Membicarakan ikan dan gambut
tidak dapat dipisahkan. Di gambut, ikan khas gambut menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari.
Di berbagai tempat diceritakan
tentang kekayaan gambut sebagai penyimpan air yang menghasilkan ikan-ikan khas
gambut.
Di berbagai Desa baik yang
termasuk kedalam Marga Kumpeh Ilir maupun didalam Marga Kumpeh ulu disebutkan
tentang pengetahuan tentang ikan. Bahkan masyarakat tidak pernah membeli ikan
yang masih tersedia di sekitar dusun.
Namun sejak kedatangan berbagai
perusahaan sawit, kebakaran yang semakin massif, air sungai yang keruh
menyebabkan semula masyarakat menangkap ikan. Namun ikan-ikan kemudian mulai
sulit didapatkan. Ikan-ikan seperti
toman, baung sudah jarang didapatkan. Apalagi ikan Tapa. Bahkan ikan lais yang
semula kurang mendapatkan perhatian dari memancingpun sudah mulai susah
didapatkan. Ikan Toman (channidae),
ikan baung (Macrones
nemurus), ikan tapa (Wallago)
adalah ikan-ikan khas (biodiversity) gambut. Selain itu juga dikenal arwana silver (Schlerophages formosus), ridiangus (Balantiocheilos melanopterus), belida (Notopterus chitala), sepat batik (Cydochaicichthys aroplos), serandang (Channa pleurophthalma) dan tilan (Mastacembelus erythrotaenia)[1].
Masyarakat menduga, turunnya
ikan disebabkan perusahaan sawit yang beroperasi di belakang Dusun Pulau Tigo.
Padahal ikan selain bisa
dikonsumsi juga merupakan sebagai “penanda’ terhadap perubahan musim dari musim
hujan ke musim kemarau.
Ikan Toman dan Ikan Tapa
memberikan tanda semakin menaiknya air sungai Batanghari. Dengan terdapatnya
Ikan Toman dan Ikan Tapa, maka tahun musim tanam padi belum bisa dilakukan.
Biasanya di bulan Oktober – Mei. Hasil riset Walhi 2015 juga menunjukkan, musim
tanam petani di daerah Gambut dimulai April – Oktober.
Sedangkan Ikan seluang sebagai
penandai dimulainya musim kemarau. Namun praktis sejak 5 tahun terakhir, ikan
Toman, ikan Tapa semakin sulit didapatkan.
Selain disebabkan dimulainya
aktivitas perusahaan sawit yang membuang limbah ke Sungai Kumpeh, air keruh
dari Sungai Batanghari juga menyebabkan populasi ikan yang semakin menurun.
Bahkan Dinas Kelautan dan Perikanan Jambi sudah menyampaikan populasi ikan air
tawar terutama di rawa mencapai 50%.
Dalam laporan Fakultas
Peternakan Unja “Seksualitas, Nisbah Kelamin dan Hubungan Panjang Berat
(Rasbora Argyrotaenia) di Sungai Kumpeh[2]”,
ikan seluang banyak terdapat di Kumpeh. Namun dengan semakin keruhnya sungai
Batanghari, maka selain tekanan ekologis terhadap Ikan seluang, ikan seluang
sulit didapatkan walaupun di musim hujan atau Air Sungai Batanghari sedang
naik.
Bahkan ikan yang menjadi menu
makanan sehari-hari kemudian hilang dan sulit didapatkan. Bahkan 5 tahun
terakhir, ikan-ikan seperti ikan toman, ikan baung semakin sulit didapatkan.
Selain menghilangkan protein
yang terdapat di dalam ikan, kesulitan untuk melihat ikan-ikan juga menyebabkan
bergesernya tahun tanam masyarakat berupa padi di “peumoan”. Kegagalan membaca
alam kemudian menyebabkan 5 tahun terakhir kemudian menyebabkan kegagalan panen
(fuso) dan merugikan masyarakat.
Sehingga selain kebakaran yang
massif selama 17 tahun terakhir dan
diperparah sejak tahun 2010 maka ikan-ikan yang semula menjadi bagian dari
masyarakat juga disebabkan izin di lahan gambut. Gambut yang semula menjadi “rumah”
ikan dan tempat perlindungan yang tidak boleh dikelola kemudian hilang.
Kehancuran gambut baik dengan izin perusahaan dan kebakaran kemudian menjadi
hilangnya biodiversity.
Sehingga tidak heran kemudian
daerah gambut justru harus membeli ikan yang didatangkan dari kota Jambi.
Sebuah ironi di tengah hiruk
pikuk wacana gambut dalam pusaran lingkungan hidup sejak tahun 2010.
Nama-nama ikan juga dikenal
sebagai nama tempat. Seperti Sungai Baung di Kabupaten Batanghari, Sungai Toman
di Mendahara Ulu, Tanjung Jabung Barat.
Baca juga : Gambut dari pendekatan etnografi
Dimuat di Jambipos-online, 22 Mei 2017
http://www.jambipos-online.com/2017/05/ikan-dan-gambut.html