Ketika menerima undangan dari Seloko Institute yang menginisiasi bedah buku “To live as Brothers: Southeast Sumatra in The Seventeenth and Eighteenth Centuries” karya Prof. Barbara Watson Andaya, 28 Maret 2017, pikiran saya langsung berkecamuk.
Selain ingin mengetahui paparan pemateri yang mendedah karya “master piece” Barbara itu, saya juga penasaran terhadap edisi Indonesia yang diterbitkan Ombak, Yogyakarta, menjadi “Hidup Bersaudara – Sumatra Tenggara Pada Abad XVII –XVIII” (2016).
Membaca edisi asli sekaligus hasil terjemahan tentu
menghadirkan nuansa tersendiri sekaligus menebalkan keingintahuan kita
tentang sebuah topik kajian tertentu.
Sering kita mendengar bahwa karya terjemahan merupakan
karya tersendiri, yang mesti mendapatkan apresiasi tersendiri pula.
Banyak ungkapan klise berbunyi: melalui penerjemahlah, kita mengenal karya-karya pada disiplin keilmuan tertentu.
Pengalaman ini saya dapatkan ketika saya membaca terjemahan “Elsbeth Locher-Scholten, Sumatran Sultanate and Colonial State: Jambi and the Rise of Dutch Imperialism, 1830-1907” yang kemudian menjadi “Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial : Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imprealisme Belanda oleh penerbit Banana (2008).
Hal serupa saya alami ketika ‘ngotak-ngatik’ buku “Kepulauan Nusantara – Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam” karya master piece Alfred Russel Wallace yang kemudian membagi garis imajiner (dikenal sebagai garis Wallace) dan kemudian mengirimkan naskah kepada Charles Darwin, yang kelak dikenal luas dengan “teori evolusi”.
Berbekal pengalaman itu, maka saya memilih menghadiri
undangan bedah buku Seloko Institute (bekerjasama dengan Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Jambi dan Penerbit Ombak Yogyakarta), seraya
menuntaskan keingintahuan sekaligus apresiasi saya pada edisi terjemahan
tersebut.
Apa sebab? Terjemahan buku Barbara ini sangat ditunggu
pembaca Indonesia, utamanya mereka yang menaruh minat pada studi Jambi
dan Sumatra dalam kaitan budaya masyarakat Palembang dan Jambi (Sumatera
Tenggara) yang merupakan "saudara" dan melihat perbedaan perkembangan
kedua wilayah tersebut.
Namun, bukan isi buku Barbara yang bikin saya kaget.
Tapi di dalam kata pengantar Barbara termuat ucapan terima kasih yang
ditujukan ke berbagai pihak yang membantu hingga terwujudnya buku itu,
yang hingga sekarang menjadi rujukan penting bagi para sejarahwan.
Salah satunya Barbara menulis sederet nama-nama yang
berada di Jambi. Tersebut di situ M. Ceylon, M. Ichan, Syaifullah A
Khorrie, Suratman Effendi dan Budhi Jauhari (hal. viii).
M. Ceylon? Sontak saja ingatan saya melayang ke sebuah
peristiwa sekira 30 tahun lalu (1986-1987), utamanya ketika saya
menemani ayahanda, M. Ceylon, menemui seorang ‘bule’ perempuan bertubuh
kecil dan berkulit putih. Dialah Barbara Watson Andaya.
Ketika itu, sebagai pegawai di Kantor Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Bungo Tebo (Sebelum Kabupaten Bungo dan
Kabupaten Tebo dimekarkan pada 1999), ayahanda meminta saya untuk
mengantarkan makanan.
Walaupun sempat mendengarkan pembicaraan antara mereka,
dalam usia masih sekolah menengah pertama, saya hanya mengerti ketika
saat pulang, ayahanda bercerita tentang adanya temuan arkeologis di
wilayah Tebo.
Lengkap cerita tentang data-data dengan pemotretan dari
udara. Saya pun hanya menggangguk. Mengerti apa yang disampaikan namun
belum memahami apa yang dimaksudkan. Selebihnya saya tidak ingat.
Sejak itu saya mulai mengagumi sejarah Jambi dengan
segala dinamikanya. Apatahlagi 1992 saya mengikuti seminar internasional
Melayu Kuno yang mendatangkan peneliti dari luar maupun dalam negeri.
Seminar tersebut sangat penting dan berhasil mengungkapkan banyak fakta
terkait sejarah Kerajaan Melayu Kuno di Jambi dan Sriwijaya.
Sejak itu, selain karena pekerjaan, dalam banyak
perjalanan menyusuri kampung-kampung di Jambi, saya banyak mendengar
sekaligus mencatat cerita-cerita rakyat seputar sejarah Jambi, yang
membentang mulai dari ujung jabung sampai durian di takuk rajo, dari sialang balantak besi hinggo bukit tambun tulang (untuk menyebut keseluruhan wilayah administratif dan kultural di Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah sekarang).
Dari situ pula, cerita-cerita rakyat serta pelbagai
dokumen sejarah lainnya, seperti laporan penduduk dan berbagai sumber
kepustakaan, saya kumpulkan sehingga membantu saya menemukan titik
terang dan perlahan-lahan mulai menyusun puzzle tentang Jambi.
Puncaknya, saya meyakini sejarah panjang Jambi belum
terdokumentasi secara baik dan memadai (untuk menyebut masih tercecer
dan belum terhubung antara satu periode dengan periode zaman yang lain
secara lengkap).
Ambil misal, cerita tentang kebesaran kawasan Percandian
Muara Jambi sulit ditelusuri selain diungkapkan para ahli arkeologi,
yang mampu merekontruksi areal percandian yang sangat luas mencapai
sekitar 3.981 hektare atau delapan kali luas dari kompleks candi
Borobudur dan dua kali luas dari kompleks angkor wat di Kamboja.
Atau cerita Datuk Paduko Berhalo yang ditemukan
berdasarkan situs makam di pulau berhala di Kabupaten Tanjung Jabung
Timur (Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi, 9 Februari 2011, Pulau
Berhala menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau).
Begitu juga cerita yang berkembang di kalangan
masyarakat mengenai jejak perlawanan Sultan Thaha Saifuddin yang pernah
menyerang di Muara Kumpeh sebelum istana Kerajaan Jambi diserbu Belanda.
Di dalam pencarian dan penyusunan puzzle itu, saya kemudian membaca tulisan Barbara mengenai perang Johor (Barbara Watson Andaya; Leonard Y. Andaya, A History of Malaysia, Palgrave Macmillan, (1984); dan tentang Tuhfat al-Nafis (The
Precious Gift) sebagai karya monumental Raja Ali Al-Haji, suntingan
dan terjemahan Barbara Watson Andaya bersama Virginia Matheson., Kuala
Lumpur: Oxford University Press, 1982.
Bak kata pepatah “sudah dicinta ulampun tiba”. Puzzle
yang sempat membuat saya “panik” melacak konteks kelampauan Jambi,
justru terkuak dengan kehadiran buku Prof. Barbara, utamanya puzzle
khusus periode Sumatra abad XVII-XVIII. Sebuah karya yang menunjukkan
ketekunan nan tinggi dalam memadukan sumber tertulis, lisan (lokal), dan
hasil penelusuran lapangan.
Akhirnya, menemukan buku asli maupun edisi terjemahan karya Barbara, salah satunya, “Hidup Bersaudara – Sumatra Tenggara Pada Abad XVII –XVIII”, ini laksana menemukan ‘harta karun’.
Dan sang pemberi ‘harta karun’ itu adalah orang yang
pernah saya jumpai bersama ayahanda sekira 30 tahun yang lalu, yang kini
menjadi Profesor Studi Asia dan Direktur Pusat Studi Asia Tenggara di
Universitas Hawai’i, USA.
*Penulis merupakan advokat dan aktivis lingkungan. Akif mengumpulkan sumber-sumber sejarah lisan dan tertulis mengenai Jambi.
Dimuat kajanglako.com, 8 April 2018
http://kajanglako.com/id-3464-post-karya-barbara-watson-andaya-dan-kegembiraan-sebagai-pembaca---.html