Ketika
istilah “parit” ditemukan dalam percakapan di Jambi Hilir, ingatan saya
kemudian menoleh ke Timur Indonesia (Sulawesi Selatan). Teknologi pertanian dan
peradaban pengelolaan di gambut dengna menggunakan istilah parit kemudian
memaksaku untuk menggali cerita tentang sejarah Bugis di Pantai Timur Sumatera.
Tome
Pires didalam karya klasiknya “Suma Oriental” menerangkan pelayaran orang
Bugis, Makassar dan Wajo Dari Sulawesi[1].
Leonard Y. Andaya kemudian menyebutkan “perpindahan
besar-besaran orang Bugis keluar kampungnya di Sulawesi Selatan dimulai pada
paruh kedua abad ke – 7. Utamanya karena perang yang berujung pada labilnya
keadaan politik”[2].
Awalnya diwarnai para pengungsi yang meninggalkan kampungnya demi menyelamatkan
diri. Kemudian menetap di Semenanjung Malaya dan pulau-pulau sekitarnya sekitar
abad 17-18.
Cerita
tentang Bugis kemudian dapat dilihat didalam “Tuhfat Al Nafis” yang mewakili
Melayu-Bugis”. Dengan jernih dijelaskan oleh Barbaya W Andaya[3],
dibawah Sultan Mansur dari Melaka pada pertengah abad 15, wilayah di Sumatera
sebagai daratan kemudian digabungkan dengan Kepualuan Riau-Lingga.
Cerita
tentang “perintis” Bugis tidak dapat dilepaskan dari lima saudara dari wilayah
Bugis yang dikenal Lima Opu[4]”.
Sumpah setia dari Bugis kepada penguasa “terekam
dalam Tuhfat Al nafis” dikenal “aruq” (Upacara pengucapan sumpah
tradisional Bugis[5]. Daeng
Marewa (Kelana Jaya Putra) kemudian mengucapkan sumpah setia. Daeng Marewa
kemudian dikenal sebagai Yang Dipertuan Muda (lafal Bugis menyebutkan YamTuan
Muda). Kesetiaan dan tanda bakti “Aruq” sebagai bakti dan kesetiaan kepada
penguasa.
Sedangkan
menurut Hikayat Siak, Raja Kecik adalah pewaris sah dari tahta Johor. Belanda
kemudian mematahkan wilayah kekuasaan Raja Haji tahun 1784 yang penguasaan di
Riau. Kemudian menyingkirkan Raja Muda Ali. Mereka kemudian menyingkir ke
Lingga, Mempawah menuju Sukadana[6].
Selain
itu persaingan Inggeris dan Belanda kemudian Inggeris mendirikan Penang. Bahkan
berkuasa atas Malaka. Bahkan semakin berkuasa ketika ketika Belanda jatuh ke
Napoleon dan mulai mempengaruhi pantai Timur Sumatera dan Kerajaan Johor. Inggeris
kemudian berhasil mendapatkan Singapura sebagai “appanege[7]”.
Cerita tentang Singapura kemudian menjadi pelabuhan bebas dan menjadi pelabuhan
penting ketika pedagang tidak singgah di Riau. Sejarah Bugis kemudian memanjang
ketika konflik antara Belanda dengan Arung Belawa (Wajo), kerabat Istana
Sidenreng.
Sedangkan
cerita tentang Siak tidak dapat dilepaskan dari perseteruan dengan Kerajaan
Johor. Raja Kecil semakin melemah. Setelah kematiannya tahun 1746, Putra-putra
Raja Mahmud dan Raja Alam saling berebut. Raja Alam hanya mendapatkan kekuasaan
1753 kemudian tenggelam. Kemudian dipaksa keluar dari Siak dan pindah ke Siantan.
Kembali
menelusuri jejak Bugis di Pantai Timur Sumatera. Christian Pelras kemudian
menyebutkan, pertemuan pengaruh awal Melayu dimulai dari Kerajaan Melayu.
Setelah
kejatuhan Makassar oleh Belanda tahun 1666, bangsawan Bugis memimpin
petualangan ke wilayah Barat seperti pantai timur Sumatera dan pesisir
Kalimantan, Semenanjung Melayu, Riau, Jambi dan Bengkulu. Jejaknya masih bisa
diikuti hingga kini.
Pembukaan
pemukiman Bugis besar-besaran kemudian didukung oleh Penguasa Johor yang
berfikir maju. Dan semakin maju ketika mendirikan Johor Baru tahun 1878.
Semakin
banyaknya bermukim di Johor kemudian ketika Belanda menguasa seluruh Sulawesi
Selatan tahun 1906. Selain itu kemudian menyebar dan menghuni daerah-daerah
pantai timur Sumatera. Mereka kemudian mulai mengelola hutan bakau, Teknologi
pertanian, arsitektur kayu, tenun, memasak, teknologi besi sebagai perbandingan
budaya material dan menanam kelapa. Kopra kemudian sangat laku. Tahun 1929
dikenal sebagai tahun keemasan.
Mereka
kemudian mengenal istilah “parit”. “Parit” kemudian sebagai tanda pemukiman. Atau
sebagai “batas tanah”. Seperti ““mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok
mati” (hilir Jambi). Atau “takuk pohon”. “tuki”, “sak Sangkut”, “hilang celak.
Jambu Kleko”. Atau Cacak Tanam. Jambu Kleko”. Ada juga menyebutkan “Lambas”
(Uluan Jambi)
Di
Desa Sungsang, dikenal “kepala parit[8]”.
Kepala Parit adalah “kelompok yang membuka areal. Berbagai Desa-Desa di
Tanjabbar dan Tanjabtim kemudian mengenal istilah “parit”.
Namun
di Desa Lumahan, Kepala parit sebagai Kepala Pemerintahan[9].
Di
Desa Sungai Beras[10]
dikenal “Parit
Alamsyah di buka Oleh Bapak Alamsyah, Parit Sungai Buluh Dibuka Oleh Bapak Ali
Flores, Parit Sungai Budaya Dibuka Oleh Bapak Sa’ka, Parit Senang Dibuka Oleh
Bapak Renggeng, Sungai Beras di buka Oleh Bapak Arbain, Parit Teluk Pagar di
buka Oleh Bapak H. Kusnan, Parit Gudang di buka Oleh Bapak Ismail Ab, Sungai
Bamban Dibuka Oleh Abdus Shomad, Sungai Beringin di buka Oleh Bapak Dahlan,
Sungai Apuk di buka Oleh Induk Apuk, Parit Sinar Sulawesi di buka Oleh Bapak H.
Saleh, Sungai Gudang di buka Oleh Bapak Asnawi, Parit Jawa timur di buka
Oleh Bapak Thayib, Sunga Papan di buka oleh Bapak Lauduk, Parit Selamat
di buka oleh Ambo Tuo,Sungai Nibung di buka Oleh Bapak Gadur, Teluk Perancis
Dibuka Oleh H. Kubek, Parit Antara Dibuka Oleh Bapak Zaini, Parit Harapan di
buka Oleh Bapak Harpan, Parit Buta-Buta di buka Bapak Lacong.
Dengan
demikian maka istilah “parit” adalah jejak peradaban Bugis di Jambi. Teknologi
yang dibawa ke Jambi hilir yang kemudian memperkaya pengelolaan Gambut di
Jambi.
[1] Tome Pires, The Suma Oriental,
alih bahasa dan diedit Armando Cortesao, Jilid 2, Londong, 1944.
[2] Leonard Y. Andaya, Diaspora
Bugis, Identitas dan islam di Negeri Malaya, dalam “Diaspora Bugis di Alam
Melayu Nusantara, Penerbit Ininmawa, Makassar, 2010, Hal, 17
[3] Barbaya W Andaya, Recreatiang a
Vision”, Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, 1997, Hal 483
[4] Opu adalah gelar penguasa
Kerajaan Luwu.
[5] Perjanjian dianggap sangat
keramat di Sulawesi Selatan dan tersimpan sebagai benda pusaka Kerajaan (Regalia). Barbaya W. Andaya, Treaty
Conception and Misconception : A Case Study From South Sulawesi, 1978, Hal. 275
[6] Leonard, Op.Cit. Hal. 25
[7] daerah pinjaman sebagai hadiah
karena jasa.
[8] Desa Sungsang, Tanjabbar, 10
Oktober 2017
[9] Desa Lumahan, Tanjabbar, 11
Oktober 2017
[10] Desa Sungai Beras, Tanjabtim,
15 Februari 2018