11 September 2017

opini musri nauli : 11 September 1714


Hari ini tanggal 11 September tigaratus tiga tahun lalu, peristiwa heroic tengah terjadi. Barbara mencatat laporan dari tiga penduduk Jambi yang melaporkan ancaman dari kapal Perang Johor di Sungai Batanghari.


Kerajaan Jambi yang menyerbu “Johor” adalah peristiwa penting yang tidak bisa dianggap sepele dari kajian sejarah. Arif Rahim[1] dan dan Erdianto memberikan porsi yang cukup panjang telah peristiwa ini[2].  

Perang Jambi – Johor tidak bisa dilepaskan dari “perebutan pengaruh” di Selat Malaka sebagai “jalur penting (jalur sutra)” pada abad XV.

Belanda pun pernah membantu Jambi pada saat terjadi konflik dengan Johor. Konflik yang berlangsung sporadis dari tahun 1666 sampai 1679 berhasil mengokohkan kedudukan Kesultanan Jambi atas Johor. Belanda pun pernah membantu Jambi (Sultan ’Abd al-Muhyi berk. 1665-1690), pada saat terjadi konflik dengan Johor. Konflik yang berlangsung sporadis dari tahun 1666 sampai 1679 berhasil mengokohkan kedudukan Kesultanan Jambi atas Johor[3]. Tahun 1673, berhasil dimenangkan oleh Jambi. Dalam perang itu Jambi berhasil membawa 3500 tawanan serta harta rampasan yang banyak.

Namun dalam perang yang terjadi enam tahun kemudian, pihak Jambi menderita kekalahan sehingga terpaksa membayar 3000 rijkdalders uang tunai, menyerahkan 3 kati emas dan dua pucuk meriam logam[4].

Akibat kekalahannya dengan Johor, Jambi kehilangan posisinya sebagai pelabuhan lada utama di pesisir timur Sumatera[5]. Terjadinya perpecahan internal semakin memperlemah kerajaan. Pada tahun 1688 kesultanan Jambi terpecah menjadi kesultanan hulu dan hilir. Selain itu, Kerajaan Johor melakukan strukturisasi pemerintahan dan social di Jambi[6].

Padahal dua abad yang lalu (abad ke 14), Jambi menjadi daerah taklukan Kesultanan Samudra Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam[7].
Bahkan Kerajaan Majapahit yang menyerbu dan “menundukkan[8]” Kerajaan-kerajaan di Sumatera, sepulang menuju Jawa kemudian mengambil harta pampasan perang di Palembang dan Jambi[9]. Jambi juga pernah menjadi dibawah Mataram[10].

Kejayaan Kerajaan Jambi telah dimulai ketika masuknya Islam sebagai bagian tidak terpisahkan dari kemajuan Kerajaan Islam[11] dan telah dituliskan didalam Naskah “Undang-undang Piagam Pencacahan Jambi dan “Ini Sejarah Kerajaan Jambi dari Abad ke 700 Hijrah[12]. Kisah Ahmad Barus II terdampar di Pulau Berhala tempat Putri Selaras Pinang Masak berkuasa masih menjadi “pengetahuan kolektif” yang terus dirawat oleh rakyat Jambi[13].

Sehingga ketika Jambi hendak menguasai selat Malaka maka Jambi mempunyai kekuatan laut yang dapat menyerang Johor.

Perang Jambi – Johor tidak dapat dipisahkan dari pergulatan Jambi – Palembang, Jambi – Belanda bahkan melibatkan kekuatan dari Turki. Berbagai sejarah perkembangan tidak dapat juga dilepaskan dari tarik menarik baik ingin menguasai perdagangan di jalur sutra juga dukungan dan “berebut pengaruh” Jambi – Palembang - Johor[14]. Perebutan pengaruh, perkawinan, intrik politik, tarik menarik kepentingan perdagangan membuat Jambi – Johor – Palembang saling mengalahkan. Kemenangan disatu sisi menggembirakan bagi Jambi mempunyai konsekwensi terhadap “monopoli” bagi Belanda.

“Keangkuhan” Belanda ingin menguasai monopoli justru membakar kemarahan rakyat Jambi. VOC ingin memonopoli perdagangan membuat saudagar Jambi yang biasa berdagang bebas dengan bangsa lain, membuat loji kemudian ditutup 1623. Saudagar Jambi tidak mau menyerahkan hasil bumi kepada VOC. Kantor dagang kemudian dibuka kembali tahun 1636 dengan kedatangan Hendrik van Gent. Mereka kemudian membawa kekuatan lebih besar[15].

Setelah Sultan Abdul Kahar digantikan oleh Pangeran Depati Anom (Sultan Agung Abdul Jalil), VOC mendapatkan izin di Muara Kumpeh. Dengan perjanjian monopolgi perdagangan lada, VOC mulai masuk ke Pemerintahan Sultan Jambi.

Pengganti Sultan Agung Jalil bernama Sultan Seri Ingologo (Raden Penulis), terjadi peperangan dengan Kerajaan Johor. VOC kemudian menawarkan jasa. Berkat jasa VOC, Jambi kemudian menang. Namun sebagian wilayah Jambi diserahkan kepada VOC.

Tideman didalam bukunya “Djambi” tahun 1938 didasarkan M. M Menes didalam catatan “Stamboom van he Djambische vorsten Geslach”, menerangkan pada Masa Sultan Sri Ingalogo (1665-1690) terjadi peperangan besar dengan Kerajaan Johor. Peperangan ini kemudian mengakibatkan Belanda terlibat. Didalam perjanjian “Corpus diplomatic Nederlandsch Indicum Derde Deel (1676-1691), Belanda memaksa Kerajaan Jambi agar Belanda monopoli pembelian lada dan memaksa penjualan kain dan opium.

Namun rakyat kemudian marah dan pos VOC di Muara Kumpeh diserbu dan dibakar. Sultan Seri Ingologo dituduh terlibat pembunuhan Sijbrant Swart (Kepala Kantor Dagang VOC). Sultan ditangkap dan dibuang ke Pulau Banda (Maluku).

Kekuatan dan perlawanan dari rakyat Jambi membuat Belanda tidak mampu mengontrol effektif di Jambi. Setelah Raja terakhir Jambi kemudian ditembak tahun 27 April 1904[16], maka Jambi ditetapkan sebagai Keresidenan dan masuk ke dalam wilayah Nederlandsch Indie. Residen Jambi yang pertama O.L Helfrich yang diangkat berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal Belanda No. 20 Tanggal 4 Mei 1906[17]




[1] Secara rinci diuraikan panjang lebar oleh Arif Rahim didalam Tulisannya “Perang Jambi – Johor (1667-1679) Sebagai Sejarah Sosial. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.15 No.3 Tahun 2015
[2] Erdianto, Perkembangan Kelembagaan Dari negeri dan Marga Menjadi Desa di Kecamatan Tungkal ulu, Kabupaten Tanjab Barat Propinsi, Jurnal Unri, Pekanbaru, No 2, 2011
[3] Barbara Watson Andaya dan Yoneo Ishii, Religious Development in Southeast Asia, c 1500-1800, Cambridge University Press, Hal. 99.
[4] Abdullah Zakaria bin Gazali. “ Hubungan Jambi – Johor Abad ke 17. Makalah. Yayasan Warisan Johor Malaysia. 2010
[5] Elsbeth Locher Scholten,. Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial. Banana-KITLV, Jakarta, 2013, Hal. 44 - 45
[6] Rajo Bujang dkk, Dinamika Adat Masyarakat Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Lembaga Adat Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kuala Tungkal, 2003, hal. 21-22.
[7] Ibrahim Alfian, Perang Di jalan Allah : Perang Aceh 1873-1912, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987, Hal 139
[8] Dikenal sebagai “Pamalayu”, Ekspedisi Pamalayu armada perang Kerajaan Majapahit di bawah komando Mahapatih Gadjah Mada memulai aksinya pada 1350. Majapahit kemudian membagi tiga bagian. Dharmasraya, Jambi dan Palembang. Lihat Slamet Muljana, Kuntala, Sriwijaya, dan Suwarnabhumi. Yayasan Idayu, Jakarta, 1981, Hal. 186
[9] Jones, Russell Jones, Hikayat Raja Pasai, Penerbit Yayasan Karyawan dan Penerbit Fajar Baru, Kuala Lumpur, 1999, Hal. 57 - 65
[10] H.J. De Graaf, Puncak Kejayaan Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi sultan Agung, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1990, Hal 286-288
[11] Diperkirakan tahun 1450 masehi. Lindayanti dkk, Jambi dalam Sejarah 1500-1942, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jambi, Jambi, 2013, Hal. 129. Kedatangan Islam pada abad XV dikenal dalam cerita rakyat seperti Datuk Paduko Berhala, Putri Selaras Pinang Masak, Orang Kayu Hitam, Orang Kayu Pingai, Orang Kayo Gemuk dan Orang Kayo Pedataran.
[12] Undang-undang Piagam Pencacahan Jambi, koleksi Raden A. Rahman, dan ditransliterasi oleh Djunaidi T. Noor, hlm. 1.
[13] Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia dari Abad XIII sampai XVIII, Menara Kudus, Kudus, 2000, hal  19.
[14] Barbara Watson Andaya dan Yoneo Ishii, Religious Development in Southeast Asia, c 1500-1800, Cambridge University Press, Hal. 99.
[15] Endiat Djaenuderadjat dkk, Atlas pelabuhan-pelabuhan bersejarah di Indonesia”, Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 2013.
[16] Nasehat-nasehat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, hal. 2197
[17] Sejarah sosial Jambi ; Jambi sebagai kota dagang, Depdikbud, Jakarta, 1984