Akhir-akhir
ini ada kecenderungan membenturkan UU Kehutanan (baca UU No. 41 Tahun 1999) dengan
Hutan Adat. Pikiran ini sengaja disampaikan ketika membicarakan hutan akan
menimbulkan dan berbenturan dengan Hutan adat.
Sengaja
pikiran ini dipaparkan agar kita meletakkan posisi UU kehutanan dan Hutan adat
dalam satu bingkai terhadap problema diatas.
Sebelumnya
MK sudah berdasarkan Putusan MK No. 35 Tahun 2013 menegaskan “hutan adat tidak
termasuk kedalam hutan negara”.
Untuk
memahami keterkaitan antara Hutan adat dengan UU Kehutanan maka dimulai dari
prinsip yang penting.
UU
Kehutanan menegaskan “pada prinsipnya” orang tidak boleh menebang pohon[1],
membuka hutan (merambah hutan)[2],
mengangkut kayu[3]. Dengan
demikian maka terhadap “persoalan kayu[4]”
kemudian diatur oleh UU Kehutanan.
Dengan
menegaskan “orang tidak boleh menebang
pohon, membuka hutan (merambah hutan), mengangkut kayu” maka terhadap
perbuatan untuk “menebang pohon, membuka
hutan (merambah hutan), mengangkut kayu” maka “setiap orang dilarang” untuk
tidak boleh “menebang pohon, membuka
hutan (merambah hutan), mengangkut kayu”. Dengan demikian maka pada
prinsipnya ada “larangan” mengenai kayu.
Sedangkan
diluar daripada itu maka memerlukan izin. Makna “izin” adalah pengecualian atau
“dispensasi”.
Perizinan
(Vergunning ) adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan UU atau
peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan
larangan peraturan perundang-undangan. Selain itu sering juga disebut sebagai
“dispensasi” atau “Pelepasan/pembebasan dari suatu larangan.
Menurut
Bagir Manan “Izin dalam arti luas berarti suatu persetujuan dari penguasa
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan melakukan suatu
tindakan atau perbuatan tertentu yang selama ini dilarang[5].
Bagir Manan menyebutkan “Pembolehan”.
Dengan
demikian terhadap Hutan Adat berdasarkan Putusan MK No. 35 Tahun 2013
memberikan pengelolaan kepada masyarakat adat. Namun terhadap pengaturan “kayu”
tetap memerlukan izin dari negara. Negara kemudian memberikan “perizinan”
kepada masyarakat adat untuk mengelola kayu.
Mekanisme
ini kemudian “dipermudah’. Apabila sebelumnya “izin” berada di tangan negara
melalui Menteri Kehutanan[6]
(baca Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan) kemudian diberikan kepada
Pengelola Hutan Adat (baca masyarakat hokum adat).
Sedangkan
pengelolaan Hutan Adat kepada pengelola hutan adat (Baca masyarakat hokum adat)
tetap memerlukan pengaturan. Misalnya “izin” untuk menebang kayu, mengangkut
kayu ataupun perizinan mengenai kayu.
Dengan
demikian maka “tidak dibenarkan” terhadap pengelolaan yang telah diberikan
kepada masyarakat Hukum adat berkaitan dengan hutan adat kemudian “menghilangkan” terhadap proses perizinan dan
pengaturan kayu. Atau dengan kata lain “tidak memerlukan izin” dari negara
didalam pengaturan mengenai perkayuan.
Maka
terhadap proses berkaitan kayu seperti “menebang kayu”, mengangkut kayu ataupun
membuka hutan” apabila tidak ada izin dari pengelola hutan adat maka tetap
dapat dikenakan berdasarkan UU Kehutanan[7].
Kerancuan
ataupun kekeliruan ini haruslah diluruskan. Agar tujuan menjaga hutan agar
tetap lestari dan menciptakan keadilan dapat tercapai.
[1] Pasal 50 ayat (3) Huruf e UU
Kehutanan “Setiap orang dilarang menebang pohon atau memanen
atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa
memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
[2] Pasal 50 ayat (3) huruf b UU
Kehutanan “Setiap orang dilarang merambah kawasan hutan”.
[3] Pasal 50 ayat (3) huruf h UU
Kehutanan “Setiap orang dilarang mengangkut kayu.. “
[4] Pertimbangan UU Kehutanan
[5] Bagir Manan, Ketentuan Ketentuan
Mengenai Pengaturan Penyelenggaraan Hak Kemerdekaan Berkumpul Ditinjau Dari
Perspektif UUD 1945, Makalah, Tidak Dipublikasikan, Jakarta, 1995, hal. 8.
[6] Menteri adalah menteri
yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang
kehutanan.
[7] Diproses dengan menggunakan UU
Kehutanan seperti penerapan pasal 50 ayat (3) UU kehutanan.