Musri Nauli
Malam
minggu terjadi gempa mengguncang Indonesia. Kali ini terjadi di 42 kilometer
barat daya Kawalu, Tasikmalaya, Kekuatannya mencapai 6,9 mangitudo sehingga
sempat diumumkan peringatan dini potensi tsunami. Walaupun kemudian dicabut
oleh Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (InaTEWS).
Namun
guncangan gempa di Tasikmalaya tidak mampu “mengalahkan” daya getar terhadap
putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-XIV/2016 (Putusan MK). Putusan MK menjadi gegap gempita.
Berbagai viral kemudian menempatkan MK sebagai lembaga negara yang mendukung
kebebasan seksual dan mendukung LGBT.
Secara
sekilas saya kurang mengikuti putusan MK. Terlepas dari berbagai putusan MK
yang “kurang menggigit”, MK sudah jauh dari semangat “pembenahan” konstitusi.
MK kemudian “terjebak” dari urusan rutinitas. Garing istilah anak muda
sekarang.
Namun
ketika putusan MK kemudian diperdebatkan, didiskusikan, di telephone saya
kemudian kaget. Mengapa putusan MK kemudian menjadi penting bisa didiskusikan ?
Dengan
pelan-pelan saya kemudian mencoba membaca putusan MK sebelum memahami pandangan
MK tentang putusannya.
Ilustrasi
Sebelum
menuliskan pandangan saya terhadap putusan MK, putusan MK yang menjadi heboh
dimulai dari permohonan dari Prof. Dr. Euis Sunarti dkk yang “mempersoalkan
Pasal 284 ayat (1) hingga ayat (5), Pasal 285 dan pasal 292 KUHP. Pasal 284,
pasal 285 dan pasal 292 dikategorikan sebagai Tindak pidana kesusilaan yang
diatur didalam Buku II Bab XIV KUHP.
Permohonan
didasarkan pasal 284, pasal 285 dan pasal 292 KUHP tidak mampu menjerat
kejahatan kesusilaan yang dikategorikan sebagai perbuatan yang dilakukan
sejenis (namun tidak dapat menjangkau
penindakan kasus-kasus seperti zinah diluar pernikahan, perkosaan kepada
laki-laki, maupun cabul sesame jenis bagi pelaku yang sama-sama dewasa maupun
dilakukan oleh anak-anak kepada anak-anak).
Para
pemohon kemudian meminta kepada MK untuk dapat “mengisi” kekosongan hokum disebabkan
KUHP tidak mampu menjangkau kejahatan yang terjadi.
MK
kemudian memutuskan dengna menolak seluruh dalil-dalil yang dimohonkan kepada
MK. Didalam pertimbangannya “Bahwa dengan seluruh
pertimbangan di atas bukanlah berarti Mahkamah menolak gagasan “pembaruan” para
Pemohon sebagaimana tercermin dalam dalil-dalil permohonannya. Bukan pula
berarti Mahkamah berpendapat bahwa norma hukum pidana yang ada dalam KUHP,
khususnya yang dimohonkan pengujian dalam Permohonan a quo, sudah lengkap. Mahkamah hanya menyatakan bahwa norma
pasal-pasal dalam KUHP yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo tidak bertentangan dengan UUD
1945. Selanjutnya
kemudian memutuskan “Perihal perlu atau
tidaknya dilengkapi, hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk
undang-undang melalui kebijakan pidana (criminal
policy)-nya yang merupakan bagian dari politik hukum pidana. Oleh karena
itu, gagasan pembaruan yang ditawarkan para Pemohon seharusnya diajukan kepada
pembentuk undang-undang dan hal tersebut seharusnya menjadi masukan penting
bagi pembentuk undang-undang dalam proses penyelesaian perumusan KUHP yang
baru.
Putusan MK ternyata “menyisakan” perdebatan panjang
sebelum memutuskan. Dissenting opinion kemudian disampaikan oleh 4 orang hakim
MK. Dissenting opinion yang polemic mengingatkan putusan MK berkaitan dengan
penerapan hukuman mati Namun sebagai produk hokum, putusan MK kemudian harus
diambil dan rakyat Indonesia kemudian melihat bagaimana pandangan konstitusi
didalam melihat persoalan hokum diatas.
Secara substansi, putusan MK tidak ada yang luar
biasa. MK masih menjalankan tugasnya “The guardian of constitution” sebagaimana
diatur didalam pasal 7B, Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), pasal 24 C UUD 1945
junto UU No. 24 Tahun 2003 junto UU No. 8 Tahun 2011.
Namun yang unik, putusan MK kemudian menjadi viral.
Hakim MK yang mendukung menolak permohonan dari pemohon kemudian “dituding”
mendukung kebebasan kejahatan seksual dan mendukung kehidupan kebebasan
seksual. Viral kemudian menampakkan wajah hakim MK yang dianggap sebagai orang
liberal yang tidak mau tunduk kepada norma adat dan agama. Bahkan di berbagai
diskusi, tidak lupa diselipkan dalil-dalil agama untuk “menghujat” pandangan
hakim MK.
Dengan tidak mengurangi pandangan yang berbeda
pandangan dengan saya, dalil-dalil agama yang dijadikan sandaran untuk menilai putusan
MK membuat saya harus mengernyitkan kening. Apakah dibenarkan dalil-dalil agama
menjadikan pertimbangan didalam melakukan penilaian putusan MK (eksaminasi
putusan MK).
Sebagai negara yang menganut konstitusi dan
menempatkan Hukum sebagai panglima hokum di Indonesia, menempatkan dalil-dalil
agama sebagai sandaran untuk menilai putusan MK membuat perumpamaan menjadi
tidak “equal”. Seharusnya apabila mau menilai putusan MK haruslah bersandarkan
kepada dalil-dalil konstitusi untuk memotret dan menjadikan optic membahas
putusan MK.
Dari bahan materil yang disampaikan maka putusan MK
tidak dapat disandingkan dengan argumentasi yang dipaparkan.
Namun yang mengganggu nurani saya adalah
dalil-dalil hakim MK yang kemudian dituduh mendukung kebebasan seksual dan
mendukung kejahatan seksual.
Apakah apabila kita berbeda pandangan dengan kita,
dengan mudah kita mendukung pernyataan yang berseberangan ?
Misalnya mengkritik pemerintah kemudian dituduh
anti pemerintah. Atau mengkritik aksi demo berjilid-jilid kemudian dituduh anti
agama tertentu ?
Waduh. Apabila pemahaman itu digunakan maka akan
menimbulkan kesesatan dalam berfikir (mistake). Dan itu akan mendangkalkan
logika yang hendak dibangun.
Apabila kita secara sekilas membaca pertimbangan
dan putusan MK maka tidak terdapat keanehan dan kehebohan didalam putusannya.
MK justru membuka ruang dan memberikan jalan keluar dari problema yang terjadi.
Dengan memberikan ruang dalam ranah “legislative review” maka MK menempatkan
sebagai bagian dari system politik trias politika. MK tetap mendudukkan sebagai
judikatif. Sehingga muara dari tawaran solusi dari MK kemudian menyampaikan
pesan. Agar energy dan solusi penyelesaian dari problema ditempatkan pada “kamar
yang pas”.
Namun lagi-lagi, “kehebohan” dengan mempersoalkan
putusan MK membuat kedangkalan dan justru kita menemui titik nadir yang
memalukan.
Dengan demikian maka terhadap putusan MK haruslah
dibaca dengan makna konstitusi. Bukan menggunakan dalil-dalil agama melihatnya.
Dalam ranah filsafat, pemikiran atau pemahaman
inilah yang disebut “logika jumping”. Logika yang melompat dari konklusi dari
logika-logika yang disusun secara sistematis. Logika jumping adalah sebuah
kesesatan (mistake) yang tidak dibenarkan didalam ranah filsafat.
Kegagalan sebagai bangsa menangkap pesan putusan MK
justru akan memandulkan cara berfikir, mengganggu nalar sebagai bangsa yang
berikrar sebagai negara hokum. Sehingga keanehan cara berfikir haruslah
dikembalikan kepada relnya. Menempatkan pada porsinya.
Advokat,
Tinggal di Jambi
Dimuat di Metrojambi.com, 17 Desember 2017
http://metrojambi.com/read/2017/12/17/27679/membaca-putusan-mk/