Karen Amstrong
sendiripun pernah mengatakan “homo religius[1]”.
Pada dasarnya manusia adalah makhluk religious. Manusia mulai menyembah
dewa-dewa segera setelah mereka menyadari diri sebagai manusia ; Mereka
menciptakan karya-karya seni. Sebagaimana seni, agama merupakan usaha manusia
untuk menemukan makna dan nilai kehidup ditengah derita yang menimpa wujud
kasatnya.
Homo religius
secara institusi adalah prestasi simbolik, mitikal dan ritual atas
peristiwa-peristiwa. Aristoteles kemudian menempatkan Tuhan sebagai monoteis[2].
Menurut Karen,
Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi
bisa saja menjadi tidak begitu bermakna bagi generasi lain. Ketika sebuah
konsep tentang Tuhan tidak lagi mempunyai makna atau relevansi, ia akan
diam-diam ditinggalkan dan digantikan oleh sebuah teologi baru[3].
Sebelum
kedatangan agama-agama besar dunia seperti Budha, Hindu, Kristen dan Islam,
Indonesia mengenal agama-agama sebagai sebagai bentuk penghormatan kepada Sang
Pencipta. Setiap tempat kemudian meninggalkan jejak sehingga kedatangan
agama-agama besar dunia sekalipun tidak menghilangkan agama-agama Indonesia.
Di Batak
dikenal Hasipelebeguon[4]. Religi Batak mengenal nama dewa yang diyakini sebagai dewa tertinggi
yang dipanggil dengan Ompu Mulajadi Nabolon atau Debata Mulajadi Nabolon. Disamping itu dikenal juga beberapa dewa lainnya yang bernama: Batara Guru, Mangala Bulan, Mangala Sori, Debata Asiasi, Boraspati Ni
Tano, Boru Saniang Naga, roh-roh para leluhur dan berbagai
macam jenis begu lainnya. Seluruh
roh sembahan ini dimanfaatkan untuk melindungi mereka dari berbagai bentuk
bahaya dan malapetaka, dan menjamin tercapainya kekayaan (hamoraon), kemuliaan (hasangapon), dan keberhasilan hidup (hagabeon)[5].
Atau Parmalin[6]
yang semula Awalnya gerakan spiritual untuk mempertahankan adat istiadat dan
kepercayaan Kuno Batak Toba dari agama yang dibawa Belanda dan Jerman. Selain
Parmalin, dikenal juga Na Siak Bagi dan Parhudamdam yang berkiblat Ke
Sisingamaraja. Ketiganya meyakini, Sisingamangaraja akan datang dalam
pengembaraan. Namun Parmalin masih menempatkan Tuhan Yang Maha Esa (Debata
Mulajadi Nabolo), sebagai pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam
semesta yang disembah Umat Ugamo Malin (Parmalin).
Minangkabau
dikenal didalam Tambo “Perjalanan Dapunta Hyang dari Tanah
Basa (sekitar lembah Indus) pada pertama kali perbatasan Solok dengan
Sawahlunto Sijinjung menginjakkan kakinya dikaki Gunung Merapi (sekitar 250
tahun sebelum Masehi) Di Sungaideras ini terdapat delta seperti pulau,
disinilah tempat Dapunta Hyang dan rombongannya datang ke Gunung Merapi dengan
memudiki pemujaan atau pusat persebahan, juga tempat bersemayam sungai Kampar
Kanan dan sungai Kampar Kiri (Muara Kampar), tidak lain hanya Dapunta Hyang.,
Punjung berasal dari kata pujou artinya puja. hanya mencari identitas atau
pengganti tempat suci. Menurut agama Hindu-Budha[7]
Di Rejang, Suku
Sembilan tidak dapat dipisahkan dari sejarah Rejang[8].
Setelah beberapa lama menetap, datanglah empat orang hulubalang (biku)[9]
dari kerajaan Majapahit yaitu biku sepanjang jiwo, Biku Bejenggo, Biku Bermano
dan Biku Bembo. Berkat kesaktian, keluruhan budi dan kebijaksanaannya, empat
hulubalang diminta untuk menetap dan menjadi pemimpin. Keempat orang biku yang
memimpin Petulai kemudian dikenal sebutan Depati Tiang Empat. Dalam bahasa
Rejang kemdian dikenal Pat Petulai.
Di Tanah Sunda
dikenal agama Sunda. Dikenal Sunda Wiwitan[10].
Sunda Wiwitan terdiri dari dua kata. Sunda dan Wiwitan. Sunda dimaknai (1)
filosofis, Sunda berarti bodas (putih, bersih, cahaya, indah, bagus, cantik,
(2) etnis yang merujuk kepada komunitas bangsa Sunda, (3). Geografis yang
mengajuk kepada wilayah Sunda Besar (The greater Island)[11].
Sunda Wiwitan
diyakini sebagai ajaran sunda paling awal. Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan
yang hanya diturunkan untuk masyarakat Suku Baduy sebagai keturunan pertama
dari manusia pertama (Nabi Adam).
Orang Baduy
percaya kepada Tuhan “Gusti Nu Maha Suci Allah Maha Kuasa. Nabi Adam merupakan
keturunan dari Batara Patanjala yang merupakan salah satu dari tujuh Batara
Keturunan Batara Tunggal atau “Gusti Nu Maha Suci Allah Maha Kuasa”. Aturan
adat (Pikukuh) yang diwariskan turun temurun dan ruh nenek moyang masih ada dan
selalu mengawasi setiap perbuatan. Ruh nenek moyang berkumpul di Sasaka Domas
yang merupakan pusat dari wilayah Baduy sekaligus kiblat[12].
Selain itu juga
dikenal Ajaran Djawa Sunda. Pada hakikatnya, pilar ajaran Agama Djawa Sunda
adalah “Pikukuh Tilu”. Para penghayat ADS menyebut Tuhan dengan sebutan Gusti Sikang Sawiji-Wiji. Kata Wiji artinya adalah inti, yaitu inti dari
kelangsungan kehidupan di dunia. Sebagai inti dari segala kehidupan, eksistensi
Tuhan dapat ditransformasikan menjadi daya atau energi yang sifatnya konkrit.
Dalam hal ini, Tuhan melekat pada setiap ciptaan-Nya atau dengan kata lain inheren pada
setiap entitas yang ada[13].
Selain itu juga dikenal Aliran Kepercayaan Agama Jawa Sunda yang
berpusat di Cigugur, Kuningan. Ajaran ini dikenal Madrais (Ngelmu Cirebon)[14].
Dalam konsepsi Ketuhanan dikenal “Sangkan
Paraning Dumadi”. Ajaran ini mengandung kejadian manusia berasal dari api, air,
angin dan bumi (tanah)[15].
Yang ditandai dengan “Asaling Dumadi (asal mula wujud), Sangkaning Dumadi
(Darimana datangnya hidup), Purwaning Dumadi (Permulaan hidup), Tataraning
Dumadi (derajat atau martabat manusia) dan Paraning Dumadi (Bagaimana dan
kemana wujud berkembang).
Dalam prakteknya kemudia diwujudkan Wajib
menyembah kepada Guru, Ratu (kepala Pemerintahan) dan kedua orang tua.
Memelihara tanah dengan bercocok tanam. Dilarang menentang adat. Masyarakat
mengenal Paguyuban adat Cara Karuhun Urang.
Konsepsi peribadatan dilakukan dengan duduk, semedi, berbaring, berdiri.
Ketiga agama
Jawa Sunda menempatkan jalan untuk mencapai derajat sebagai makhluk Tuhan yang
dikenal “Pikukuh Tilu” seperti Ngaji badan, Tuhu/mikukuh kana tanah[16].
Di Semarang
dikenal Pangestu sebagaimana dituliskan oleh Kaswadi “Pendekatan Pendidikan
Keagamaan islam dalam Keluarga Penganut Pangestu Desa Nogosaren Kecamatan
Getasan Kabupaten Semarang[17].
Pangestu adalah
singkatan dari Paguyuban Ngesti Tunggal yang merupakan suatu organisasi sebagai
wadah berkumpulnya para anggota Pangestu. Dalam buku Petunjuk Ceramah
Penerangan Sang Guru Sejati dijelaskan bahwa Paguyuban Ngesti Tunggal berarti
persatuan yang dijiwai oleh hidup rukun dan semangat kekeluargaan dengan upaya
bitiniah yang didasari dengan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk
bersatu dalam hidup bermasyarakat dan dapat bersatu kembali dengan Tuhan Yang
Maha Esa[18].
Jika diartikan
perkataan pangestu memiliki arti Paguyuban (persatuan yang
dijiwai oleh hidup rukun dan semangat kekeluargaan) Ngesti (upaya
bitiniah yang didasari dengan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa) Tunggal (bersatu dalam hidup bermasyarakat dan bersatu kembali dengan
Tuhan Yang Maha Esa)[19]
Pangestu
mempunyai Kitab Suci. Pokok-pokok ajaran tersebut terbagi menjadi
tiga bagian yaitu sabda pratama, kitab sasangka jati dan
sabda khusus.
Namun sesungguhnya keseluruhan kitab panduan yang dijadikan pegangan atau wajib
dipelajari bagi anggota/siswa Pangestu ada sepuluh buku, sedangkan tujuh
lainnya yaitu Olah Rasa di Dalam Rasa, Taman Kamulyan Abadi,
Arsib Sardjana Budi Santosa, Ulang Kang Kelana, Olah Rasa, Wahyu Sasangka Jati dan Riwayat Hidup Bapak Paranpara Pangestu R. Soenarto Martowardjojo.
Pangestu adalah
sebuah paguyuban sebagaimana selayaknya organisasi lainnya yang bergerak dalam
bidang olah rasa atau pendidikan kejiwaan yaitu kelompok kerohanian tempat
menempa mental kejiwaan. Hal ini terungkap dari kitab Sasangka Jati[20].
Pangestu
bukanlah agama atau aliran kepercayaan dan tidak ingin berusaha untuk
mendirikan agama baru. Hal ini dijelaskan dalam kitab Sasangka Jati bagian
Tunggal Sabda, Jalan Rahayu, Panembah dan Sabda penutup.
Oleh karena
ajaran pangestu bukan merupakan agama, aliran kebatinan maupun aliran
kepercayaan maka untuk menjadi anggota ataupun yang menjadi anggota tidak
lantas dianjurkan atau dipaksa untuk meninggalkan keyakinan lamanya. Hal inilah
yang menjadi salah satu dasar aliran pangestu adalah sebuah organisasi
kerohanian yang terbuka untuk siapa saja.
Di Tanah Jawa
dikenal Kejawen. Cliford Geertz membagi tiga golongan yaitu santri (islam
ortodok), priyayi (kalangan bangsawan) dan abangan. Golongan abangan mengalami
akulturasi dengan Hindu-Budha yang disebut golongan Kejawen atau mistisme Jawa[21].
Masyarakat Jawa
mempunyai keyakinan bahwa manusia tetap mengalami ketergantungan dari kekuasaan
adi duniawi. Manusia harus bisa menempatkan selaras dengan keinginan leluhur
untuk mempertahankan tradisi. Roh-roh leluhur yang berada disekitar harus
diperhatikan sehingga tidak kualat[22].
Tradisi seperti
“puasa mutih, cegah dahar lawan guling (mencegah makan dan mengurangi tidur),
ngasrep adalah tradisi untuk mengganggu ketentraman keluarga[23].
Sedangkan untuk penyebutan kekuatan terbesar alam ini adalah Gusti
Ingkang Murbeng Dumadi, Gusti Ingkang Moho Kuwaos, dan lain sebagainya,
sehingga wajar mereka mengadakan sesajen ke tempat-tempat yang mereka anggap
keramat, di pohon, bukit, gua-gua atau bahkan membuat tempat tersendiri untuk
menaruh sesaji mereka[24].
Hubungan dengan Tuhan adalah hubungan yang mendasar (Manunggaling Kawulo
Gusti). Masyarakat harus selaras dan menyatu dengan alam (Netepi Prataning
Jagad)[25].
Oleh karena itu maka diperlukan proses yang panjang serta harus melalui
syarat-syarat khusus.
Sedangkan Samin[26]
dikenal di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen[27].
Dengan penghormatan dua tempat penting yaitu Desa Klopodhuwur di Blora dan Desa
Tapelan, Bojonegoro. Masyarakat kemudian mengenal daerah Pegunungan Kendeng
Utara dan Kendeng Selatan[28].
Samin Surosentiko adalah keturunan Kusumaningayu. Ayahnya bernama Raden
Surowijoyo yang dikenal dengan Samin Sepuh yang bekerja sebagai perampok untuk
kepentingan orang miskin. Raden Kohar berganti nama Samin, karena nama Samin
lebih merakyat[29].
Komunitas Samin memiliki kitab suci yang tersimpan dalam 5 buku yang
disebut “Serat Jamus Kalimasada” yang antara lain adalah Serat Punjer
Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-Uri Pambudi, Serat Jati Sawit dan
Serat Lampahing Urip[30].
Samin mengenal tiga prinsip yaitu
“angger-angger yang terdiri dari angger-angger pangucap (hukum bicara),
angger-angger pertikel (hukum tindak tanduk), angger-angger lakonono ( hukum
yang perlu dijalankan).
Pengikut Samin melakukan sembahyang dengan cara bersemedi selama 2 atau
3 menit menghadap ke timur. Semedi dilakukan sehari 4 kali yaitu pagi jam
06.00, waktu matahari terbit; jam 12.00 waktu matahari kulminasi; jam 18.00
waktu matahari terbenam; dan jam 24.00 waktu tengah malam. Semedi dilakukan
dengan niat “ingsun wang wung durung dumadi konone namung Gusti” (saya
tidak ada belum diciptakan adanya hanya Tuhan)[31].
Di Bali yang mayoritas masyarakatnya adalah pemeluk
agama Hindu, Tuhan disebut dengan nama Hyang Widhi Wasa. Namun demikian, dalam
praktik kepercayaan agama Hindu di Bali juga dikenal adanya pemujaan terhadap
dewa-dewa. Praktik pemujaan ini sesungguhnya merupakan pemujaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dalam berbagai manifestasinya. Tiga dewa utama yang selalu dipuja
oleh orang Hindu adalah Brahma, Wisnu
dan Siwa, atau yang sering disebut Tri Murti yang merupakan manifestasi Hyang
Widhi Wasa sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur[32].
Di Nusa
Tenggara Barat dikenal Islam Wetu Telu. Wetu telu dengan menyimpulkan
empat konsepsi; (1) wetu telu berarti tige reproduksi. Berarti datang
dari tiga refroduksi yang berarti semua makhluk hidup berasal dari tiga proses
refroduksi, nganak, betelu’ dan tiwu’, (2) Wetu Telu melambangkan
ketergantungan hidup satu sama lain, (3) Wetu Telu sebagai sebuah sistem
agama termanipfestasi dalam dalam kepercayaan, maka semua makhluk hidup
melewati tiga tahap; lahir, hidup, dan mati, (4) Konsepsi kepercayaan Wetu
Telu adalah iman kepada Allah, Adam, dan Hawa[33].
Ada tiga unsur
penting dalam keyakinan penganut Wetu Telu yaitu (a) Rahasia atau
asma yang mewujud dalam indra tubuh manusia, (b) Simpanan wujud Allah yang
tersimpan dalam Adam dan Hawa, (c)
Kodrat Allah adalah kombinasi 5 indra dan 8 organ yang diwarisi dari Adam dan
Hawa.[34]
Ajaran yang
terdapat dalam lontar Jatiswara, lontar Nursada dan Nurcahya, dan
lain-lain yang kebanyakan ajarannya tentang Usul dan Tasawuf. Isi lontar yang
pelik dan sulit dipahami masyarakat awam, sehingga lama-kelamaan terjadi
penyimpangan dari Agama Islam murni.[35]
Apabila dilihat
dari sisi historisnya, Wetu telu bukanlah aliran kepercayaan, ia adalah
penganut Islam yang singkretik dengan adat lokal, yang mempertahankan diri
seiring arus pembaharuan oleh para tokoh agama di Lombok[36].
Sedangkan
di Nusa Tenggara Timur dikenal Marapu. Bagi
masyarakat Sumba[37],
kepercayaan Marapu tersebut dipandang sebagai agama asli masyarakat Sumba yang
diyakini, dipelihara, dan diwariskan dari generasi ke generasi secara turun-
temurun. Karena itu, kepercayaan Marapu hingga kini masih hidup dan dianut oleh
masyarakat di Pulau Sumba, khususnya di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara
Timur[38].
L.
Onvlee, seperti dikutip FD Wellem dalam
bukunya Injil dan Marapu menyebutkan,
Marapu berasal dari dua
kata, yaitu ma yang berarti
yang dan rapu yang
berarti dihormati, disembah, dan didewakan. Yewangoe mempunyai pendekatan lain
bahwa Marapu berasal
dari dua kata, yaitu mara yang
berarti berarti serupa dan appu yang
berarti nenek moyang
Dalam
kepercayaan Marapu,
Tuhan disebut Amawolu amarawi yang
secara harfiah berarti yang membuat dan yang menciptakan. Nama Tuhan tidak
boleh disebut, karena Tuhan berbeda dengan manusia biasa, karena Dialah yang
dikenal sebagai Wolutelu raibada (yang
menciptakan manusia dan selain manusia).
Penganut
Marapu percaya adanya
Dewa-Dewa yang hidup di sekeliling mereka dan percaya bahwa arwah nenek moyang
tetap hidup serta ikut menentukan kehidupan masyarakat, sehingga mereka
memperlakukan arwah nenek moyang secara istimewa. Perlakuan istimewa tersebut
antara lain diwujudkan dalam bentuk pemberian sesaji secara berkala yang
dipersembahkan pada roh leluhur.
Keberadaan
ruang marapu di atap
rumah sebagai tempat sesaji untuk para Dewa juga merupakan salah satu contoh
kongkrit adanya kepercayaan pada roh leluhur. Marapu dalam kaitannya dengan rumah adat dikaitkan dengan
barang-barang yang tidak boleh dilihat oleh orang biasa. Dalam suatu paraingu biasanya terdapat
pemujaan satu marapu ratu (maha
leluhur), sehingga leluhur ini dipuja dalam suatu rumah kecil yang tidak dihuni[39].
Di Kalimantan
Tengah dikenal Hindu Kaharingan[40].
Kaharingan diciptakan tahun 1957 dari unsur-unsur kepercayaan dalam masyarakat
Dayak[41].
Suku Dayak Ngaju merupakan suku asli paling besar di Propinsi
Kalimantan Tengah. Sebagian besar masyarakat Dayak Ngaju tinggal di
kampung-kampung di tepi sungai.
Kaharingan merupakan suatu sistem kepercayaan hingga tahun 1980 Dan
sebagai agama. Dengan demikian berada di bawah aturan Departemen Agama yang
mengurus serta mengontrol semua hal-hal yang bersangkutan dengan agama termasuk
kegiatan, upacara, pendidikan dan ritual[42].
Kitab suci dikenal “Buku Suci Panuturan”. Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Hindu Kaharingan adalah Ranying Hatalla Langit Jata Balawang Bulau.[43].
Menteri Agama Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan
bernomor MA/203/1980 pada tanggal 28 April 1980. Surat
tersebut berisi persetujuan peleburan umat Kaharingan ke dalam agama Hindu
Dharma.
Kepercayaan terhadap agama-agama pribumi di tanah Papua dikaitkan
dengan gerakan-gerakan keselamatan, kultus kargo (cargo cult) dan pandangan messianistic yaitu pengharapan munculnya kebahagiaan dan kebebasan[44].
Di Papua
dikenal Suku Asmat. Dalam hal kepercayaan orang Asmat yakin bahwa mereka adalah
keturunan dewa yang turun dari dunia gaib yang berada di seberang laut di
belakang ufuk, tempat matahari terbenam tiap hari. Menurut keyakinan orang
Asmat, dewa nenek-moyang itu dulu mendarat di bumi di suatu tempat yang jauh di
pegunungan. Dalam perjalanannya turun ke hilir sampai ia tiba di tempat yang
kini didiami oleh orang Asmat hilir, ia mengalami banyak petualangan[45].
Tuhan dalam
agama atau kepercayaan Towani Tolotang (Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulsel),
sebagaimana dianggap oleh pemeluknya, disebut Dewata Seuwae (Tuhan Yang Maha
Esa) dan juga bergelar Patotoe (Yang Menentukan Nasib Manusia). Dewata Seuwae
adalah penguasa tertinggi yang melebihi kekuasaan manusia, menciptakan alam dan
isinya, tujuan penyembahan. Selain menyembah kepada Dewata Seuwae, masyarakat
Towani tolotang juga melaksanakan penyembahan terhadap dewa-dewa lain[46].
Ajaran tentang
sifat- sifat Tuhan seperti “Mappancaji Tenripancaji”, Pencipta tapi tidak diciptakan (tidak
dilahirkan) “Makkelo Tenri Akkelori”,
Kuasa tapi tidak dikuasai, “Naita
nan Tannaita mata”, Melihat tapi tidak dilihat
“, Iyamaneng makkelori” ,
Segalanya dalam kekuasaan-nya[47].
Dalam msyarakat
Towani Tolotang, kekuasaan tuhan juga banyak digambarkan dari berbagai nama
yang dikenakan kepadanya antara lain (1) Dewata Patotoe,
Tuhan yang berkuasa mengatur dan menentukan nasib dan takdir segala sesuatu, (2) La
Puange, Tuhan yang memerintah alam semesta, (3) Dewata Seuwae,
Tuhan Yang Maha Esa (Tunggal), (4) To Parumpue, Tuhan yang melakukan
kehendaknya, (5) To PalanroE, Tuhan Yang Maha Pencipta, (6) To Palingek-LingekE,
Tuhan yang menghilangkan nyawa manusia, (7) Dewata Seuwae Tekkeinang, Tuhan
Yang Maha esa tidak beribu dan tidak berayah, (8) Puang Mappancajie, Tuhan yang
Maha Menjanjikan.
Beberapa tokoh
pemimpin yang dikenal antara lain Dewata mattunrue, Aji Sangkuru Wirang (To
Palanroe Latogelangi-Batara Guru), Ilati Wuleng (Batara Lattu), Sawerigading,
La Galigo, dan lain-lain. Mereka semua digambarkan memiliki kekuatan yang lahir
dari keberdayaan keagamaan. Penduduk hanya menerima dan mengikutinya
sebagaimana yang digariskan oleh kepercayaan mereka yang bersifat magis-
religius.
Dalam
penghormatan terhadap Leluhur, di Jambi juga mengenal tempat-tempat yang
dihormati (Rimbo Keramat), Rimbo Puyang, Rimbo Ganuh. Atau sejarah kedatangan
Moyang ke Jambi seperti berasal “Nenek Semula Jadi”, Datuk Perpatih Penyiang
Rantau”.
Catatan Marco
Polo[48]
maupun Tome Pires[49]
menyebutkan Majapahit menganut agama Hindu-Budha. Sedangkan di Samudra Pasai
telah menganut Islam[50].
Di Jambi
sendiri catatan tentang Melayu Jambi dapat dijumpai dari kitab Dinasti Liang
dan Dinasti Ming. Adanya utusan pada tahun 430 - 475 masehi[51].
Catatan I-Tsing yang mengunjungi Sriwijaya tahun 672 Masehi menyebutkan kata
Melayu (Mo-Lo-Yue). Selain itu catatan kedatangan Melayu Jambi juga dituliskan
oleh Benjamin , On
Being Tribal in the Malay World.” In Tribal Communities in the Malay World:
Historical, Cultural and Social Perspectives [52]. Slamet
Muljana juga menyebutkan berita- berita dari Arab yang mengatakan adanya
Maharaja dari Zabag yang dapat diidentifikasi sebagai Muara Sabak. Atau dari
berita China yang mengatakan nama San-fo-ts’i sebagai kawasan penting dalam
Sriwijaya saat itu[53]
Sedangkan Abad VI
sampai awal abad XI, menjadi salah satu pusat maritime jalur perdagangan
nusantara, agama Budha menjadi agama yang kuat dan mengakar[54].
Jejaknya masih dilihat Candi Muara Jambi. Hancurnya Sriwijaya kemudian berhasil
dilakukan oleh Kerajaan Majapahit dengan eksepedi Pamalayu tahun 1275[55].
Sedangkan Kerajaan Pagaruyung kemudian dipimpim
Adityawarman kemudian mengalami kejayaan[56].
Jejak
penghormatan yang berakar dari Hindu juga dikenal Teluk sakti rantau betuah
gunung bedewo[57]. Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo hanyalah tempat dan bentuk penghormatan manusia kepada Tuhan.
Aristoteles menyebutkannya “hylemorfisme”[58]
Namun ketika
terjadi peperangan dengan Johor[59]
dan Palembang, Raja Jambi diketahui memeluk agama Islam. Jambi – secara politik
– pernah masuk pengaruh Mataram[60],
Demak[61]
bahkan Ottaman Turk[62].
Bahkan menurut catatan Tome Pires, pada awal abad XVI Jambi juga mempunyai
hubungan perdagangan dengan Tuban[63].
Kesultanan
Jambi dimulai tahun 1615 – 1906[64]
Masehi.
Cerita tentang
Mataram dapat dijumpai didalam cerita-cerita rakyat seperti Marga Sungai
Tenang, Marga Senggarahan (Merangin). Sedangkan di daerah Hilir Jambi, Marga
Kumpeh hilir sudah mengenal Islam.
Sedangkan
cerita Turki ditandai dengan Cerita local
baik di ornament makam Datuk Paduka berhala maupun cerita tentang Anak Datuk
Paduka Berhala yaitu Orang Kayu Hitam masih kuat didalam ingatan kolektif
masyarakat di Jambi daerah hilir. Kedatangan Datuk Paduko Berhala diperkirakan tahun 1480[65]
Sehingga tidak
salah kemudian G. J. F. Biegmen didalam bukunya “Enam Belas Tjerita Hikajat Tanah Hindia[66]”
menyebutkan “Soenggoehpoen Kabanjakan
Orang Hindia Sakarang soedah lama masoek islam, tetapi beberapa adatnja asalnya
dari pada agama jang lama itoe”.
Namun
agama-agama yang masih dianut oleh penduduk Indonesia adalah perwujudan dari
sikap sebagaimana disampaikan oleh Karen Amstrong. Sebagai manusia “homo religi”.
Manusia Indonesia sudah mengagungkan kebesaran Tuhan sehingga penghormatan
terhadap alam tetap terjaga. Dari generasi ke generasi.
Tentu masih
banyak lagi catatan yang bercecer tentang agama-agama Indonesia. Baik belum tercatat,
kesulitan untuk mendapatkan data hingga penganutnya yang mulai hilang.
Di Jambi
sendiri, setiap jejak peradaban masih dikenal masyarakat. Baik penghormatan
terhadap Dewata, penghormatan terhadap pengaruh Hindu, ajaran islam, pengaruh
Turki, India, Minangkabau, Mataram. Setiap jejak adalah bentuk peradaban yang
masih dirawat dengan baik oleh penduduk di Jambi.[67]
[1]
Karen Amstrong, SEJARAH TUHAN – Kisah Pencarian Tuhan Yang
dilakukan Oleh Orang Yahudi, Kristen dan Islam selama 4000 tahun, Penerbit
Mizam, Bandung, 2001, Hal. 20
[2]
Karen, Ibid. Hal. 69-70
[3]
Karen, Ibid, Hal. 21
[4] E.H. Tambunan, Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak
Toba dan Kebudayaannya, Tarsito, Bandung 1982: hlm. 130.
[5] Pemikiran tentang Batak (Editor: B.A. Simanjuntak),
Universitas HKBP Nommensen, Medan 1986: hlm. 115.
[6] Asal usul kata malim bagi masyarakat Melayu berasal
dari bahasa Arab “mualim” yang artinya pintar dalam pengetahuan agama. Kata
parmalim sendiri bisa dipisahkan dalam dua kata, yaitu “par” dan “malim”. “Par”
dalam bahasa Batak Toba merupakan awalan aktif yang berarti orang yang
mengerjakan atau menganut sesuatu.Corry Purba, Politik dan Spiritual
Parmalin dalam Rangka mempertahankan Agama Suku di Tanah Batak, Jurnal Sejarah
Historia Tahun II Nomor 6 Mei 2013
[7] Drs. Mid Jamal , “Manyigi Tambo Alam Minangkabau
[9]
Biku yang dimaksudkan adalah “Biksu”. Pemimpin agama Hindu. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al
Qur’an, Tintamas Jakarta, 2001.
[10]
Sunda Wiwitan dianut diantaranya Kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur,
Kuningan, Jawa Barat dan Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar, Lebak Banten. Di
Desa Kanekes kemudian dikenal dengan nama Suku Baduy.
[11] Kartakusuma, Richadiana (2006) ‘Situs
(Kabuyutan) Kawali di Ciamis, Jawa Barat: Ajaran Sunda di dalam Tatanan Tradisi
Megalitik’, dalam Rosidi, Ajip dkk. (ed.) Prosiding Konferensi Internasional
Budaya Sunda (KIBS) 2006. Jilid 1. Bandung: Yayasan Kebudayaan Rancage.
[12]
Peraturan Desa Kanekes Nomor 1 Tahun 2007 Tentang SABA BUDAYA DAN PERLINDUNGAN
MASYARAKAT ADAT TATAR KANEKES (BADUY)
[13]
Yayasan Trimulya, Pikukuh Adat
Karuhun Urang: Pemahaman Budaya Spiritual, Cigugur-Kuningan, 2000, hlm. 16.
[14] Kamil
Kartapradja, Aliran Kebatihan dan Kepercayaan di Indonesia, 1990
[15]
Dagun dan Purwanto, Pemaparan Budaya Spritual adat Karuhun Urang, 2000
[16]
Kamil Kartapradja, Aliran Kebatihan dan Kepercayaan di Indonesia, 1990, Hal. 32
[17]
Kaswari, Pendekatan Pendidikan Keagamaan islam dalam Keluarga Penganut Pangestu
Desa Nogosaren Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang, Skripsi, STAIN Salatiga,
2013
[18] R.
Rahardjo. Riwayat Hidup Bapak Paranpara Pangestu
Soenarto Mertowardojo. Pengurus Pusat Pangestu, Solo, 1964, Hal. 9
[19] Hardjoprakoso,
R. Tumenggung dan R. Trihardono Soemodihardjo, Sasangka Jati. Proyek
Penerbitan dan Perpustakaan Pangestu, Jakarta, 1983, Hal. 8
[20]
Ibid, Hal. 63
[21] Simuh, Islam dan Pergumulan Jawa, Teraju,
Jakarta, 2003, hal. 39-40
[22] Sujamto, Pandangan Hidup Jawa, Dahan Prize,
Semarang1997, hal. 42
[23] M. Darori Amin (ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa,
Gama media, Yogyakarta, 2000, hal. 9
[24] Frans Magniz Suseno Sj, Etika Jawa: Sebuah Analisa
Falsafi tentang Kebijasanaan Hidup Jawa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001,
Hal. 8
[25] Damardjati Supadjar, Nawangsari, Media Widya
Mandala, Yogyakarta1993, hal. 214
[26] Kata Samin berasal dari kata sami-sami amin (Jawa)
atau sama- sama bermufakat dalam melakukan sesuatu untuk mencapai
kesejahteraan, yang menunjukkan bahwa manusia sama derajatnya. Pandangan yang
sangat menghargai hak-hak asasi manusia ini merupakan pandangan yang dijunjung
oleh pengikut Samin. Mereka tidak merasa derajatnya lebih rendah dari pada
priyayi Jawa dan orang-orang Belanda pada zaman kolonial pada saat munculnya
ajaran ini. Nama Samin pada ajaran Samin juga diambil dari nama pendirinya,
Samin Surosentiko yang lahir pada tahun 1859 di desa Ploso Kediren Kecamatan
Randublatung Kabupaten Blora. Lihat Hardjo Kardi, Riwayat Perjuangan Ki Samin
Surosentiko, 1996,, Hal. 1
[27]
Encyclopaedie van Nederlandsh-Indie.
[28] M.
Rosyid, Memotret Agama Adam : Studi Kasus Pada Komunitas Samin, Hal. 3
[29] Abdul Wahib,. Transformasi Sosial Keagamaan pada
Masyarakat Samin, 2001, IAIN Walisongo Semarang.
[30] LIPI, Religi
Lokal dan Pandangan Hidup, Jakarta,
2004. Jakarta.
[31] Abdul Wahib,. Transformasi Sosial Keagamaan pada
Masyarakat Samin, 2001, IAIN Walisongo Semarang.
[32] I Bagus Gusti Ngurah, 2002.
“Kebudayaan Bali” dalam Koentjaraningrat : Manusia dan Kebudayaan di Indonesia,
Penerbit Djambatan, Jakarta.
[33] Erni Budiarti, Erni, Islam Sasak: Wetu Telu
Versus Waktu Lima, LKiS, Yogyakarta, 2000, Hal. 139
[34]
Ibid
[35] Solichin
Salam, Lombok Pulau Perawan, Kuning Mas, Jakarta: 1992, Hal. 17
[36] Soekardjo
Sastrodiharjo, Beberapa Djatatan Lombok, Pusat Djawatan Pertanian
Rakjat, Djakarta, 1961, Hal. 21
[37]
Nama Sumba konon berasal dari kata humba, yang berarti “asli”.Masyarakat Sumba
menyebut diri sebagai Tau Humba, atau penduduk asli yang mendiami Pulau Sumba.
[38]
Dwelle, F. 2004. Injil dan Marapu : Suatu studi
historis teologis tentang perjumpaan Injil dengan masyarakat Sumba pada periode
1876-1990. BPK Gunung Muria,
Jakarta.2004, Hal. .
[39]
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional – Pesona Budaya Sumba, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Penerbiti Gajah Mada University Press, Hal.
2
[40] Hendrijani, A. et al., Dayak dan Indonesia – Belajar dari Tjilik Riwut. Galangpress. Yogyakarta, 2006,
[41] A. Schiller, (1996). An “Old” Religion in “New
Order” Indonesia: Notes on Ethnicity and Religious Affiliation, Sociology of Religion, 1966, Hal. 409-417.
[42] M. Baier, Perkembangan Sebuah Agama Baru di
Kalimantan Tengah, 2006.
[43]
Ibid
[44] I Ngurah Suryawan, DIANTARA UGATAMEE DAN INJIL:
TRANSFORMASI TEOLOGI-TEOLOGI PRIBUMI DI TANAH PAPUA, ISLAM RELITAS: Journal of
Islamic & Social Studies Vol 2, No 1 Januari-Juni 2016
[45]
Siti Nurbayani, Kondisi Sosial
Budaya Masyarakat Papua.
[46]
Soal eksistensi Tuhan dalam agama Towani Tolotang pertama kali diterima oleh
seorang yang bernama La Panaungi ketika menjalankan ritual keyakinannya. Ketika
La Panaungi mendengar suara yang menyebutkan bahwa “Akulah Dewata Seuwae yang
berkuasa atas segalanya, akan kuberikan suatu keyakinan agar engkau selamat di
dunia hingga hari kemudian. Keyakinan itu lebih suci dan mulia daripada yang engkau
kerjakan”. Mendengar suara itu La Panaungi lama termenung, namun suara yang
sama terdengar kembali, bahkan meminta agar La Panaungi membersihkan diri lebih
dahulu sebelum diterimakan kepadanya suatu agama. La Panaungi kemudian
mengikuti perintah itu, dan kembali terdengar suara sebagai wahyu pertama dari
Dewata Seuwae mengenai keyakinan Towani Tolotang. Pada akhir pesan Dewata
Seuwae mrenyatakan “sebarkanlah keyakinan ini kepada anak cucumu”, kemudian
suara itu lenyap. Erlina Farmalindah,
Komunitas Towani Tolotang di Amparita Kabupaten Sidenreng Rappang – Studi
Tentang Pola Pendidikan Beragama), Skripsi, Unhas, 2012, Hal. 75
[47]
Ibid, 83
[48] J.
C Van Leur, Indonesian Trade and Society, KITLV, Den Haag, 1967.
[49]
Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires, Hackluyt, London, 1994. Hal.
239
[50]
Antony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450 – 1680, Yayasan Obor,
Jakarta, Hal 7.
[51]
Poesponegoro Marwati Joened, Sejarah Nasional Indonesia II, Balai Pustaka,
Jakarta, 1984, Hal. 79
[52] Benjamin , On Being Tribal in the Malay World.” In Tribal
Communities in the Malay World: Historical, Cultural and Social
Perspectives, edited by Geoffrey Benjamin and Cynthia Chou.
Leiden/Singapore: International Institute for Asian Studies/ Institute of
Southeast Asian Studies, 2002, Hal. 6
[53]
Slamet Muljana, Sriwijaya, Penerbit, LKiS, Yogyakarta, 2008, Hal
107-119.
[54]
Sartono Kartodirjo, Sejarah Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1986, Hal 109
[55]
Slamet Muljana, Menuju Puncak Kemegahan Majapahit, Penerbit LKiS, Yogyakarta,
2005, Hal. 173
[56]
D.G.E Hall,., 1968, A History of
South-East Asia, St. Martin's Press, New York, p. 12.
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia, D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara,
1988, diterjemahkan oleh I.P. Soewasha dan terjemahan disunting oleh M. Habib
Mustopo, Surabaya: Usaha Nasional.
[57] Musri
Nauli, Pengaruh Hindu dalam Seloko Melayu di Hulu Batanghari, Jurnal Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Riau, Volume 4 No. 2 Februari – Juli 2014,
Pekanbaru.
[58] Ach. Dhofir Zuhri, Sebuah pergulatan Menuju
Manusia Paripurna, Madani, 2013, Surabaya, Hal. 57.
[59]
Barbara Watson Andaya, Hidup Bersaudara – Sumatra Tenggara Pada Abad XVII –
XVIII, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2016, hal. 57
[60] M.
Yahya Harun, Kerajan Islam Nusantara Abad XVI – XVII, Penerbit Kurnia Kalam
Sejahtera, Yogyakarta, 1995, Hal 85 - 86
[61]
M.A.P. Meilink-Rolefzs, Asian Trade and Europan Influence, Martinus Nijholf,
Den Haag, 1962, Hal 90 - 91
[62] E.
Gobbe dan C. Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889 – 1936, Penerbit INIS,
Jakarta, 1990. Lihat juga Surat Sultan Jambi (1858) kepada Khilafah Utsmaniyah
yang menyebut sebagai Sultan Islam dan kaum muslim, khalifah Allah yang
melancarkan Jihad Fisabillilah, penjunjung Syariah dan pengabdi dua tempat Suci.
Surat yang dikirimi oleh Sultan Jambi juga menyebutkan berisi permintaan
bantuan menghadapi Belanda.
[63]
Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires, Hackluyt, London, 1994. Hal.
243
[64]
Elsbeth Locher-Scholten, Kesultanan Sumatra
dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi- Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya
Imperialisme Belanda, terj. Noor Cholis, (Jakarta: KITLV dan
Banana, 2008). hal 39
[65] Di dalam
naskah, sebenarnya, tidak terdapat penyebutan tahun. Data tersebut adalah
rekaan dari J. Tideman dan P. L. F Sigar, Djambi, Kolonial Institutt, 1938.
[66] G.
J. F. Biegmen, 16 Tjerita , Tertjitak di Bandar Betawi, Pertjitakan Gobernemen,
1894, Hal. 5
[67] Sebagaimana
disampaikan oleh Barbara tentang rasa kagum kepada Penduduk Jambi yang tetap
merawat pengetahuan yang disampaikan dengna bertutur (oral tradition).