ETIKA DAN HUKUM
JURNALISTIK[1]
Musri Nauli[2]
Dalam
membicarakan etika dan hokum di dunia jurnalistik maka kita harus merujuk
kepada berbagai peraturan perundang-undangan, perangkat peraturan organisasi,
Kode Etik Profesi dan nilai-nilai etika di tengah masyarakat.
Melihat
rumusan yang begitu panjang, maka bahan yang saya presentasikan bukan
semata-mata mendasarkan kepada aturan main di dunia jurnalistik maupun di dunia
maya. Tapi juga merujuk kepada nilai-nilai kepantasan atau kepatutan di daerah
tertentu. Dari ranah inilah saya kemudian membuat ramuan yang mudah diaplikasi
sehingga dapat menentukan mengukur “nilai” etika dalam dunia jurnalistik.
Pertama.
Kejahatan tindak pidana pers tersebar didalam KUHP. Lihat pasal 310 – Pasal 321
KUHP didalam Bab Penghinaan, Pasal 483 – Pasal 485 KUHP didalam Bab Kejahatan
Dengan Cetakan, Pasal 134, Pasal 136 dan Pasal 137 didalam Kejahatan terhadap
negara (Haatzakai artikelen), Pasal 142 – Pasal 145 KUHP didalam Kejahatan
terhadap negara sahabat dan kepala negara Sahabat, Pasal 156, Pasal 156a, Pasal 157, Pasal
160, Pasal 162, Pasal 163 KUHP, Pasal 112 dan 113 tentang Membocorkan Rahasia
Negara, Pasal 322 tentang Membuka Rahasia Jabatan/ Profesi, Pasal 282, Pasal
283, Pasal 533, Pasal 534, Pasal 535 KUHP. Sedangkan Diluar KUHP dapat dilihat didalam Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang No. 11
Tahun 2008 (Informasi dan Transaksi Elektronik) tentang Kejahatan Atas
Ketertiban Umum[3].
Dengan
melihat begitu banyak pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana pers,
maka sudah dipastikan apabila jurnalis tidak hati-hati maka akan mudah
mengalami proses hokum yang justru akan menghabiskan energy sebelum memaparkan
informasi public yang dibutuhkan rakyat.
Kedua.
Pengaturan tindak pidana didalam UU No. 40 Tahun 1999 (UU Pers) justru terhadap
pengaturan agar jurnalis dapat menjalankan tugasnya. Bukan melindungi terhadap
diri jurnalis.
Lihatlah
rumusan Pasal
18 ayat (1) UU Pers “Setiap orang yang
secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan
yang berakibat menghambat atau menghalangi
pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00
(Lima ratus juta rupiah).
Ayat (2)
“Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5
ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). Sedangkan ayat (3) “
Perusahaan pers yang
melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana
dengan pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (Seratus juta rupiah).
Dengan
demikian maka UU Pers tidak pernah menghapuskan berbagai pasal-pasal didalam
KUHP yang mengatur tentang tindak pidana pers.
Sehingga
tidak salah kemudian saya memberikan perumpamaan sebagai “jaring laba-laba”.
Begitu banyak perangkap yang mudah akan menjadikan jurnalis sebagai ancaman
mengalami proses hokum.
Belum
lagi berita yang harus tayang berkejaran waktu (deadline) namun terjebak dengan
“verifikasi berita” yang tidak terkejar dengan deadline.
Tentu
saja tanpa harus mengurangi semangat berkejaran waktu mengejar berita “hot’,
diperlukan sikap hati-hati, menggunakan berbagai verifikasi “check and recheck”,
“crosscheck”, recheck”. Sebuah upaya hati-hati dan memerlukan verifikasi yang
ketat akan memudahkan pembuktian di persidangan. Berita “layak tayang” dan
tidak ada unsur “niat jahat (means rea) dari jurnalis. Dan bobot yang
dihasilkan inilah yang kemudian bisa menempatkan berita yang layak dengan
berita bohong (hoax).
Maka
sebelum memulai menulis berita maka harus dipastikan tahap-tahap yang dilakukan
agar sang jurnalis dapat menghindarkan dari proses hokum.
Pertama.
Pastikan berita yang dituliskan dari sumber resmi. Pembuatan berita dari sumber
yang kurang kredible harus dihindarkan. Apalagi bermaksud untuk mengejar tayang
berita yang hot.
Kedua.
Pastikan sang sumber dapat mempertanggungjawabkan beritanya. Penyampaian
sepenggal-penggal justru akan membuktikan kesalahan jurnalis didalam mematuhi
kaedah etik jurnalistik. Dan dengan terpenuhinya unsur “ketidakhati-hatian”
akan membuka peluang unsur “niat jahat (means rea) dari jurnalis.
Ketiga.
Pastikan berita yang disampaikan tidak menimbulkan gejolak social, politik dan hokum
di tengah masyarakat, memperuncing keadaan, menimbulkan kehebohan yang justru
akan menimbulkan kehebohan. Selain akan menyulitkan jurnalis menjalankan
tugasnya justru akan mengalami proses panjang dimuka persidangan.
Keempat.
Untuk memudahkan memahami sebuah berita, pahami struktur social, keadaan social
dari tempat kejadian terjadi. Dengan memahami keadaan akan memudahkan pembuatan
berita yang tidak berakibat hokum.
Kelima.
Sebelum menuliskan berita, pahami tujuan berita dituliskan. Apakah sekedar
memuat berita (news) semata atau memang ada kewajiban dari public untuk
mendapatkan informasi yang dibutuhkan oleh public. Apabila keadaan ini menjadi
kewajiban maka berbagai tuduhan miring dan persoalan hokum dapat dihindarkan.
Keenam.
Tarik nafas dulu. Bayangkan bagaimana suasana nyata apabila kita menghina
ataupun membuat orang lain malu. Keadaan sehari-hari itulah yang menjadi
pegangan didalam membuat berita di dunia maya. Dengan memahami dasar-dasar
inilah maka berita dimuat dapat dipertanggungjawabkan.
Baca : UU Pers