(In Memoriam Syamsul Watir M)
Musri Nauli
Membaca
artikel Syamsul Watir M yang berjudul “Petani Bugis, Ahli Persawahan Pasang
Surut” dan “Petani dan Persawahan Pasang Surut” yang dimuat di Berita Buana,
Senin, 26 April 1976 merupakan “harta karun” yang tercecer.
Menggunakan
tema “persawahan pasang surut” adalah tema yang masih relevan dalam melihat
peradaban Bugis di Jambi.
Istilah
“pasang surut” mengingatkan istilah “rawa” merupakan istilah dalam catatan-catatan
seperti dituliskan didalam buku “Diaspora Bugis, Identitas dan islam di Negeri
Malaya, dalam “Diaspora Bugis di Alam Melayu Nusantara, Penerbit Ininmawa,
Makassar, 2010.
Tome
Pires didalam karya klasiknya “Suma Oriental” menerangkan pelayaran orang
Bugis, Makassar dan Wajo Dari Sulawesi. Leonard Y. Andaya kemudian menyebutkan
“perpindahan besar-besaran orang Bugis
keluar kampungnya di Sulawesi Selatan dimulai pada paruh kedua abad ke – 7.
Utamanya karena perang yang berujung pada labilnya keadaan politik”.
Awalnya diwarnai para pengungsi yang meninggalkan kampungnya demi menyelamatkan
diri. Kemudian menetap di Semenanjung Malaya dan pulau-pulau sekitarnya sekitar
abad 17-18.
Cerita
tentang Bugis kemudian dapat dilihat didalam “Tuhfat Al Nafis” yang mewakili
Melayu-Bugis”. Dengan jernih dijelaskan oleh Barbaya W Andaya, dibawah Sultan
Mansur dari Melaka pada pertengah abad 15, wilayah di Sumatera sebagai daratan
kemudian digabungkan dengan Kepualuan Riau-Lingga.
Cerita
tentang “perintis” Bugis tidak dapat dilepaskan dari lima saudara dari wilayah
Bugis yang dikenal Lima Opu”. Sumpah setia dari Bugis kepada penguasa “terekam dalam Tuhfat Al nafis” dikenal
“aruq” (Upacara pengucapan sumpah tradisional Bugis. Daeng Marewa (Kelana Jaya
Putra) kemudian mengucapkan sumpah setia. Daeng Marewa kemudian dikenal sebagai
Yang Dipertuan Muda (lafal Bugis menyebutkan YamTuan Muda). Kesetiaan dan tanda
bakti “Aruq” sebagai bakti dan kesetiaan kepada penguasa.
Sedangkan
menurut Hikayat Siak, Raja Kecik adalah pewaris sah dari tahta Johor. Belanda
kemudian mematahkan wilayah kekuasaan Raja Haji tahun 1784 yang penguasaan di
Riau. Kemudian menyingkirkan Raja Muda Ali. Mereka kemudian menyingkir ke
Lingga, Mempawah menuju Sukadana.
Kembali
menelusuri jejak Bugis di Pantai Timur Sumatera. Christian Pelras kemudian
menyebutkan, pertemuan pengaruh awal Melayu dimulai dari Kerajaan Melayu.
Setelah
kejatuhan Makassar oleh Belanda tahun 1666, bangsawan Bugis memimpin
petualangan ke wilayah Barat seperti pantai timur Sumatera dan pesisir
Kalimantan, Semenanjung Melayu, Riau, Jambi dan Bengkulu. Jejaknya masih bisa
diikuti hingga kini.
Pembukaan
pemukiman Bugis besar-besaran kemudian didukung oleh Penguasa Johor yang
berfikir maju. Dan semakin maju ketika mendirikan Johor Baru tahun 1878.
Semakin
banyaknya bermukim di Johor kemudian ketika Belanda menguasa seluruh Sulawesi
Selatan tahun 1906. Selain itu kemudian menyebar dan menghuni daerah-daerah
pantai timur Sumatera. Mereka kemudian mulai mengelola hutan bakau, Teknologi
pertanian, arsitektur kayu, tenun, memasak, teknologi besi sebagai perbandingan
budaya material dan menanam kelapa. Kopra kemudian sangat laku. Tahun 1929
dikenal sebagai tahun keemasan.
Mereka
kemudian mengenal istilah “parit”. “Parit” kemudian sebagai tanda pemukiman. Atau
sebagai “batas tanah”. Seperti ““mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok
mati” (hilir Jambi). Atau “takuk pohon”. “tuki”, “sak Sangkut”, “hilang celak.
Jambu Kleko”. Atau Cacak Tanam. Jambu Kleko”. Ada juga menyebutkan “Lambas”
(Uluan Jambi)
Di
Desa Sungsang, dikenal “kepala parit”. Kepala Parit adalah “kelompok yang
membuka areal. Berbagai Desa-Desa di Tanjabbar dan Tanjabtim kemudian mengenal
istilah “parit”.
Namun
di Desa Lumahan, Kepala parit sebagai Kepala Pemerintahan.
Di
Desa Sungai Beras dikenal “Parit
Alamsyah di buka Oleh Bapak Alamsyah, Parit Sungai Buluh Dibuka Oleh Bapak Ali
Flores, Parit Sungai Budaya Dibuka Oleh Bapak Sa’ka, Parit Senang Dibuka Oleh
Bapak Renggeng, Sungai Beras di buka Oleh Bapak Arbain, Parit Teluk Pagar di
buka Oleh Bapak H. Kusnan, Parit Gudang di buka Oleh Bapak Ismail Ab, Sungai
Bamban Dibuka Oleh Abdus Shomad, Sungai Beringin di buka Oleh Bapak Dahlan,
Sungai Apuk di buka Oleh Induk Apuk, Parit Sinar Sulawesi di buka Oleh Bapak H.
Saleh, Sungai Gudang di buka Oleh Bapak Asnawi, Parit Jawa timur di buka
Oleh Bapak Thayib, Sunga Papan di buka oleh Bapak Lauduk, Parit Selamat
di buka oleh Ambo Tuo,Sungai Nibung di buka Oleh Bapak Gadur, Teluk Perancis
Dibuka Oleh H. Kubek, Parit Antara Dibuka Oleh Bapak Zaini, Parit Harapan di
buka Oleh Bapak Harpan, Parit Buta-Buta di buka Bapak Lacong.
Dalam
perkembangannya, istilah “pasang surut” kemudian dikenal sebagai lahan basah.
Peraturan perundang-undangan kemudian membagi pasang surut menjadi kawasan
gambut berdasarkan PP No. 71 Tahun 2014 dan PP No. 57 Tahun 2016. Dan Rawa
berdasarkan PP No. 73 Tahun 2013. Turunan dari UU No. 32 Tahun 2009. Rawa dan gambut disebutkan
sebagai kawasan penting (kawasan esensial) bersama dengan Kars, Sauna.
Tema gambut kemudian menarik perhatian public sejak
terjadi kebakaran massif sejak tahun 2006. Kejadian yang terus berulang dan
menjadi horror tahun 2015. Dengan menghanguskan 2 juta hektar. Mengirimkan asap
ke Singapura dan Malaysia. Indonesia kemudian menjadi geger.
Namun jejak di Jambi yang ditandai dengan istilah “parit” adalah jejak peradaban Bugis di
Jambi. Teknologi yang dibawa ke Jambi hilir yang kemudian memperkaya
pengelolaan Gambut di Jambi.
Dengan
teknologi pertanian dilahan pasang surut mampu menghindarkan dari kebakaran
massif tahun 2013 dan 2015.
Baca juga : Gambut dari pendekatan Etnografi
Dimuat di Harian Independent, 6 Oktober 2018.