RAHAYU.. RAHAYU. SAGUNG DUMADI
a.
Alam Pikiran
Desa Adat Sendi
Menyimak
photo prosesi “pemandian” pada Jumat Legi menyentak saya. Bagaimana manusia
kemudian “menghargai air” dan menempatkan sebagai sebuah kesatuan yang utuh
dengan alam (cosmopolitan).
Tanpa
pikir panjang saya kemudian mengagendakan pergi ke Desa Sendi, Pacet,
Mojokerto, Jawa Timur untuk mengikuti prosesi yang diadakan setiap Jumat Legi.
Saya
kemudian tersentak ketika mulai memahami alam pikiran masyarakat di Desa Adat
Sendi. Dan penerawangan saya kemudian menggali keinginantahuan terhadap alam
pikir masyarakat tentang alam (alam kosmpolitan).
Memahami
orang Jawa lebih tepat disampaikan orang Jawa itu sendiri. Perdebatan Islam
“abangan” atau sinkretisme Jawa memandang Islam sungguh menimbulkan “kegagapan”
menerima pandangan alam cosmopolitan Jawa.
Istilah
“ingsun’, manunggal kawula gusti, sebagai terjemahan taufid menimbulkan
persoalan dalam tataran memandang Islam dari sudut diluar Jawa.
Terjemahan
“rahmatin lil alamin” sebagai makna “menghadap kiblat” kemudian diwujudkan
sebagai “kiblat papat. Panca pancat”. Diterjemahkan sebagai “Khalifatullah Maha
Hayuningrat” sebagai alam semesta yang menghormati kiblat.
Dalam
praktek sehari-hari “rahmatin lil alamin” kemudian dipraktekkan sehari-hari
sebagai alam semesta dan Mengembangkan seluruh jagat. Sehingga makna “toto
tentram. Kerto raharjo” adalah menempatkan manusia bagian dari alam. Dan
kemudian menghargai manusia sebagai “sedulur papat. Lima Pancat” yang
mengagungkan kemanusiaan. Sehingga manusia kemudian “mempercantik, menjaga alam
semesta”. “Alam semesta tidak perlu manusia. Namun manusia perlu alam semesta.
Simbol
makna “toto tentram, kerto Raharjo” dapat ditemukan didalam seloko Melayu
Jambi. “Negeri yang dinaungi Dewata. Alam
tenang. Rumput Hijau. Padi menjadi. Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugur”.
Dengan
menempatkan “Sedulur sejagat”, maka prosesi “penerimaan” menjadi warga
kehormatan kemudian disebut “Pasamauan Agung”.
Mengutip
catatan Cak Ipul (Panggilan akrab Ridho Syaiful Ashadi)[1] menyebutkan “Pasamauan Agung.
Di awali dengan penyambutan dan
pemberian kain putih. Tanda simbolisasi menganggap saudara yang senantiasa
berbuat baik untuk sendi.
Di iringi perjamuani Paseban agung
Desa Adat Sendi. Memastikan tahapan pengakuan dan perlindungan masyarakat Hukum
Adat bersama para pejuang adat.
Mulai dari Dewan Adat Sendi dan
Para Kasepuhan Adat serta semua pamengku adat.
Menjadi diri sendiri ala Sendi yang
mengembalikan Hak asal usul dan Ulayatnya sebagai penerus perwujudan Desa
Sendi.
Rahayu, Rahayu, Rahayu, Sagung
Dumadi.....
Makna,
symbol dan alam pikiran cosmopolitan yang kemudian menempatkan masyarakat Desa
Sendi selalu mengucapkan “Rahaya. Rahayu. Sagung Dumadi”.
b.
Sejarah
Melihat
symbol-simbol yang digunakan, penamaan terhadap struktur social dan cara
penempatan terhadap alam, bayangan saya kemudian menerang tentang Kitab “Negara
kertagama” Karya Mpu Prapanca. Puputan yang mencatat detail tentang Kerajaan
Majapahit.
Simbol-simbol
seperti Lambang Majapahit masih digunakan dan sebagai identitas masyarakat Desa
Adat Sendi.
Masyarakat
masih menganggap, Desa Adat Sendi adalah tempat “kawah candradimuka” Raden
Wijaya sebelum “menjadi Raja Majapahit”. Sebuah Kerajaan besar setelah
Sriwijaya.
Sebagai
peletak dasar pemerintahan, Majapahit mengalami kejayaan pada masa Hayam Wuruk
dengan Patih terkenal “Gajah Mada”. Berbagai penamaan seperti “Bhayangkara’
atau patung Gajah Mada masih dapat ditemukan di berbagai instansi pemerintahan.
Sebagai perwujudan bakti kepada negeri.
Majapahit
kemudian menguasai wilayah seperti Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan,
Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik, Filipina[2].
Tumasik kemudian dikenal wilayah Singapura. Nama Tumasik kemudian diabadikan
kedalam “Temasek”. Sebuah raksasa telekomunikasi di Singapura.
Melihat
rentang kekuasaan imperium Majapahit, maka kekuasaan Majapahit lebih luas dari
wilayah Indonesia.
Dengan
melihat kebesaran Majapahit yang terletak di Trowulan, Mojokerto di Sungai
Brantas dan Desa Adat Sendi sebagai tempat “kawah candradimuka” dan jejaknya
yang masih hidup di alam pemikiran masyarakat Sendi maka Desa Sendi tidak dapat
dipisahkan dari sejarah panjang nusantara.
Jejak
di Jambi seperti Paseban sebagai tempat berkumpulnya para resi atau pertapa
yang menyepi diri masih ditemukan di berbagai tempat. Marga Kembang Paseban
masih ditemukan di daerah Mersam, Batanghari.
c.
Nilai-nilai
agung
Sebagai
masyarakat yang menjunjung nilai-nilai terhadap alam maka berbagai nilai-nilai
luhur dimulai dari pandangan seperti Api, Air dan Bumi[3].
“Manusia tidak bisa hidup tanpa
air, api dan bumi. Api adalah
sumber untuk memasak. Angin adalah tempat manusia menggerakkan. Sedangkan bumi adalah
tempat manusia hidup. Manusia tidak boleh mengotori bumi. Karena Bumi adalah
ibu.
Menempatkan
bumi sebagai ibu adalah antithesis dari tesis dari kaum barat yang menempatkan
manusia yang sebagai pusat kebudayaan (antroposentrisme).
Padahal
alam
selalu mengajarkan “kesederhanaan, penghormatan terhadap alam, menghargai
alam, menjiwai keagungan alam.
Memandang Alam adalah pusat dari antroposentrisme
dalam kajian Filsafat Lingkungan Hidup merupakan kesalahan cara pandang
Barat. Aliran ini dimulai dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf modern. Dengan
pongah mereka menganggap etika hanya berlaku kepada manusia. Sehingga
manusialah yang harus dipertimbangkan dan satu-satunya bicara tentang moral.
Cara pandang ini kemudian ditentang
dalam aliran biosentrisme dan ekosentrisme. Bagi biosentrisme dan ekosentrisme.
Manusia tidak boleh hanya dipandang sebagai makhluk sosial ansich (zoom
politicon). Manusia juga harus dipandang sebagai makhluk biologis dan makhluk
ekologis. Dengan menempatkan manusia sebagai makhluk biologis dan ekologis,
maka aliran ini kemudian menempatkan manusia sebagai nilai universal sebagai
jaringan kehidupan. Bagian dari siklus ekosistem.
Manusia adalah “sekrup” kecil
dari ekosistem. Manusia “tergantung” kepada alam. Eric Wiener pernah
menuliskan “Ketika pohon terakhir ditebang. Ketika sungai terakhir
dikosongkan. Ketika ikan terakhir ditangkap. Barulah manusia akan menyadari
bahwa dia tidak dapat memakan uang.
Dalam
pengelolaan terhadap alam dapat ditemukan didalam memaknai “Bambu”. Tidak
dibenarkan untuk menebang bamboo tua apabila disekitarnya ada terdapat bamboo
muda (rebung) [4].
Selain akan menyengsarakan bamboo muda karena tidak mendapatkan perlindungan
dari bamboo tua, kehidupan bamboo muda akan menderita sepanjang hidupnya.
Filosofi
ini dapat dimaknai maka tidak dibenarkan menyakiti orang tua yang masih adanya
anak kecil. Selain akan menyebabkan kehidupan anak menjadi menderita, maka
kehidupan anak juga akan terancam dan dapat membahayakan kehidupan anaknya.
Makna
Bambu dapat ditemukan didalam kehidupan masyarakat Melayu Jambi. Didalam
kepemimpinan dikenal “bilah bamboo. Satu diangkat. Satu diinjek”.
Satu
diangkat adalah perumpamaan kepempinnan yang tidak bersikap adil. Dimana untuk
kepentingna kehidupan keluarganya atau kerabatnya atau kroninya diutamakan dari
kehidupan masyarakat. Mengenyampingkan diluar kerabat atau kroninnya.
Sedangkan
“diinjek”, terhadap orang lain menjadi tegas dan direndahkan.
Filosofi
“Bilah bamboo” adalah perumpamaan kepemimpinan yang tidak bersikap adil.
Selain
itu Bambu selain digunakan untuk kebutuhan rumah tangga seperti digunakan
sebagai tiang rumah, plang ataupun berbagai kerajinan lainnya dinding, tikar
bamboo.
Begitu
juga kehidupan masyarakat di Jambi. Bambu adalah penahan tanah dari longsor
sebagaimana seloko Jambi “bak aur dengan tebing”. Saling menguatkan dan saling
membutuhkan.
d.
Struktur
Adat
Sebagai
bagian dari kehidupan masyarakat Adat maka struktur adat merupakan salah satu
komponen untuk melihat bagaimana relasi masyarakat dengan kehidupannya dan
bagaimana cara masyarakat untuk menyelesaikan persoalannya.
Istilah
Pinisepuh, Demang, Carik, Pamong Praja, jagawana, penghulu/motib, Dharma
Adyaksa, adalah struktur didalam Dewan Adat.
Pinisepuh
adalah “para orang tua yang dituakan”.
Seperti Ki Ageng, Empu, Begawan, Para Pribadi Berjasa dan Linuwih. Dalam tutur
di Jambi dikenal sebagai “tuo tengganai”. Sedangkan Demang ditempat sebagai
Kepala Pemerintahan. Setingkat Desa.
Dibawah
Demang terdapat Carik. Sedangkan alat bantu Carik adalah Pamong Praja. Terdapat
Praja Kamulya. Sedangkan Jagawana adalah panglima yang menjaga kehidupan di
hutan. Biasa juga disebut sebagai Polisi hutan.
Selain
jagawana ada Jogo Boyo, Jogo Tirto Jogo Wono, Jogo Pasar, Jogo Tlatah Kemah
Sedangkan
penghulu atau motib adalah petugas keagamaan yang mengurusi prosesi pernikahan
dan kehidupan social lainnya.
Sedangkan
Dewan Adat terdiri dari Kasepuhan, Pemangku adat. Dimana terdapat Dharma
Adyaksa dan Dharma Penghulu. Dharma Adyaksa dikenal sebagai “penuntut” dan
membawa persoalan adat ke Dewan Adat. Sedangkan Dharma Penghulu adalah pemutus
dari persoalan adat yang telah dibawa didalam Dewan Adat.
e.
Tempat-tempat
yang dihormati
Sebagai
bagian dari menghormati leluhur maka dikenal “Gua Paseban Puthuk Kursi’.
Sebagai tempat dan menghormati leluhur.
Selain
itu juga dikenal Situs Keramat Sanggar Pamujan Goa Lowo, Situs Keramat Sanggar
Pamudjo Broto, Situs Keramat Wishuda Praja Puthuk Kursi dan Situs Keramat
Sanggar Pamujan Goa Puthuk Kursi.
Situs
keramat sanggar Pamujan Goa Lowo adalah tempat yang banyak terdapat kelelawar
(Lowo). Sedangkan Situs Keramat Sanggar Pamudjo Broto adalah tempat dimakamkan
leluhur masyarakat Sendi. Situs Keramat Wishuda Praja adalah tempat ilmu
kanuragan para penjaga negeri (Praja). Bertugas menjaga negeri dari gangguan
yang datang dari luar Desa.
Sedangkan
Situs Keramat Sanggar Pamujan Goa Puthuk Kursi adalah tempat dimakamkan leluhur
dan tempat penghormatan sekaligus meminta doa restu terhadap leluhur. Disana
dibangun Paseban yang dikenal sebagai Paseban Puthuk Kursi.
Istilah
Paseban mengingatkan istilah sebagai tempat yang sepi sebagai tempat para
pertapa memohon kepada sang Pencipta agar negeri jauh dari kehancuran.
Sedangkan
Situs Keramat Sumber Panguripan Babakan Kucur Tabud merupakan tempat air yang
mengalir dan dilangsungkan prosesi “pemandian” pada Jumat Legi. Dimulai pada
malam hari kamis dan diakhiri pada hari Jumat legi setiap bulannya.
Sebagai
tempat Situs Keramat Sumber Panguripan Babakan Kucur Tabud selain sebagai
“lambang’ pemandian untuk seluruh warga sendi, tempat menyambut tamu sebagai “Sedulur”
masyarakat Sendi juga merupakan air mengalir sebagai ikrar untuk tetap menjaga
air sebagai kehidupan.
Prosesi
rutin yang terus berlangsung hingga kini.
Selain
itu juga dikenal Pancuran Babhakan Tabut dan Alas Sanggar.
f.
Prosesi
Pasamauan Agung
Sebagai
penghormatan terhadap air dan kehidupan maka dikenal Pasamauan Agung. Makna ini
dikenal Prosesi “pembersihan” jiwa.
Selain
sebagai “pembersihan” jiwa”, menghormati leluhur, upacara Pasamauan Agung juga
diadakan untuk menghormati tamu yang datang. Dengan mengadakan kegiatan
“Pasamauan Agung”, tamu yang datang yang telah melewati prosesi maka sudah
menjadi “Sedulur bumi”. Dan ikut menjaga kelestarian dari Bumi Sendi dari
kerusakan.
Prosesi
dimulai dengna membasuh muka, mengelap tangan (seperti hendak berwudhu)
kemudian diberikan doa selamat kepada yang diberi berkat.
Setelah
itu diikat dengan kain panjang berwarna kuning dengan cara dililit di
sekeliling pinggang sebagai tanda telah diterima sebagai warga masyarakat
Sendi. Kain panjang berwarna kuning tetap digunakan selama mengikuti prosesi
kegiatan di Desa Sendi. Baik didalam rapat-rapat maupun kegiatan-kegiatan
social selama di Desa Sendi. Kain panjang berwarna kuning juga symbol, tanda
sebagai warga Sendi.
Prosesi
ini diadakan setiap Jumat Legi dan dilakukan terus menerus hingga sekarang.
Selain
itu baik mendatangi tempat “Situs Keramat
Sumber Panguripan Babakan Kucur Tabud” maupun hendak meninggalkan tempat
yang dihormati tidak diperkenankan menggunakan alas kaki. Dengan bertelanjang
kaki, maka diharapkan, kaki dapat menjadi “perantara” untuk menjaga bumi dan
sekaligus dapat mencintai alam.
Dengan
prosesi yang telah dilalui maka kewajiban menjaga alam dan berikhtiar
bersama-sama dengan masyarakat Sendi juga sebagai “sumpah setia”. Dan alam akan
menjaga siapapun yang mempunyai hati yang tulus membela masyarakat. Dan alam
sendiri akan menghukumnya apabila hendak berkhianat.
Setelah
itu menuju Situs Keramat Sanggar Pamujan Goa Puthuk Kursi yang terdapat Paseban
Puthuk Kursi. Meminta doa restu kepada Sang Semesta agar prosesi dilalui
diberkati Yang Maha Kuasa. Dan leluhur kemudian menjaga dari marabahaya.
Selanjutnya diakhir dengan makan bersama dengan Beras jagung yang terkenal
kegurihannya.
Baca : AIR DAN KEHIDUPAN
[1] Direktur Walhi Jatim 2005 –
2008.
[2] Poesponegoro,
M.D., Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia. Edisi ke-4. Jilid II.
Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hal. 436.
[3] Carik Sendi
[4] Rebung atau bamboo muda dikenal
sebagai penganan sayur-sayuran. Disantan dan diberi bumbu-bumbu seperti kunyit
(yang kemudian berwarna kuning) dan disantap.