17 Desember 2017

opini musri nauli : Etika dan Hukum Jurnalistik




ETIKA DAN HUKUM JURNALISTIK[1]
Musri Nauli[2]

Dalam membicarakan etika dan hokum di dunia jurnalistik maka kita harus merujuk kepada berbagai peraturan perundang-undangan, perangkat peraturan organisasi, Kode Etik Profesi dan nilai-nilai etika di tengah masyarakat.

Melihat rumusan yang begitu panjang, maka bahan yang saya presentasikan bukan semata-mata mendasarkan kepada aturan main di dunia jurnalistik maupun di dunia maya. Tapi juga merujuk kepada nilai-nilai kepantasan atau kepatutan di daerah tertentu. Dari ranah inilah saya kemudian membuat ramuan yang mudah diaplikasi sehingga dapat menentukan mengukur “nilai” etika dalam dunia jurnalistik.

Pertama. Kejahatan tindak pidana pers tersebar didalam KUHP. Lihat pasal 310 – Pasal 321 KUHP didalam Bab Penghinaan, Pasal 483 – Pasal 485 KUHP didalam Bab Kejahatan Dengan Cetakan, Pasal 134, Pasal 136 dan Pasal 137 didalam Kejahatan terhadap negara (Haatzakai artikelen), Pasal 142 – Pasal 145 KUHP didalam Kejahatan terhadap negara sahabat dan kepala negara Sahabat, Pasal 156, Pasal 156a, Pasal 157, Pasal 160, Pasal 162, Pasal 163 KUHP, Pasal 112 dan 113 tentang Membocorkan Rahasia Negara, Pasal 322 tentang Membuka Rahasia Jabatan/ Profesi, Pasal 282, Pasal 283, Pasal 533, Pasal 534, Pasal 535 KUHP. Sedangkan Diluar KUHP dapat dilihat didalam Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 (Informasi dan Transaksi Elektronik) tentang Kejahatan Atas Ketertiban Umum[3].

Dengan melihat begitu banyak pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana pers, maka sudah dipastikan apabila jurnalis tidak hati-hati maka akan mudah mengalami proses hokum yang justru akan menghabiskan energy sebelum memaparkan informasi public yang dibutuhkan rakyat.

Kedua. Pengaturan tindak pidana didalam UU No. 40 Tahun 1999 (UU Pers) justru terhadap pengaturan agar jurnalis dapat menjalankan tugasnya. Bukan melindungi terhadap diri jurnalis.

Lihatlah rumusan Pasal 18 ayat (1) UU Pers “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). 
Ayat (2) “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). Sedangkan ayat (3) “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah).

Dengan demikian maka UU Pers tidak pernah menghapuskan berbagai pasal-pasal didalam KUHP yang mengatur tentang tindak pidana pers.

Sehingga tidak salah kemudian saya memberikan perumpamaan sebagai “jaring laba-laba”. Begitu banyak perangkap yang mudah akan menjadikan jurnalis sebagai ancaman mengalami proses hokum.

Belum lagi berita yang harus tayang berkejaran waktu (deadline) namun terjebak dengan “verifikasi berita” yang tidak terkejar dengan deadline.

Tentu saja tanpa harus mengurangi semangat berkejaran waktu mengejar berita “hot’, diperlukan sikap hati-hati, menggunakan berbagai verifikasi “check and recheck”, “crosscheck”, recheck”. Sebuah upaya hati-hati dan memerlukan verifikasi yang ketat akan memudahkan pembuktian di persidangan. Berita “layak tayang” dan tidak ada unsur “niat jahat (means rea) dari jurnalis. Dan bobot yang dihasilkan inilah yang kemudian bisa menempatkan berita yang layak dengan berita bohong (hoax).

Maka sebelum memulai menulis berita maka harus dipastikan tahap-tahap yang dilakukan agar sang jurnalis dapat menghindarkan dari proses hokum.

Pertama. Pastikan berita yang dituliskan dari sumber resmi. Pembuatan berita dari sumber yang kurang kredible harus dihindarkan. Apalagi bermaksud untuk mengejar tayang berita yang hot.

Kedua. Pastikan sang sumber dapat mempertanggungjawabkan beritanya. Penyampaian sepenggal-penggal justru akan membuktikan kesalahan jurnalis didalam mematuhi kaedah etik jurnalistik. Dan dengan terpenuhinya unsur “ketidakhati-hatian” akan membuka peluang unsur “niat jahat (means rea) dari jurnalis.

Ketiga. Pastikan berita yang disampaikan tidak menimbulkan gejolak social, politik dan hokum di tengah masyarakat, memperuncing keadaan, menimbulkan kehebohan yang justru akan menimbulkan kehebohan. Selain akan menyulitkan jurnalis menjalankan tugasnya justru akan mengalami proses panjang dimuka persidangan.

Keempat. Untuk memudahkan memahami sebuah berita, pahami struktur social, keadaan social dari tempat kejadian terjadi. Dengan memahami keadaan akan memudahkan pembuatan berita yang tidak berakibat hokum.

Kelima. Sebelum menuliskan berita, pahami tujuan berita dituliskan. Apakah sekedar memuat berita (news) semata atau memang ada kewajiban dari public untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan oleh public. Apabila keadaan ini menjadi kewajiban maka berbagai tuduhan miring dan persoalan hokum dapat dihindarkan.

Keenam. Tarik nafas dulu. Bayangkan bagaimana suasana nyata apabila kita menghina ataupun membuat orang lain malu. Keadaan sehari-hari itulah yang menjadi pegangan didalam membuat berita di dunia maya. Dengan memahami dasar-dasar inilah maka berita dimuat dapat dipertanggungjawabkan.

Baca : UU Pers




[1] Pelatihan Jurnalistik Mahasiswa Se Provinsi Jambi, Idea-Institute – Serujambi.com, Jambi, 18 Desember 2017
[2] Advokat, Tinggal di Jambi
[3] Sekedar contoh UU diluar KUHP.