Ananda
Afi. Sengaja saya memanggilmu Ananda mengingat usiamu yang masih muda.
Disaat
kelahiranmu, saya tengah memimpin demonstrasi buruh menghentikan pabrik dari
perusahaan yang majikannya terkenal tidak pernah disentuh oleh siapapun.
Disaat
kelahiranmu, Sang The killing smile baru saja diturunkan paksa oleh mahasiswa
yang menduduki gedung parlemen setelah berkuasa 32 tahun. Suasana waktu itu
penuh harapan setelah tenggelam dalam hiruk pikuk politik dalam masa kelam
otoriter orde baru. Mimpi tentang Indonesia yang mengusung keadilan,
keterbukaan, pemerintahan yang adil dan kebebasan berfikir, berorganisasi yang
menjadi oase panjang dari perjalanan panjang Indonesia.
Ketika
dirimu mengirimkan opini panjang mengenai keberagaman, tidak ada yang istimewa
ketika kita membacanya dengan pikiran jernih. Namun ketika tulisan dibagikan 66
ribu, ditanggapi 20 ribu komentar dan 112 ribu mendapatkan reaksi, aku
kemudian tersentak. Bukan tersentak dengan pikiranmu. Tapi tulisanmu kemudian menjadi
viral.
Tiba-tiba
dirimu kemudian menjadi bulan-bulanan dan kemudian menjadi diskusi panjang di
pikiran kepala orang. Tiba-tiba orang kemudian panic dan sibuk
mengklarifikasikan hingga membuat tulisan panjang. Tentu saja tidak lupa
mengutipkan ayat-ayat untuk menegaskan standing membantahmu.
Tiba-tiba
orang yang tidak pernah menulis opini kemudian menyediakan waktu untuk
menuliskannya. Tiba-tiba kemudian pikiranmu bisa berbahaya sehingga harus
dicounter dengan berapi-api.
Tiba-tiba
akupun tersenyum. Bukan terhadap pikiranmu tapi mengapa semua orang kemudian
berbaris harus turun tangan untuk “menanggapimu”.
Ananda
Afi.
Ketika
tulisanmu dipublish dan menjadi viral, akupun teringat cerita putriku yang
sedang kuliah di kampus sebuah perguruan tinggi. Usianya hanya terpaut beberapa
tahun diatasmu. Maukah engkau mendengarkan ceritaku ?
Ketika
awal-awal masuk kuliah disaat teman-temannya mengambil liburan semester, dia
mengambil kuliah semester pendek. Kuliah semester pendek berbarengan dengan
bulan ramadhan.
Disebabkan
karena dia perempuan, pada hari pertama hingga ketiga, siang hari tidak
berpuasa dan tidak mengikuti taraweh. Namun hari keempat setelah “selesai
urusan perempuan”, magribnya kemudian mengaji di kost. Teman-teman satu asrama
heran. Kok putriku magrib-magrib mengaji. Padahal mereka menduga putriku bukan
muslim. Yang membuat mereka kaget, putriku mengaji setelah sholat magrib.
Mereka
bertanya. “Kamu Islam ?’. Putriku
justru heran. “Memangnya kenapa ?”. “Lha
memang setiap habis magrib saya mengaji kok. Sejak SD Kelas 2 khan saya selalu
mengikuti pesantren kilat di Padang. Tempat datuk”. Ternyata teman-temannya
justru tidak bisa mengaji.
Waktu
kemudian berjalan. Putriku hanya mengejar target menyelesaikan kuliah
secepatnya. Selain biaya yang mahal di kota besar juga dia sadar adik-adiknya
masih membutuhkan biaya.
Kalaupun
mengikuti kegiatan organisasi, ya paling-paling organisasi kecil seperti
perkumpulan jurusan ataupun perkumpulan daerah yang lebih banyak silaturahmi.
Pelan-pelan
teman-teman yang dikenalnya kemudian menjauhnya. Mereka malah sibuk mengikuti
kegiatan diluar kampus. Putriku kemudian menyadari, ada sesuatu yang keliru.
Pertemanan yang semula tulus ditawarkan oleh putriku kemudian ditanggapi
berbeda.
Keenganan
putriku yang belum mau pakai jilbab menyebabkan mereka menuduh putriku “belum
mendapatkan hidayah”. Entah beberapa kali, saya harus menenangkan via telephone
agar tetap berbuat baik kepada siapapun walaupun mereka berbeda pandangan.
Saya
dan istri saya kemudian juga menyampaikan kepada putriku tentang teman-teman
sekolah kami yang berbeda agama namun tetap bersahabat hingga sekarang.
Disela-sela
waktu, kamipun sering memperkenalkan teman-teman sekolah dulu yang tetap
bersahabat kepada putriku. Putrikupun tenang dan mulai percaya kepada sikap
kami yang tetap menghargai persahabatan teman sekolah.
Entah
berbarengan waktu ataupun kenyamanan berteman, akhirnya putriku justru banyak
berteman dengan teman-teman dengan nasrani. Mereka kemudian menyelesaikan
kuliah tepat waktu. Meninggalkan teman-teman satu angkatan yang menuduhnya
“belum mendapatkan hidayah”.
Aku
tetap mengingatkan kepada putriku agar tidak boleh mendendam kepada siapapun.
Hati yang kotor akan memakan pikiran sehat. Tetap istiqomah dan tawaddu kepada
siapapun.
Ananda
Afi. Cerita tentang keberagaman, kebebasan beragama dan tidak bisa memaksa
keyakinan kita kepada orang lain sudah lama menjadi perhatian kami-kami sejak
kelahiranmu. Kami bergandengan tangan untuk menyelesaikan berbagai persoalan
Ke-Indonesiaan, berdiskusi bersama bahkan sambil mengagumi dan sikap hormat
atas keluhuran dan keteladanan manusia Indonesia tanpa memandang agama. Kami
tetap mengucapkan Selamat Natal, Selamat Tahun baru, Nyepi, Waisak disaat
mereka sedang bergembira. Kegembiraan merayakan keagamaan terus ditularkan agar
manusia tetap bergembira menghadapi hidup.
Ananda
Afi. Apabila sekat-sekat itu mampu kita tepiskan, kegembiraan berteman dengan
siapapun merupakan anugrahi illahi diturunkan kepada manusia yang bersyukur.
Kita tidak perlu khawatir tentang keyakinan orang lain dan takutnya tergerus
keyakinan kita sendiri. Kita bergembira, bersenandung setiap hari tanpa harus
sibuk membahas keyakinan yang tidak perlu sama.
Melihat
tulisanmu yang telah engkau paparkan, ananda Afi telah mengalami kegembiraan
yang selalu saya rasakan. Nikmati masa remajamu, masa mudamu tanpa harus
menoleh kepada mereka yang takut akan perubahan. Nikmati hidupmu agar engkau
bisa ceritakan kepada anak-anakmu kelak.
Abaikan
kepada mereka yang takut dengan bayang-bayang sendiri. Takut di kegelapan yang
justru akan sibuk berdiskusi tentang makna toket dan menghitung biji
kancing sambil menerawang. Tetaplah
menulis dengna jernih. Waktu akan menjawab. Apakah pikiranmu tetap menghiasi
zaman ataupun tenggelam bersamaannya masa.
Salam
hangat dari Jambi