuah pertemuan di kampus di Jakarta ketika 9 perempuan Kendeng
bersenandung di tengah pertemuan. Sambil diterjemahkan bait-bait senandung, sang
penembang kemudian menawarkan arti. Menawarkan tema perlawanan dengan
senandung. Sembari mengingatkan Negara akan makna perlawanan.
Senandung
itu kemudian bergema di ruangan. Senyap namun kaya makna.
Bu
Patmi kemudian menyadarkan. Membuka mata semua orang yang bicara air dari
gallon atau air kemasan. Ataupun membicarakan air dari gedung nyaman di ruang
pendingin kemudian tertawa terbahak-bahak.
Bu
Patmi membawa peradaban tanpa harus meninggalkan makna air. Menyadarkan dan
membuka mata semuanya.
Bu
Patmi mengajarkan arti perlawanan dengan diam. Perlawanan dengan senandung.
Mengingatkan tanpa mengajarkan. Mengajak tanpa menggurui. Membawa barisan
panjang tanpa harus berteriak di terik matahari.
Selamat
Jalan, bu Patmi. Tubuhmu yang kemudian engkau sediakan kemudian membawa arti.