Hari ini
tanggal 11 September tigaratus tiga tahun lalu, peristiwa heroic tengah
terjadi. Barbara mencatat laporan dari tiga penduduk Jambi yang melaporkan
ancaman dari kapal Perang Johor di Sungai Batanghari.
Kerajaan Jambi
yang menyerbu “Johor” adalah peristiwa penting yang tidak bisa dianggap sepele
dari kajian sejarah. Arif Rahim[1]
dan dan Erdianto memberikan porsi yang cukup panjang telah peristiwa ini[2].
Perang Jambi –
Johor tidak bisa dilepaskan dari “perebutan pengaruh” di Selat Malaka sebagai
“jalur penting (jalur sutra)” pada abad XV.
Belanda pun pernah membantu Jambi pada saat terjadi konflik dengan
Johor. Konflik yang berlangsung sporadis dari tahun 1666 sampai 1679 berhasil
mengokohkan kedudukan Kesultanan Jambi atas Johor. Belanda pun pernah membantu
Jambi (Sultan ’Abd al-Muhyi berk. 1665-1690), pada saat terjadi konflik dengan
Johor. Konflik yang berlangsung sporadis dari tahun 1666 sampai 1679 berhasil
mengokohkan kedudukan Kesultanan Jambi atas Johor[3]. Tahun 1673,
berhasil dimenangkan oleh Jambi. Dalam perang itu Jambi berhasil membawa 3500
tawanan serta harta rampasan yang banyak.
Namun dalam
perang yang terjadi enam tahun kemudian, pihak Jambi menderita kekalahan
sehingga terpaksa membayar 3000 rijkdalders uang tunai,
menyerahkan 3 kati emas dan dua pucuk meriam logam[4].
Akibat
kekalahannya dengan Johor, Jambi kehilangan posisinya sebagai pelabuhan lada
utama di pesisir timur Sumatera[5].
Terjadinya perpecahan internal semakin memperlemah kerajaan. Pada tahun 1688
kesultanan Jambi terpecah menjadi kesultanan hulu dan hilir. Selain itu,
Kerajaan Johor melakukan strukturisasi pemerintahan dan social di Jambi[6].
Padahal dua abad
yang lalu (abad ke 14), Jambi menjadi daerah taklukan Kesultanan Samudra Pasai
dan Kerajaan Aceh Darussalam[7].
Bahkan Kerajaan
Majapahit yang menyerbu dan “menundukkan[8]”
Kerajaan-kerajaan di Sumatera, sepulang menuju Jawa kemudian mengambil harta
pampasan perang di Palembang dan Jambi[9].
Jambi juga pernah menjadi dibawah Mataram[10].
Kejayaan Kerajaan
Jambi telah dimulai ketika masuknya Islam sebagai bagian tidak terpisahkan dari
kemajuan Kerajaan Islam[11]
dan telah dituliskan didalam Naskah “Undang-undang Piagam Pencacahan Jambi dan
“Ini Sejarah Kerajaan Jambi dari Abad ke 700 Hijrah[12].
Kisah Ahmad Barus II terdampar di Pulau Berhala tempat Putri Selaras Pinang
Masak berkuasa masih menjadi “pengetahuan kolektif” yang terus dirawat oleh
rakyat Jambi[13].
Sehingga ketika
Jambi hendak menguasai selat Malaka maka Jambi mempunyai kekuatan laut yang
dapat menyerang Johor.
Perang Jambi –
Johor tidak dapat dipisahkan dari pergulatan Jambi – Palembang, Jambi – Belanda
bahkan melibatkan kekuatan dari Turki. Berbagai sejarah perkembangan tidak
dapat juga dilepaskan dari tarik menarik baik ingin menguasai perdagangan di
jalur sutra juga dukungan dan “berebut pengaruh” Jambi – Palembang - Johor[14].
Perebutan pengaruh, perkawinan, intrik politik, tarik menarik kepentingan
perdagangan membuat Jambi – Johor – Palembang saling mengalahkan. Kemenangan
disatu sisi menggembirakan bagi Jambi mempunyai konsekwensi terhadap “monopoli”
bagi Belanda.
“Keangkuhan”
Belanda ingin menguasai monopoli justru membakar kemarahan rakyat Jambi. VOC ingin memonopoli perdagangan membuat
saudagar Jambi yang biasa berdagang bebas dengan bangsa lain, membuat loji
kemudian ditutup 1623. Saudagar Jambi tidak mau menyerahkan hasil bumi kepada
VOC. Kantor dagang kemudian dibuka kembali tahun 1636 dengan kedatangan Hendrik
van Gent. Mereka kemudian membawa kekuatan lebih besar[15].
Setelah Sultan Abdul Kahar digantikan oleh
Pangeran Depati Anom (Sultan Agung Abdul Jalil), VOC mendapatkan izin di Muara
Kumpeh. Dengan perjanjian monopolgi perdagangan lada, VOC mulai masuk ke
Pemerintahan Sultan Jambi.
Pengganti Sultan Agung Jalil bernama Sultan
Seri Ingologo (Raden Penulis), terjadi peperangan dengan Kerajaan Johor. VOC
kemudian menawarkan jasa. Berkat jasa VOC, Jambi kemudian menang. Namun
sebagian wilayah Jambi diserahkan kepada VOC.
Tideman didalam bukunya “Djambi”
tahun 1938 didasarkan M. M Menes didalam catatan “Stamboom van he Djambische
vorsten Geslach”, menerangkan pada Masa Sultan Sri Ingalogo (1665-1690) terjadi peperangan besar dengan
Kerajaan Johor. Peperangan ini kemudian mengakibatkan Belanda terlibat. Didalam
perjanjian “Corpus diplomatic Nederlandsch Indicum Derde Deel (1676-1691),
Belanda memaksa Kerajaan Jambi agar Belanda monopoli pembelian lada dan memaksa
penjualan kain dan opium.
Namun rakyat kemudian marah dan pos VOC di
Muara Kumpeh diserbu dan dibakar. Sultan Seri Ingologo dituduh terlibat
pembunuhan Sijbrant Swart (Kepala Kantor
Dagang VOC). Sultan ditangkap dan dibuang ke Pulau Banda (Maluku).
Kekuatan dan perlawanan dari rakyat Jambi
membuat Belanda tidak mampu mengontrol effektif di Jambi. Setelah Raja terakhir
Jambi kemudian ditembak tahun 27 April 1904[16],
maka Jambi
ditetapkan sebagai Keresidenan dan masuk ke dalam wilayah Nederlandsch Indie. Residen Jambi yang pertama O.L Helfrich yang diangkat
berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal Belanda No. 20 Tanggal 4 Mei 1906[17]
[1] Secara
rinci diuraikan panjang lebar oleh Arif Rahim didalam Tulisannya “Perang Jambi
– Johor (1667-1679) Sebagai Sejarah Sosial. Jurnal
Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.15 No.3 Tahun 2015
[2] Erdianto, Perkembangan
Kelembagaan Dari negeri dan Marga Menjadi Desa di Kecamatan Tungkal ulu,
Kabupaten Tanjab Barat Propinsi, Jurnal Unri, Pekanbaru, No 2, 2011
[3] Barbara Watson Andaya dan Yoneo Ishii, Religious
Development in Southeast Asia, c 1500-1800, Cambridge University Press, Hal.
99.
[4]
Abdullah Zakaria bin Gazali. “ Hubungan Jambi – Johor Abad ke 17. Makalah. Yayasan Warisan Johor Malaysia. 2010
[5]
Elsbeth Locher Scholten,. Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial. Banana-KITLV,
Jakarta, 2013, Hal. 44 - 45
[6] Rajo Bujang dkk, Dinamika Adat Masyarakat
Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Lembaga Adat Kabupaten Tanjung Jabung
Barat, Kuala Tungkal, 2003, hal. 21-22.
[7]
Ibrahim Alfian, Perang Di jalan
Allah : Perang Aceh 1873-1912, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987, Hal
139
[8]
Dikenal sebagai “Pamalayu”, Ekspedisi
Pamalayu armada perang Kerajaan Majapahit di bawah komando Mahapatih Gadjah
Mada memulai aksinya pada 1350. Majapahit kemudian membagi tiga bagian.
Dharmasraya, Jambi dan Palembang. Lihat Slamet
Muljana, Kuntala, Sriwijaya, dan Suwarnabhumi. Yayasan Idayu, Jakarta, 1981, Hal. 186
[9] Jones, Russell Jones, Hikayat Raja Pasai,
Penerbit Yayasan Karyawan dan Penerbit Fajar Baru, Kuala Lumpur, 1999, Hal. 57
- 65
[10] H.J. De Graaf, Puncak Kejayaan Kekuasaan Mataram:
Politik Ekspansi sultan Agung, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1990, Hal
286-288
[11]
Diperkirakan tahun 1450 masehi. Lindayanti dkk, Jambi dalam Sejarah 1500-1942, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Propinsi Jambi, Jambi, 2013, Hal. 129. Kedatangan Islam pada abad XV dikenal
dalam cerita rakyat seperti Datuk Paduko Berhala, Putri Selaras Pinang Masak,
Orang Kayu Hitam, Orang Kayu Pingai, Orang Kayo Gemuk dan Orang Kayo Pedataran.
[12] Undang-undang Piagam Pencacahan Jambi, koleksi
Raden A. Rahman, dan ditransliterasi oleh Djunaidi T. Noor, hlm. 1.
[13] Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan
Kota-Kota Muslim di Indonesia dari Abad XIII sampai XVIII, Menara Kudus, Kudus, 2000, hal 19.
[14] Barbara Watson Andaya dan Yoneo Ishii, Religious
Development in Southeast Asia, c 1500-1800, Cambridge University Press, Hal.
99.
[15]
Endiat Djaenuderadjat dkk, Atlas pelabuhan-pelabuhan bersejarah di Indonesia”, Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat
Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 2013.
[16] Nasehat-nasehat C. Snouck Hurgronje
Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, hal. 2197
[17] Sejarah sosial Jambi ; Jambi sebagai kota dagang,
Depdikbud, Jakarta, 1984