Akhir-akhir
ini “demam” memakai ikat kepala khas Jambi mewarnai berbagai tempat di Jambi. Dengan
bangga kaum muda Jambi kemudian menjadikan ikat kepala sebagai pakaian
sehari-hari menemani berbagai pertemuan anak muda di Jambi.
Perdebatan
mulai muncul. Ketika Gubernur Jambi kemudian “mencanangkan ikat kepala” dan
kemudian menamakan ikat kepala sebagai Tanjak, nurani saya kemudian tergugah.
Pencanangan yang dilakukan oleh Gubernur Jambi merupakan sebuah seruan budaya
ditengah berbagai ikat kepala di berbagai daerah. Namun penamaan sebagai
“Tanjak” memantik penulis untuk mendiskusikan dengan berbagai kalangan.
Pada
tanggal 31 Januari 2017, berkumpullah orang yang peduli dengan penamaan ikat
kepala khas Melayu Jambi. Acara yang dikemas dengan Judul Silaturahmi Penggiat
Budaya Melayu. Peserta yang hadir baik pelaku kebudayaan yang selama ini tekun
menggali sejarah Melayu Jambi, penggiat yang peduli dengan kebudayaan dan
sejarah Jambi dan kalangan pemuda yang peduli dengan budaya Jambi.
Masing-masing peserta forum menyampaikan gagasan sehingga menukik kepada
penamaan.
Para
yang hadir kemudian menyepakati penamaan ikat kepala khas Jambi dengan nama
“Lacak”. Penggodokan nama didukung oleh beberapa lembaga dan komunitas seperti
Bujang Belago, 5W Photografy, Tuntas Adventure, Jambi Heritage, CV Intigraf dan
Virgo Creations.
Salah
satu yang hadir, Zainul Bahri selaku maestro batik di Jambi mengatakan orang
tua di Jambi sudah lama mengenakan ikat kepala. Buktinya dapat dilihat dari dari
berbagai photo-photo yang dikenakan oleh masyarakat Jambi.
Selain
itu menurut Zainul Bahri, ikat kepala ini memang milik Melayu Jambi. “Ikat
kepala ini dari dulu kita sebut lacak. Lacak adalah kain penutup kepala yang
didesain sedemikian rupa. Khas Melayu Jambi” terang Zainul Bahri sembari
memeragakan berbagai model batik khas Jambi yang kemudian dipakai didalam
acara-acara resmi kenegaraan di Jambi.
Sedangkan
Eri Argawan ketika mentas di berbagai kota kemudian menyebutkan dengan tegas
nama Lacak. Nama lacak juga disampaikan berbagai tokoh-tokoh yang hadir yang
mengakui penamaan ini sudah dikenal sejak dari kecil.
Cerita
ini kemudian berlanjut dengna diterbitkannya Surat Edaran Gubernur Jambi
tanggal 9 Maret 2017 yang pada pokoknya anjuran untuk “Pemakaian Lacak Jambi
yang diselaraskan dengan Pakaian Batik Jambi”.
Didalam
surat edaran diterangkan pemakaian Lacak digunakan (a) waktu/acara resmi
tertentu diluar hari kerja; (b) kegiatan diluar jam kantor/diluar kantor; (c)
sesuai dengan ketentuan yang diarahkan oleh panitia penyelenggara acara.
Lacak
digunakan oleh pejabat administrator dan pejabat pengawas serta pejabat
fungsional di lingkungan Pemerintah Propinsi Jambi.
Pemakaian
lacak telah dilakukan sebelumnya pada saat pelantikan pejabat Pemprov Jambi
tanggal 22 Februari 2017[1]
Membicarakan
lacak tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang kehidupan masyarakat Jambi. Disebutkan
didalam Buku “Pakaian Adat Tradisional Daerah Propinsi Jambi[2],
kelengkapan pakaian adat laki-laki Suku Melayu Jambi adalah Dibagian kepala
dipakai Lacak. Lacak atau disebut pula Maskoto/Mahkota terbuat dari kain
beludru warna merah bersulan emas. Sedangkan menurut sumber, “lacak dengan
pucuk lacak yang paling tinggi diletakkan di muka agak menyamping kanan.
Kemudian diikuti dengna memasang bungo runic di samping kiri.
Lacak
berfungi sebagai penutup kepala dan juga sekaligus sebagai pelengkap pakaiaan
adat[3].
Secara harfiah lacak
bermakna bekacak atau gagah, ikat kepala ini dahulunya dipakai oleh para raja,
laskar dan para Panglima Jambi[4].
Lacak awalnya dikenal sebagai
salah satu perlengkapan dalam pakaian adat pria Jambi. Untuk kaum Laki-laki
yang berada di suku Melayu Jambi, dalam berpakaian adatnya kaum pria Jambi
mengenakan lacak pada kepalanya. Lacak sebagai penutup kepala ini di buat dari
bahan kain beludru yang warna merah pada bagian dalamnya diberi kertas tebal
yang dimaksudkan agar menjadikannya keras.
Didalam
pertemuan tanggal 31 Januari, Lacak juga dikenal dengan nama Destar atau Deta (Kabupaten
Bungo)[5].
Nama Lacak kemudian disepakati setelah didalam pertemuan, pada tahun 1980-an,
nama Lacak telah dibawa duta kesenian Propinsi Jambi dan kemudian keliling
Eropa. Nama Lacak disepakati setelah melihat dinamika forum didalam pertemuan
yang menguatkan nama Lacak sebagai nama resmi dan pemersatu ikat kepala.
Didalam
forum juga disepakati penamaan lacak sebagai pemersatu nama ikat kepala khas
Jambi dengan tidak mengenyampingkan penamaan Tanjak untuk wilayah Hilir dan
Desta untuk Bungo dan Bangko.
Berbeda
dengan Lacak, penamaan Tanjak dikenal di Pantai Timur Sumatra. Di Kota Tanjung
Pinang dikenal prosesi pemakaiaan temolok/Tanjak Melayu[6].
Bahkan disebutkan sejarah panjang penggunaan Tanjak dan Tengkolok di Melayu
Kepri bermula ketika pada tahun 750 M, Sang Jaya Bangsa atau Sang Rama Dhamjaya – Maharaja Sriwijaya menyerang
Kerajaan Langkasuka.
Selain
kemudian menaklukan Kerajaan Langkasuka, pemakaian Tanjak dan Tengkolok
diperkenalkan di Semenanjung Pantai Timur Sumatra.
Sementara
sumber lain menyebutkan penggunaan tengkolok, tanjak dan destar secara luas
diyakini berasal dari Seri Teri Buana yang ditabalkan sebagai Pemerintah bagi
tiga kerajaan yaitu Sriwijaya, Bintan dan Singapura Tua[7].
Sejarah
tengkolok, tanjak dan destar di negeri Kelantan bermula ketika Sultan Melaka
menaklukkan negeri Serendah (Seri Indah) Sekebun Bunga di bawah pemerintahan
Sultan Gombak.
Dari
Kelantan, pemakaian tengkolok, tanjak dan destar masuk ke Patani ketika Patani
diperintah oleh anak-anak raja dari dinasti Kelantan I dan dinasti Kelantan II.
Pada
zaman Kerajaan Persekutuan Patani Besar, penggunaaan tengkolok, tanjak dan
destar telah berkembang ke negeri Singgora (Songkhla, Phatthalung dan Satun)
serta Ligor (Nakhon Si Thammarat).
Di
bawah pengaruh imperium Kedah juga, penggunaaan tengkolok, tanjak dan destar
telah berkembang ke Sendawa (Sadao), Setul (Satun), Terang (Trang), Ayer Kelubi
(Krabi), Kuala Punga (Phang Nga), Pulau Bukit (Koh Phuket) dan Rundung (Ranong)
di selatan Thailand serta Tenang Sari (Tenasserim) di selatan Myanmar.
Pemerintah
Siak juga mengenal tanjak sebagaimana programnya “Siak Bertanjak”
Penamaan
“Tanjak” dikenal di pantai Timur Sumatra (pesisir Sumatra). Sehingga penamaan
tanjak juga dikenal di Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur. Namun
penamaan Tanjak tidak dikenal di Jambi, Batanghari, Bungo, Bangko dan
Sarolangun.
Dari
hasil diskusi di Silaturahmi Penggiat Budaya Melayu, berbagai masyarakat
kemudian mengenal nama “Lacak”. Sehingga penamaan lacak kemudian disepakati
menjadi identitas penyatu untuk Jambi.
[1] Ratusan Pejabat Yang Dilantik diwajibkan memakai
Batik dan Ikat Kepala Melayu Jambi, www.imcnews.id,
22 Februari 2017.
[2] Pakaian Adat Tradisional Daerah Propinsi Jambi,
Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya (Indonesia), Departemen
Pendidikan dan kebudayaan, 1993, Hal 92
[3] Hal. 154
[4] Silaturahmi
Penggiat Budaya Melayu Jambi, 31 Januari 2017
[5] Eri Argawan, koreofgrafer, Jambi, 31 Januari 2017
[6] Data dari berbagai sumber
[7] Menurut Negarakertagama, pupuh 14/5 yang disebutkan
Singapura Tua yaitu Negeri Tumasik. Lihat Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah
Kerajaan Mahapahit), Slamet Muljana,
Penerbit LKis, Yogyakarta, 2011, Hal. 60