Babak
baru dan nasib Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memasuki laga pamungkas. Putusan
Hakim menjatuhkan pidana 2 tahun penjara. Langsung masuk penjara tanpa menunggu
upaya banding dan kasasi. Melengkapi karir sebagai Gubernur petahana yang gagal
kedua kalinya di Pilkada Jakarta.
Berbagai
tanggapan, analisis kemudian muncul. Tujuan “menghukum” Ahok sebagai penista
Agama tercapai secara hukum. Putusan Hakim haruslah benar (asas res judicata pro veritate habetur). Demikian irrah yang
dibunyikan “Demi keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Perdebatan
penerapan pasal-pasal didalam dakwaan telah diputuskan oleh Hakim. Disatu sisi
sebagai Negara penganut Negara hukum (rechtstaat), putusan haruslah dihormati
dan dibingkai dengan penghormatan sebagai kemandirian hakim. Namun disisi lain,
para pihak yang keberatan terhadap putusan hakim dapat mengajukan upaya hukum
biasa (banding dan kasasi) dan upaya hukum luar biasa (peninjauan
kembali/herzeining).
Didalam
proses keberatan dalam tahap upaya banding, keluarga Ahok kemudian mencabut
banding dan menerima keputusan hakim di tingkat pertama. Dengan demikian,
secara hukum, Ahok menerima putusan hakim dan mengakui perbuatannya. Dari laga
pamungkas inilah yang menarik perhatian saya.
Pertama.
Dari pendekatan formil, penerapan pasal-pasal didalam dakwaan masih menimbulkan
penasaran saya. Apakah unsur “men rea” atau “memang diniatkan” Ahok untuk menista
agama ? Atau memang pasal-pasal yang didakwaan, unsur men rea tidak perlu
dibuktikan lagi.
Berbagai
sumber (baik putusan) maupun pemberitaan tidak memberikan ruang terhadap
pembahasan.
Padahal
ini menjadi bagian penting sebagaimana tujuan putusan hakim. Walaupun putusan
hakim kemudian mengikat kepada para pihak didalam persidangan namun putusan
hakim harus tetap memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat.
Rasa
penasaran ini kemudian menjadi laga pamungkas ketika Ahok kemudian tidak
meneruskan banding sehingga tidak ada kesempatan bagi saya untuk melihat
pandangan dari Mahkamah Agung sebagai muara dan benteng terakhir dari pencari
keadilan.
Kedua.
Mengapa ketika putusan diucapkan, seketika Ahok dan Tim hukumnya kemudian
menyatakan banding namun kemudian tidak diproses lagi oleh Ahok sendiri.
Argumentasi
untuk menghormati bulan ramadhan sehingga tidak ada lagi hiruk pikuk demonstrasi
di Jakarta kemudian memupuskan “rasa penasaran” saya.
Pertanyaan
saya kemudian tenggelam dengan “respek” dari pemberitaan terhadap sikap Ahok yang menerima putusan
hakim.
Ketiga.
Untuk melupakan rasa penasaran saya tentang pertanyaan saya, saya kemudian
menelusuri surat terbuka Ahok yang dikirimi dari tahanan.
Secara
tersirat, Ahok tetap memahami dinamika persoalan kebangsaan yang memperkeruh
keadaan. Namun Ahok tetap meletakkan persoalan hukum sebagai catatan penting
didalam proses penegakkan hukum.
Dari
catatan itu kemudian Ahok tetap membingkai rasa penasaran saya. Namun Ahok
kemudian “menutup rasa penasaran saya” agar meletakkan kebangsaan, mendinginkan
suasana, menghormati bulan Ramadhan daripada persoalan hukum diri Ahok.
Catatan
kecil kemudian memberikan arti kepada saya sendiri. Ada tugas kebangsaan yang
mengorbankan diri sendiri dibandingkan daripada mengobarkan perlawanan terhadap
proses hukum.