Bang, Apa sih kerjaan abang ?
Pertanyaan
mengganggu dan membuat aku sering geli dan tertawa sendiri.
Ya.
Pertanyaan mengganggu yang membuat orang lain bertanya-tanya. Pekerjaan yang
bisa jalan-jalan, menikmati kuliner, bertemu dengan berbagai sahabat dari
berbagai tempat. Lalu. Pekerjaan apa ya.
Apabila
pekerjaan kantoran, mengapa bisa menikmati hidup dengan menjalani berbagai
tempat di Indonesia ? Atau bagaimana mengatur jadwal ? Lalu. Apakah tidak
mengganggu kerjaannya ?
Berbeda
dengan “orang kantoran”. Yang mengatur jadwal liburan. Melihat calendar yang
ditandai dengan angka merah. Melihat harga tiket. Mengatur tempat. Memikirkan
ongkos dan berbagai perencanaan lain yang membuat “bikin puyeng”.
Atau
orang yang mengambil liburan panjang. Yang terjebak dengan antrian panjang
pesanan hotel, rental mobil atau penginapan. Hingga harus mencari tempat wisata
kuliner.
Lalu
? Siapa saya ?
Tidak
perlu ditanyakan pekerjaan saya. Karena pekerjaan saya kemudian membuat dan menuntut
harus hadir fisik di kantoran, di ruang sidang ataupun ketemu orang.
Ya.
Saya seorang musafir. Sang pengelana yang mengagungkan “kebesaran Tuhan”.
Menikmati ciptaannya. Melihat matahari dari timur. Menikmati matahari cuma 4
jam. Semuanya karena Sang Pencipta ingin melihat kebesarannya.
LIhatlah
Aceh. Negeri yang dikenal sebagai “Serambi Mekkah”. Tempat pusat keberangkatan
menjelang ke Mekkah. Kota Suci tujuan umat Muslim.
Yang
mempunyai sejarah panjang peradaban Islam. Entah kerajaan Syiah Kuala atau Aceh
Darussalam.
Atau
turun ke Sumatera Utara. Tempat dikenal sebagai agama Leluhur. Parmalin.
Berinteraksi dengan Kristen dan kemudian Islam di Tapanuli Selatan.
Turun
sedikit ke Sumatera Barat. Negeri yang terkenal sebagai Pusat kebudayaan Melayu
Minangkabau. Yang menguasai Sumatera abad 12. Dan kemudian jejaknya masih
dilihat dari arca Adityawarman. Raja Agung Pagaruyung yang kemudian
menginspirasi nilai-nilai adat di Sumatera bagian tengah.
Hingga
kini jejak Minangkabau masih ditandai dengan Seloko “Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke
Jambi. Jika menghadap hulu maka Beraja ke Pagaruyung. Atau “Tegak Tajur,
Ilir ke Jambi. Lipat Pandan Ke Minangkabau
Seloko “Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap hulu
maka Beraja ke Pagaruyung. Atau “Tegak Tajur, Ilir ke Jambi. Lipat Pandan Ke Minangkabau membuktikan hukum yang datang dari Pagarruyung (undang)
dipertemukan dengan peraturan dari Raja Jambi (tambang) kemudian ditimbang
(diteliti). Sehingga Seloko “Tali Undang Tambang Taliti”
Menjelaskan keterkaitan antara undang-undang Pagaruyung dan Peraturan dari kesultanan
Jambi. Seloko ini kemudian menghasilkan ”undang
tambang teliti”. Atau juga disebut ”Undang
tempat didarat. Teliti tempuh di air.
Atau
didalam Tambo Kerinci disebutkan “Jika
mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap ia ke barat, ialah
ke tanah Inderapura[1]”.
Dalam Tambo Kerinci disebutkan “tanah
pertemuan raja antara sultan Jambi dengan sultan Inderapura. Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika
menghadap ia ke barat, ialah
ke tanah Inderapura.”
Jejaknya
Minangkabau juga ditandai dengan sejarah kedatangan “Datu
Ribandang, Datuk ri Tiro, dan Datuk Patimang” yang datang membawa Islam pada abad
XVI ke Tallo. Kemudian ke Gowa[2].
Tallo dan Gowa merupakan Kerajaan yang tidak dapat dipisahkan satu dengna yang
lain.
Datu Ribandang dikenal “Khatib
Tunggal Datuk Makmur”. Datu Patimang dikenal “Khatib Sulung Datuk Sulaiman”.
Sedangkan Datuk Ri Tiro dikenal Syekh Nurdin Ariyani
Turun
Sumatera Barat kekanan ke Negeri yang mengikrarkan “Pusat Melayu”. Entah
sejarah Siak-Kampar, Riau-Lingga yang berseteru dengan Johor, Penang ataupun
Malaka. Peradaban panjang yang selalu disebut didalam perdagangan Selat Malaka.
Jalur
panjang yang kemudian disebut sebagai “Pantai Timur Sumatera” yang tidak dapat
dilepaskan perjalanan panjang dari Bugis-Bone-Makassar dalam periode abad 6[3],
Abad 16 dan abad 20. Cerita tentang “perintis” Bugis tidak dapat dilepaskan
dari lima saudara dari wilayah Bugis yang dikenal Lima Opu
Kemudian
membawa teknologi pertanian untuk daerah payau. Istilah “parit”, komoditi kopra
yang menguasai Hindia Belanda tahun 1900-an[4].
Belum
lagi Kerajaan Sriwijaya yang menguasai Selat Malaka pada abad 6 – 12. Cerita
tentang Sriwijaya yang mampu mengirimkan utusan resmi ke dataran Tiongkok yang
kemudian dicatat dalam jurnal-jurnal Tiongkok.
Di
Pantai Barat Sumatera, sejarah Barus kemudian mengilhami dari pengawetan mayat
didalam Raja-raja Fir’aun. Turun ke Painan, Muko-muko, Tapan, Indrapura,
Bengkulu, Bengkulu Selatan hingga ke Liwa. Peradaban yang jejakya masih
diikuti.
Menyeberang
ke Jawa dengan berbagai keunikan, sisa-sisa kebesaran masa lalu, agama leluhur
yang masih diikuti oleh masyarakat hingga sejarah Majapahit, Pajang, Mataram,
maupun makam-makam para Sunan yang ramai diziarahi para umatnya.
Di
Kalimantan, berbagai suku Dayak membuat kita harus banyak belajar. Memahami
Nenek moyang memahami kehidupan masa lalu dan masa depan. Alam pikiran yang
masih merawat alamnya dengan warisan dari puyang yang terus diwariskan dari
masa ke masa.
Beranjak
ke Bali. Pulau yang direstui para Dewata. Yang tetap mengajarkan kesederhanaan
hidup, merawat tradisi. Mampu bertahan dari perkembangan zaman disaat menjadi
tempat pariwisata yang paling dirujuk dunia.
Menyeberang
kemudian ke Lombok. Negeri yang bertemunya Hindu dan Islam dan tetap
bergandengan dalam kehidupan sehari-hari. Terus menyeberang ke Kepulauan-kepulauan
Nusa Tenggara Timur. Berpadunya Katolik dan agama Leluhur (Marapu).
Belum
lagi Pulau Sulawesi yang penuh dengan cerita heroic. Baik karena “pengetahuan
navigasinya” yang kemudian sampai Madagascar (Afrika) hingga kemudian
meninggalkan jejak “kampong bugis” di Singapura, Malaysia, Thailand dan Pantai
Timur Sumatera.
Di
seberangnya dikenal “Ternate-Tidore-Jailolo” yang membuat “perdagangan
rempah-rempah” dan membuat air liur bangsa Eropa untuk datang. Sejarah yang
kemudian mengubah wajah nusantara dan kemudian terlibat konflik berkepanjangan
dengan Belanda.
Tentu
saja masih banyak cerita yang mesti diceritakan. Entah agama-agama Nusantara,
jejak peradaban dunia (Budha, Hindu, Nasrani, Islam, Tiongkok, India, Jazirah
arab) yang masih terawat dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di bumi
nusantara.
Atau
“keindahan” alam, ratusan gunung, kawah, goa, danau, sungai. Atau jalur sesar
gempa yang masih misteri dan mampu memberikan kekayaan alam.
Atau
“makanan” yang membuat selera kita “merasa” Indonesia. Dan tidak peduli makanan
Eropa tanpa rempah-rempah, kurang asin ataupun “tidak berasa cabe”.
Lalu
apa yang mesti kita ceritakan kepada anak cucu kita. Apakah kita akan
memberikan buku-buku tebal dan kemudian bercerita tanpa makna.
Ah.
Bagiku. Negeri yang kudatangi dengan bangga kuceritakan. Dan itulah kekayaan
nusantara yang dengna takjub kusampaikan. Sembari kita tetap merawat Indonesia.
[1] Tambo Kerinci, Depati Muda di
dusun Kemantan
[2] Data berbagai sumber
[3] Tome Pires, The Suma Oriental, Jilid
2, Londong, 1944.
[4] Lihat “Tuhfat Al Nafis”