23 Mei 2017

opini musri nauli : PENASARAN DAN RESPEK





Babak baru dan nasib Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memasuki laga pamungkas. Putusan Hakim menjatuhkan pidana 2 tahun penjara. Langsung masuk penjara tanpa menunggu upaya banding dan kasasi. Melengkapi karir sebagai Gubernur petahana yang gagal kedua kalinya di Pilkada Jakarta.

Berbagai tanggapan, analisis kemudian muncul. Tujuan “menghukum” Ahok sebagai penista Agama tercapai secara hukum. Putusan Hakim haruslah benar (asas res judicata pro veritate habetur). Demikian irrah yang dibunyikan “Demi keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Perdebatan penerapan pasal-pasal didalam dakwaan telah diputuskan oleh Hakim. Disatu sisi sebagai Negara penganut Negara hukum (rechtstaat), putusan haruslah dihormati dan dibingkai dengan penghormatan sebagai kemandirian hakim. Namun disisi lain, para pihak yang keberatan terhadap putusan hakim dapat mengajukan upaya hukum biasa (banding dan kasasi) dan upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali/herzeining).

Didalam proses keberatan dalam tahap upaya banding, keluarga Ahok kemudian mencabut banding dan menerima keputusan hakim di tingkat pertama. Dengan demikian, secara hukum, Ahok menerima putusan hakim dan mengakui perbuatannya. Dari laga pamungkas inilah yang menarik perhatian saya.

Pertama. Dari pendekatan formil, penerapan pasal-pasal didalam dakwaan masih menimbulkan penasaran saya. Apakah unsur “men rea” atau “memang diniatkan” Ahok untuk menista agama ? Atau memang pasal-pasal yang didakwaan, unsur men rea tidak perlu dibuktikan lagi.

Berbagai sumber (baik putusan) maupun pemberitaan tidak memberikan ruang terhadap pembahasan.

Padahal ini menjadi bagian penting sebagaimana tujuan putusan hakim. Walaupun putusan hakim kemudian mengikat kepada para pihak didalam persidangan namun putusan hakim harus tetap memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat.

Rasa penasaran ini kemudian menjadi laga pamungkas ketika Ahok kemudian tidak meneruskan banding sehingga tidak ada kesempatan bagi saya untuk melihat pandangan dari Mahkamah Agung sebagai muara dan benteng terakhir dari pencari keadilan.

Kedua. Mengapa ketika putusan diucapkan, seketika Ahok dan Tim hukumnya kemudian menyatakan banding namun kemudian tidak diproses lagi oleh Ahok sendiri.

Argumentasi untuk menghormati bulan ramadhan sehingga tidak ada lagi hiruk pikuk demonstrasi di Jakarta kemudian memupuskan “rasa penasaran” saya.

Pertanyaan saya kemudian tenggelam dengan “respek” dari pemberitaan  terhadap sikap Ahok yang menerima putusan hakim.

Ketiga. Untuk melupakan rasa penasaran saya tentang pertanyaan saya, saya kemudian menelusuri surat terbuka Ahok yang dikirimi dari tahanan.

Secara tersirat, Ahok tetap memahami dinamika persoalan kebangsaan yang memperkeruh keadaan. Namun Ahok tetap meletakkan persoalan hukum sebagai catatan penting didalam proses penegakkan hukum.

Dari catatan itu kemudian Ahok tetap membingkai rasa penasaran saya. Namun Ahok kemudian “menutup rasa penasaran saya” agar meletakkan kebangsaan, mendinginkan suasana, menghormati bulan Ramadhan daripada persoalan hukum diri Ahok.

Catatan kecil kemudian memberikan arti kepada saya sendiri. Ada tugas kebangsaan yang mengorbankan diri sendiri dibandingkan daripada mengobarkan perlawanan terhadap proses hukum.