03 Oktober 2018

opini musri nauli : PEMBOHONG


Penyebar berita palsu (Hoax), pembohong adalah sifat untuk mengukur kepercayaan orang. Dengan hoax bisa kemudian menyebabkan rush (penarikan uang besar-besaran). Dengan hoax kemudian banyak peristiwa yang menyebabkan miris setelah diketahui kebenarannya.

Hoax paling memalukan adalah ketika Pilpres 2014. Dengan hasil quick count dari lembaga survey aba-abal menyebabkan kegaduhan luar biasa. Berbagai lembaga survey kemudian dipertanyakan metodologi tata cara pengambilan sampel, sampling error hingga berbagai matematika kemudian dipertanyakan. Hingga sekarang hoax itu paling memalukan dalam jagat politik kontemporer.

Dalam lapangan praktek peradilan, kekuatan persidangan justru dari keterangan saksi. Saksi yang berbohong mempunyai konsekwensi hukum. Selain dapat dipertanggungjawabakan secara hukum dengan tuduhan saksi palsu (memberikan keterangan palsu), putusan terhadap perkara bisa menjadi sesat. Sehingga banyak sekali kemudian putusan yang kemudian disesalkan dikemudian hari.

Kasus Sengkon – Karta yang kemudian dihukum mati kemudian terbukti bukan dia sebagai pelakunya. Namun Sengkon dan karta yang kemudian sudah dieksesi mati tidak dapat mengembalikan nyata. Sehingga skandal ini paling memalukan dalam dunia hukum. Menghukum mati terhadap bukan pelaku. Kekecewaan kemudian dibuka mekanisme terhadap Peninjauan kembali terhadap berbagai kasus yang putusannya hukum mati.

Kembali kepada kesaksian dipersidangan. Kesaksian yang tidak sesuai dengna keadaan sebenarnya (saksi palsu) pernah menyeret Miryam S Haryani dalam kasus E-KTP yang menghebohkan. Akibat memberikan keterangan palsu dan kemudian sudah diingatkan oleh Hakim, Miryam kemudian harus masuk penjara akibat “kebohongannya”.

Menyebar berita bohong mempunyai konsekwensi hukum. UU ITE sudah mengintai. Entah berapa banyak yang kemudian harus bertanggungjawab ketika menyebarkan berita bohong. Meringkuk dalam penjara terhadap “kebohongan” didunia maya. Entah Buni Yani, Jonru Ginting hingga beberapa nama yang terpandang dimasyarakat.

Dalam lapangan agama, sang pembohong tidak dapat dijadikan panutan. Entah mengikuti jejaknya, meneladani sikapnya ataupun cuma mengamini pendapatnya tentang agama. Cara islam menyaring terhadap fatwa-fatwa dapat dirujuk selain melihat perilakunya sehari-hari juga melihat langsung dari hubungan fatwa. Hubungannya dapat diketahui dengna memahami hubungan dengan perawi. Atau penutur fatwa. Cara ketat ini berhasil menjaga Islam dari fatwa-fatwa yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam lapangan masyarakat, justru lebih ketat lagi. “Sekali lancung, seumur hidup orang tidka percaya” demikian pepatah untuk mengingatkan agar tidak boleh berkata bohong.

“Bang photo abang tuh habis operasi plastic atau lebam akibat dipukul ?

“Husshh.. jangan ngaco.. Itu photoshop.. !!!