03 Agustus 2018

opini musri nauli : NARASI KEBANGSAAN (2) - PROKLAMASI



NARASI KEBANGSAAN (2)
PROKLAMASI

Sebagai sebuah bangsa (nation), Indonesia kemudian mendeklarasikan sebagai Negara (state) tanggal 17 Agustus 1945. Kalimat “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia” adalah Kata-kata mantra yang mampu menggetarkan jiwa dan menyatakan sebagai bangsa yang merdeka. Perjalanan panjang sebagai sebuah bangsa setelah mengalami penjajahan panjang. Baik Belanda maupun Jepang[1].

Dengan sebuah ikrar yang kemudian dikenal dengan makna sakti “Proklamasi[2].
Sehari kemudian UUD 1945 kemudian disahkan. Tanggal 18 Agustus 1945 PPKI mengangkat Soekarno – Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Dan dikukuhkan tanggal 29 Agustus 1945 oleh KNIP

Proklamasi berasal dari bahasa Latin “Proclamare” yang berarti  pengumuman atau pemberitahuan ke public”. Kamus Besar Bahasa Indonesia kemudian menuliskan “proklamasi terdiri dari suku kata – prok – la – ma – si”. Yang berarti pemberitahuan resmi kepada seluruh rakyat. Atau “permakluman”. Atau “Pengumuman”.

Dalam alam kosmopolitan, pemilihan tanggal 17 Agustus 1945 adalah sarat makna. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang  berada  dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua  berpuasa, ini berarti saat yang paling suci  bagi kita. tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu  Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat  suci. Al-Qur'an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu  kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia".[3]

Proklamasi Indonesia mendapatkan dukungan dari internasional seperti Mesir tanggal 22 Maret 1946, India (20 Agustus 1946), Vatikan (6 Juli 1947). Mesir tercatat sebagai negara pertama yang mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia. Setelah itu menyusul Syria, Iraq, Lebanon, Yaman, Saudi Arabia dan Afghanistan[4].

Ikrar sebagai “negara” menimbulkan problematika dalam teori pengakuan negara dalam lapangan hukum internasional.

Dalam kajian Hukum internasional, sebuah negara harus memiliki unsur seperti wilayah, rakyat dan Pemerintahan. Teori ini kemudian dikenal sebagai teori declaration. Teori ini kemudian menempatkan dengan memenuhi unsur sebagai negara, maka negara kemudian dapat dinyatakan berdiri. Teori ini kemudian disampaikan oleh Brierly, Erich, Fiscker Williams, Francois, Tervboren, Schwezen­berger.

Sedangkan teori kedua dikenal sebagai teori konstitutif. Penganut teori ini adalah Wheaton, Hershey, Von Liszt, Moore, Schuman dan Lauterpacht. Mahfud kemudian merumuskan sebagai teori konstitutif[5]. Teori ini kemudian mensyaratkan adanya pengakuan negara lain terhadap kelahiran negara. Teori ini menegaskan selama belum mendapatkan dukungan internasional atau pengakuan dari negara lain maka secara hukum tidak dapat disebut sebagai negara.

Mengikuti teori declaration maka Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 belum dapat menempatkan Indonesia sebagai negara.

Tanggal 17 Agustus 1945  walaupun “ikrar sebagai negara” namun belum dapat dikatakan atau memenuhi persyatatan sebagai negara. Penggunaan kata “atas nama bangsa Indonesia – Soekarno – Hatta” belum memenuhi unsur “Pemerintahan”. Unsur “Pemerintahan” adalah salah satu unsur berdirinya sebuah negara.

Dengan demikian apabila kita menggunakan teori declarative yang memuat unsur negara, maka tanggal 18 Agustus 1945 disebut sebagai negara. Tanggal 18 Agustus 1945 adalah tanggal disahkan UUD 1945 sekaligus memilih dan mengangkat Soekarno – Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden[6].

Namun problema menjadi rumit. Mengikuti teori konstitutif yang mensyaratkan adanya dukungan dan pengakuan dari negara lain maka Indonesia harus melihat dukungan dari internasional.

Melihat dukungan dari negara Mesir sebagai negara yang pertama kali memberikan dukungan negara Indonesia maka tanggal 22 Maret 1946 sebagai hari lahirnya Indonesia sebagai negara. Dengan demikian maka Indonesia dapat disebutkan sebagai negara justru tanggal 22 Maret 1946.



            [1] Indonesia pernah dijajah Perancis (1806 – 1811), Inggeris (1811 – 1816). Walaupun kemudian di Ternate dibawah Portugis (1509 – 1595) dan Spanyol (1521 – 1692) di Minahasa dan Ternate.
            [2] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2008, Hal. 903.
            [3] Setneg.go.id
            [4] Mohammad Roem. Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI. Gramedia, Jakarta, 1986.
            [5] Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, Hal, 35.
            [6] Deliar Noer & Akbarsyah,  Komite Nasional Indonesia (KNIP) Parlemen Indonesia 1945-1950, Yayasan Risalah,  Jakarta, 2005, Hal 16.