05 April 2018

opini musri nauli : UU KEHUTANAN DAN HUTAN ADAT


Akhir-akhir ini ada kecenderungan membenturkan UU Kehutanan (baca UU No. 41 Tahun 1999) dengan Hutan Adat. Pikiran ini sengaja disampaikan ketika membicarakan hutan akan menimbulkan dan berbenturan dengan Hutan adat.
Sengaja pikiran ini dipaparkan agar kita meletakkan posisi UU kehutanan dan Hutan adat dalam satu bingkai terhadap problema diatas.

Sebelumnya MK sudah berdasarkan Putusan MK No. 35 Tahun 2013 menegaskan “hutan adat tidak termasuk kedalam hutan negara”.

Untuk memahami keterkaitan antara Hutan adat dengan UU Kehutanan maka dimulai dari prinsip yang penting.

UU Kehutanan menegaskan “pada prinsipnya” orang tidak boleh menebang pohon[1], membuka hutan (merambah hutan)[2], mengangkut kayu[3]. Dengan demikian maka terhadap “persoalan kayu[4]” kemudian diatur oleh UU Kehutanan.

Dengan menegaskan “orang tidak boleh menebang pohon, membuka hutan (merambah hutan), mengangkut kayu” maka terhadap perbuatan untuk “menebang pohon, membuka hutan (merambah hutan), mengangkut kayu” maka “setiap orang dilarang” untuk tidak boleh “menebang pohon, membuka hutan (merambah hutan), mengangkut kayu”. Dengan demikian maka pada prinsipnya ada “larangan” mengenai kayu.

Sedangkan diluar daripada itu maka memerlukan izin. Makna “izin” adalah pengecualian atau “dispensasi”.

Perizinan (Vergunning ) adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan UU atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan peraturan perundang-undangan. Selain itu sering juga disebut sebagai “dispensasi” atau “Pelepasan/pembebasan dari suatu larangan.

Menurut Bagir Manan “Izin dalam arti luas berarti suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan melakukan suatu tindakan atau perbuatan tertentu yang selama ini dilarang[5]. Bagir Manan menyebutkan “Pembolehan”.

Dengan demikian terhadap Hutan Adat berdasarkan Putusan MK No. 35 Tahun 2013 memberikan pengelolaan kepada masyarakat adat. Namun terhadap pengaturan “kayu” tetap memerlukan izin dari negara. Negara kemudian memberikan “perizinan” kepada masyarakat adat untuk mengelola kayu.

Mekanisme ini kemudian “dipermudah’. Apabila sebelumnya “izin” berada di tangan negara melalui Menteri Kehutanan[6] (baca Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan) kemudian diberikan kepada Pengelola Hutan Adat (baca masyarakat hokum adat).

Sedangkan pengelolaan Hutan Adat kepada pengelola hutan adat (Baca masyarakat hokum adat) tetap memerlukan pengaturan. Misalnya “izin” untuk menebang kayu, mengangkut kayu ataupun perizinan mengenai kayu.

Dengan demikian maka “tidak dibenarkan” terhadap pengelolaan yang telah diberikan kepada masyarakat Hukum adat berkaitan dengan  hutan adat kemudian  “menghilangkan” terhadap proses perizinan dan pengaturan kayu. Atau dengan kata lain “tidak memerlukan izin” dari negara didalam pengaturan mengenai perkayuan.

Maka terhadap proses berkaitan kayu seperti “menebang kayu”, mengangkut kayu ataupun membuka hutan” apabila tidak ada izin dari pengelola hutan adat maka tetap dapat dikenakan berdasarkan UU Kehutanan[7].

Kerancuan ataupun kekeliruan ini haruslah diluruskan. Agar tujuan menjaga hutan agar tetap lestari dan menciptakan keadilan dapat tercapai.




[1] Pasal 50 ayat (3) Huruf e UU Kehutanan “Setiap orang dilarang menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
[2] Pasal 50 ayat (3) huruf b UU Kehutanan “Setiap orang dilarang merambah kawasan hutan”.
[3] Pasal 50 ayat (3) huruf h UU Kehutanan “Setiap orang dilarang mengangkut kayu.. “
[4] Pertimbangan UU Kehutanan
[5] Bagir Manan, Ketentuan Ketentuan Mengenai Pengaturan Penyelenggaraan Hak Kemerdekaan Berkumpul Ditinjau Dari Perspektif UUD 1945, Makalah, Tidak Dipublikasikan, Jakarta, 1995, hal. 8.
[6] Menteri adalah menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan.
[7] Diproses dengan menggunakan UU Kehutanan seperti penerapan pasal 50 ayat (3) UU kehutanan.