05 Mei 2017

opini musri nauli : Ikat Kepala



Akhir-akhir ini “demam” memakai ikat kepala khas Jambi mewarnai berbagai tempat di Jambi. Dengan bangga kaum muda Jambi kemudian menjadikan ikat kepala sebagai pakaian sehari-hari menemani berbagai pertemuan anak muda di Jambi.


Perdebatan mulai muncul. Ketika Gubernur Jambi kemudian “mencanangkan ikat kepala” dan kemudian menamakan ikat kepala sebagai Tanjak, nurani saya kemudian tergugah. Pencanangan yang dilakukan oleh Gubernur Jambi merupakan sebuah seruan budaya ditengah berbagai ikat kepala di berbagai daerah. Namun penamaan sebagai “Tanjak” memantik penulis untuk mendiskusikan dengan berbagai kalangan.

Pada tanggal 31 Januari 2017, berkumpullah orang yang peduli dengan penamaan ikat kepala khas Melayu Jambi. Acara yang dikemas dengan Judul Silaturahmi Penggiat Budaya Melayu. Peserta yang hadir baik pelaku kebudayaan yang selama ini tekun menggali sejarah Melayu Jambi, penggiat yang peduli dengan kebudayaan dan sejarah Jambi dan kalangan pemuda yang peduli dengan budaya Jambi. Masing-masing peserta forum menyampaikan gagasan sehingga menukik kepada penamaan.

Para yang hadir kemudian menyepakati penamaan ikat kepala khas Jambi dengan nama “Lacak”. Penggodokan nama didukung oleh beberapa lembaga dan komunitas seperti Bujang Belago, 5W Photografy, Tuntas Adventure, Jambi Heritage, CV Intigraf dan Virgo Creations.

Salah satu yang hadir, Zainul Bahri selaku maestro batik di Jambi mengatakan orang tua di Jambi sudah lama mengenakan ikat kepala. Buktinya dapat dilihat dari dari berbagai photo-photo yang dikenakan oleh masyarakat Jambi.

Selain itu menurut Zainul Bahri, ikat kepala ini memang milik Melayu Jambi. “Ikat kepala ini dari dulu kita sebut lacak. Lacak adalah kain penutup kepala yang didesain sedemikian rupa. Khas Melayu Jambi” terang Zainul Bahri sembari memeragakan berbagai model batik khas Jambi yang kemudian dipakai didalam acara-acara resmi kenegaraan di Jambi.

Sedangkan Eri Argawan ketika mentas di berbagai kota kemudian menyebutkan dengan tegas nama Lacak. Nama lacak juga disampaikan berbagai tokoh-tokoh yang hadir yang mengakui penamaan ini sudah dikenal sejak dari kecil.

Cerita ini kemudian berlanjut dengna diterbitkannya Surat Edaran Gubernur Jambi tanggal 9 Maret 2017 yang pada pokoknya anjuran untuk “Pemakaian Lacak Jambi yang diselaraskan dengan Pakaian Batik Jambi”.

Didalam surat edaran diterangkan pemakaian Lacak digunakan (a) waktu/acara resmi tertentu diluar hari kerja; (b) kegiatan diluar jam kantor/diluar kantor; (c) sesuai dengan ketentuan yang diarahkan oleh panitia penyelenggara acara.

Lacak digunakan oleh pejabat administrator dan pejabat pengawas serta pejabat fungsional di lingkungan Pemerintah Propinsi Jambi.

Pemakaian lacak telah dilakukan sebelumnya pada saat pelantikan pejabat Pemprov Jambi tanggal 22 Februari 2017[1]

Membicarakan lacak tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang kehidupan masyarakat Jambi. Disebutkan didalam Buku “Pakaian Adat Tradisional Daerah Propinsi Jambi[2], kelengkapan pakaian adat laki-laki Suku Melayu Jambi adalah Dibagian kepala dipakai Lacak. Lacak atau disebut pula Maskoto/Mahkota terbuat dari kain beludru warna merah bersulan emas. Sedangkan menurut sumber, “lacak dengan pucuk lacak yang paling tinggi diletakkan di muka agak menyamping kanan. Kemudian diikuti dengna memasang bungo runic di samping kiri.

Lacak berfungi sebagai penutup kepala dan juga sekaligus sebagai pelengkap pakaiaan adat[3]. Secara harfiah lacak bermakna bekacak atau gagah, ikat kepala ini dahulunya dipakai oleh para raja, laskar dan para Panglima Jambi[4].

Lacak awalnya dikenal sebagai salah satu perlengkapan dalam pakaian adat pria Jambi. Untuk kaum Laki-laki yang berada di suku Melayu Jambi, dalam berpakaian adatnya kaum pria Jambi mengenakan lacak pada kepalanya. Lacak sebagai penutup kepala ini di buat dari bahan kain beludru yang warna merah pada bagian dalamnya diberi kertas tebal yang dimaksudkan agar menjadikannya keras.

Didalam pertemuan tanggal 31 Januari, Lacak juga dikenal dengan nama Destar atau Deta (Kabupaten Bungo)[5]. Nama Lacak kemudian disepakati setelah didalam pertemuan, pada tahun 1980-an, nama Lacak telah dibawa duta kesenian Propinsi Jambi dan kemudian keliling Eropa. Nama Lacak disepakati setelah melihat dinamika forum didalam pertemuan yang menguatkan nama Lacak sebagai nama resmi dan pemersatu ikat kepala.

Didalam forum juga disepakati penamaan lacak sebagai pemersatu nama ikat kepala khas Jambi dengan tidak mengenyampingkan penamaan Tanjak untuk wilayah Hilir dan Desta untuk Bungo dan Bangko.

Berbeda dengan Lacak, penamaan Tanjak dikenal di Pantai Timur Sumatra. Di Kota Tanjung Pinang dikenal prosesi pemakaiaan temolok/Tanjak Melayu[6]. Bahkan disebutkan sejarah panjang penggunaan Tanjak dan Tengkolok di Melayu Kepri bermula ketika pada tahun 750 M, Sang Jaya Bangsa atau Sang  Rama Dhamjaya – Maharaja Sriwijaya menyerang Kerajaan Langkasuka.

Selain kemudian menaklukan Kerajaan Langkasuka, pemakaian Tanjak dan Tengkolok diperkenalkan di Semenanjung Pantai Timur Sumatra.

Sementara sumber lain menyebutkan penggunaan tengkolok, tanjak dan destar secara luas diyakini berasal dari Seri Teri Buana yang ditabalkan sebagai Pemerintah bagi tiga kerajaan yaitu Sriwijaya, Bintan dan Singapura Tua[7].

Sejarah tengkolok, tanjak dan destar di negeri Kelantan bermula ketika Sultan Melaka menaklukkan negeri Serendah (Seri Indah) Sekebun Bunga di bawah pemerintahan Sultan Gombak.

Dari Kelantan, pemakaian tengkolok, tanjak dan destar masuk ke Patani ketika Patani diperintah oleh anak-anak raja dari dinasti Kelantan I dan dinasti Kelantan II.

Pada zaman Kerajaan Persekutuan Patani Besar, penggunaaan tengkolok, tanjak dan destar telah berkembang ke negeri Singgora (Songkhla, Phatthalung dan Satun) serta Ligor (Nakhon Si Thammarat).

Di bawah pengaruh imperium Kedah juga, penggunaaan tengkolok, tanjak dan destar telah berkembang ke Sendawa (Sadao), Setul (Satun), Terang (Trang), Ayer Kelubi (Krabi), Kuala Punga (Phang Nga), Pulau Bukit (Koh Phuket) dan Rundung (Ranong) di selatan Thailand serta Tenang Sari (Tenasserim) di selatan Myanmar.

Pemerintah Siak juga mengenal tanjak sebagaimana programnya “Siak Bertanjak”

Penamaan “Tanjak” dikenal di pantai Timur Sumatra (pesisir Sumatra). Sehingga penamaan tanjak juga dikenal di Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur. Namun penamaan Tanjak tidak dikenal di Jambi, Batanghari, Bungo, Bangko dan Sarolangun.

Dari hasil diskusi di Silaturahmi Penggiat Budaya Melayu, berbagai masyarakat kemudian mengenal nama “Lacak”. Sehingga penamaan lacak kemudian disepakati menjadi identitas penyatu untuk Jambi.




[1] Ratusan Pejabat Yang Dilantik diwajibkan memakai Batik dan Ikat Kepala Melayu Jambi, www.imcnews.id, 22 Februari 2017. 
[2] Pakaian Adat Tradisional Daerah Propinsi Jambi, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya (Indonesia), Departemen Pendidikan dan kebudayaan, 1993, Hal 92
[3] Hal. 154
[4]  Silaturahmi Penggiat Budaya Melayu Jambi, 31 Januari 2017
[5] Eri Argawan, koreofgrafer, Jambi, 31 Januari 2017
[6] Data dari berbagai sumber  
[7] Menurut Negarakertagama, pupuh 14/5 yang disebutkan Singapura Tua yaitu Negeri Tumasik. Lihat Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Mahapahit), Slamet Muljana,  Penerbit LKis, Yogyakarta, 2011, Hal. 60