23 Mei 2017

opini musri nauli : Surat terbuka untuk Afi





Ananda Afi. Sengaja saya memanggilmu Ananda mengingat usiamu yang masih muda.

Disaat kelahiranmu, saya tengah memimpin demonstrasi buruh menghentikan pabrik dari perusahaan yang majikannya terkenal tidak pernah disentuh oleh siapapun.

Disaat kelahiranmu, Sang The killing smile baru saja diturunkan paksa oleh mahasiswa yang menduduki gedung parlemen setelah berkuasa 32 tahun. Suasana waktu itu penuh harapan setelah tenggelam dalam hiruk pikuk politik dalam masa kelam otoriter orde baru. Mimpi tentang Indonesia yang mengusung keadilan, keterbukaan, pemerintahan yang adil dan kebebasan berfikir, berorganisasi yang menjadi oase panjang dari perjalanan panjang Indonesia.

Ketika dirimu mengirimkan opini panjang mengenai keberagaman, tidak ada yang istimewa ketika kita membacanya dengan pikiran jernih. Namun ketika tulisan dibagikan 66 ribu,  ditanggapi 20 ribu  komentar dan 112 ribu mendapatkan reaksi, aku kemudian tersentak. Bukan tersentak dengan pikiranmu. Tapi tulisanmu kemudian menjadi viral.

Tiba-tiba dirimu kemudian menjadi bulan-bulanan dan kemudian menjadi diskusi panjang di pikiran kepala orang. Tiba-tiba orang kemudian panic dan sibuk mengklarifikasikan hingga membuat tulisan panjang. Tentu saja tidak lupa mengutipkan ayat-ayat untuk menegaskan standing membantahmu.

Tiba-tiba orang yang tidak pernah menulis opini kemudian menyediakan waktu untuk menuliskannya. Tiba-tiba kemudian pikiranmu bisa berbahaya sehingga harus dicounter dengan berapi-api.

Tiba-tiba akupun tersenyum. Bukan terhadap pikiranmu tapi mengapa semua orang kemudian berbaris harus turun tangan untuk “menanggapimu”.

Ananda Afi.

Ketika tulisanmu dipublish dan menjadi viral, akupun teringat cerita putriku yang sedang kuliah di kampus sebuah perguruan tinggi. Usianya hanya terpaut beberapa tahun diatasmu. Maukah engkau mendengarkan ceritaku ?

Ketika awal-awal masuk kuliah disaat teman-temannya mengambil liburan semester, dia mengambil kuliah semester pendek. Kuliah semester pendek berbarengan dengan bulan ramadhan.

Disebabkan karena dia perempuan, pada hari pertama hingga ketiga, siang hari tidak berpuasa dan tidak mengikuti taraweh. Namun hari keempat setelah “selesai urusan perempuan”, magribnya kemudian mengaji di kost. Teman-teman satu asrama heran. Kok putriku magrib-magrib mengaji. Padahal mereka menduga putriku bukan muslim. Yang membuat mereka kaget, putriku mengaji setelah sholat magrib.

Mereka bertanya. “Kamu Islam ?’. Putriku justru heran. “Memangnya kenapa ?”. “Lha memang setiap habis magrib saya mengaji kok. Sejak SD Kelas 2 khan saya selalu mengikuti pesantren kilat di Padang. Tempat datuk”. Ternyata teman-temannya  justru tidak bisa mengaji.

Waktu kemudian berjalan. Putriku hanya mengejar target menyelesaikan kuliah secepatnya. Selain biaya yang mahal di kota besar juga dia sadar adik-adiknya masih membutuhkan biaya.

Kalaupun mengikuti kegiatan organisasi, ya paling-paling organisasi kecil seperti perkumpulan jurusan ataupun perkumpulan daerah yang lebih banyak silaturahmi.

Pelan-pelan teman-teman yang dikenalnya kemudian menjauhnya. Mereka malah sibuk mengikuti kegiatan diluar kampus. Putriku kemudian menyadari, ada sesuatu yang keliru. Pertemanan yang semula tulus ditawarkan oleh putriku kemudian ditanggapi berbeda.

Keenganan putriku yang belum mau pakai jilbab menyebabkan mereka menuduh putriku “belum mendapatkan hidayah”. Entah beberapa kali, saya harus menenangkan via telephone agar tetap berbuat baik kepada siapapun walaupun mereka berbeda pandangan.

Saya dan istri saya kemudian juga menyampaikan kepada putriku tentang teman-teman sekolah kami yang berbeda agama namun tetap bersahabat  hingga sekarang.

Disela-sela waktu, kamipun sering memperkenalkan teman-teman sekolah dulu yang tetap bersahabat kepada putriku. Putrikupun tenang dan mulai percaya kepada sikap kami yang tetap menghargai persahabatan teman sekolah.

Entah berbarengan waktu ataupun kenyamanan berteman, akhirnya putriku justru banyak berteman dengan teman-teman dengan nasrani. Mereka kemudian menyelesaikan kuliah tepat waktu. Meninggalkan teman-teman satu angkatan yang menuduhnya “belum mendapatkan hidayah”.

Aku tetap mengingatkan kepada putriku agar tidak boleh mendendam kepada siapapun. Hati yang kotor akan memakan pikiran sehat. Tetap istiqomah dan tawaddu kepada siapapun.

Ananda Afi. Cerita tentang keberagaman, kebebasan beragama dan tidak bisa memaksa keyakinan kita kepada orang lain sudah lama menjadi perhatian kami-kami sejak kelahiranmu. Kami bergandengan tangan untuk menyelesaikan berbagai persoalan Ke-Indonesiaan, berdiskusi bersama bahkan sambil mengagumi dan sikap hormat atas keluhuran dan keteladanan manusia Indonesia tanpa memandang agama. Kami tetap mengucapkan Selamat Natal, Selamat Tahun baru, Nyepi, Waisak disaat mereka sedang bergembira. Kegembiraan merayakan keagamaan terus ditularkan agar manusia tetap bergembira menghadapi hidup.

Ananda Afi. Apabila sekat-sekat itu mampu kita tepiskan, kegembiraan berteman dengan siapapun merupakan anugrahi illahi diturunkan kepada manusia yang bersyukur. Kita tidak perlu khawatir tentang keyakinan orang lain dan takutnya tergerus keyakinan kita sendiri. Kita bergembira, bersenandung setiap hari tanpa harus sibuk membahas keyakinan yang tidak perlu sama.

Melihat tulisanmu yang telah engkau paparkan, ananda Afi telah mengalami kegembiraan yang selalu saya rasakan. Nikmati masa remajamu, masa mudamu tanpa harus menoleh kepada mereka yang takut akan perubahan. Nikmati hidupmu agar engkau bisa ceritakan kepada anak-anakmu kelak.

Abaikan kepada mereka yang takut dengan bayang-bayang sendiri. Takut di kegelapan yang justru akan sibuk berdiskusi tentang makna toket dan menghitung biji kancing  sambil menerawang. Tetaplah menulis dengna jernih. Waktu akan menjawab. Apakah pikiranmu tetap menghiasi zaman ataupun tenggelam bersamaannya masa.

Salam hangat dari Jambi