03 April 2018

opini musri nauli : Lebak Lebung di Sumsel



Mengikuti prosesi acara Temu Kampung Masyarakat Pengelola Gambut Bersama Publik” di Desa Bangsal, OKI, Sumsel.  Dengan perumpaan yang diberikan saya kemudian dapat menangkap kesan bagaimana masyarakat OKI didalam mengelola gambut.
Masyarakat mengenal Gambut dengan berbagai istilah seperti “Rawang Hidup”, “Lebak Berayun”, atau “Lebak Lebung”. Di Papua dikenal “tanah goyang”. Di Kalbar dikenal “tanah sapo”. Bahkan di Kalsel malah dikenal “Tanah Irang”.

Di Jambi dikenal “Payo” atau “payo dalam”, Suak, Lopak, Lubuk, Danau, adalah penamaan tempat yang menunjukkan daerah gambut. Ditandai dengan “akar bekait, pakis dan jelutung” atau “2 – 3 mata cangkul (duo-tigo mato cangkul)[1]”.

Pengaturan gambut ditandai dengan istilah. Dalam tata ruang kemudian dikenal Lebak Dangkal, Lebak Tengah dan Lebak Lebung.

Lebak Dangkal menunjukkan Lebak yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan Lebak Tengah dikenal sebagai tanah untuk tanaman padi. Di Jambi, areal untuk tanaman padi dikenal sebagai tempat “peumoan”.

Selain itu juga dikenal “pematang” atau Petalang. Tempat ditanami tanaman keras (tanaman tuo) seperti “pinang” atau “kelapa”.

Sedangkan Lebak Lebung adalah gambut yang dilindungi baik sebagai tempat air, mencari ikan, kayu ataupun tanaman lain. Yang ditandai dengan “purun”, “pandan”. Di Jambi tempat inilah yang sebagai “Payo” atau “payo dalam”, Suak, Lopak, Lubuk, Danau. Tempat yang dikenal sebagai mengambil ikan khas gambut (biodiversity) yang sering juga disebut sebagai “suak”, lopak”, Lubuk”.

Selain tempat mengambil ikan yang memberikan kehidupan kepada masyarakat juga sebagai tumbuhnya tanaman khas. Seperti pandan, rotan, kayu hutan.

Penamaan tempat ini biasa disebut “hutan hantu pirau”. Tempat yang dilindungi yang tidak boleh dibuka maupun dikonversi untuk tanaman lain.

Lebak Lebung juga sering disebutkan dalam cerita tentang pengaturan tentang gambut. Lebak Lebung atau Hutan hantu pirau adalah tempat-tempat yang dilindungi sebagai kawasan yang dihormati masyarakat.

Hutan Hantu pirau adalah penamaan untuk memberikan “perlindungan” dengan cara agar tidak dibenarkan siapapun membuka maupun mengganggu kehidupan di wilayah ini.

Melihat tata ruang yang disampaikan di OKI, maka tataruang antara masyarakat gambut di Jambi dengan di OKI tidak jauh berbeda. Baik penghormatan terhadap fungsi, penataan maupun perlindungannya.

Kesamaan inilah yang sering disebutkan dalam seloko Jambi. “Adat Samo. Pemakai Beda”. “Lain lubuk lain Ikan. Lain lalang lain belalang”.




[1] Istilah “duo – tigo mato Cangkul” adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan apabila diayunkan cangkul dua atau tiga kali ayunan ditemukan air maka dikategorikan sebagai daerah yang tidak boleh dikonversi untuk tanaman selain padi. Desa Sungai Beras, Kecamatan Mendahara, Tanjung Jabung Timur, 15 Januari 2018