Penyebar
berita palsu (Hoax), pembohong adalah sifat untuk mengukur kepercayaan orang.
Dengan hoax bisa kemudian menyebabkan rush (penarikan uang besar-besaran).
Dengan hoax kemudian banyak peristiwa yang menyebabkan miris setelah diketahui
kebenarannya.
Hoax
paling memalukan adalah ketika Pilpres 2014. Dengan hasil quick count dari
lembaga survey aba-abal menyebabkan kegaduhan luar biasa. Berbagai lembaga
survey kemudian dipertanyakan metodologi tata cara pengambilan sampel, sampling
error hingga berbagai matematika kemudian dipertanyakan. Hingga sekarang hoax
itu paling memalukan dalam jagat politik kontemporer.
Dalam
lapangan praktek peradilan, kekuatan persidangan justru dari keterangan saksi.
Saksi yang berbohong mempunyai konsekwensi hukum. Selain dapat
dipertanggungjawabakan secara hukum dengan tuduhan saksi palsu (memberikan
keterangan palsu), putusan terhadap perkara bisa menjadi sesat. Sehingga banyak
sekali kemudian putusan yang kemudian disesalkan dikemudian hari.
Kasus
Sengkon – Karta yang kemudian dihukum mati kemudian terbukti bukan dia sebagai
pelakunya. Namun Sengkon dan karta yang kemudian sudah dieksesi mati tidak
dapat mengembalikan nyata. Sehingga skandal ini paling memalukan dalam dunia
hukum. Menghukum mati terhadap bukan pelaku. Kekecewaan kemudian dibuka
mekanisme terhadap Peninjauan kembali terhadap berbagai kasus yang putusannya
hukum mati.
Kembali
kepada kesaksian dipersidangan. Kesaksian yang tidak sesuai dengna keadaan
sebenarnya (saksi palsu) pernah menyeret Miryam S Haryani dalam kasus E-KTP
yang menghebohkan. Akibat memberikan keterangan palsu dan kemudian sudah
diingatkan oleh Hakim, Miryam kemudian harus masuk penjara akibat “kebohongannya”.
Menyebar berita bohong mempunyai
konsekwensi hukum. UU ITE sudah mengintai. Entah berapa banyak yang kemudian
harus bertanggungjawab ketika menyebarkan berita bohong. Meringkuk dalam penjara
terhadap “kebohongan” didunia maya. Entah Buni Yani, Jonru Ginting hingga
beberapa nama yang terpandang dimasyarakat.
Dalam lapangan agama, sang pembohong
tidak dapat dijadikan panutan. Entah mengikuti jejaknya, meneladani sikapnya
ataupun cuma mengamini pendapatnya tentang agama. Cara islam menyaring terhadap
fatwa-fatwa dapat dirujuk selain melihat perilakunya sehari-hari juga melihat
langsung dari hubungan fatwa. Hubungannya dapat diketahui dengna memahami
hubungan dengan perawi. Atau penutur fatwa. Cara ketat ini berhasil menjaga
Islam dari fatwa-fatwa yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam
lapangan masyarakat, justru lebih ketat lagi. “Sekali lancung, seumur hidup
orang tidka percaya” demikian pepatah untuk mengingatkan agar tidak boleh
berkata bohong.
“Bang
photo abang tuh habis operasi plastic atau lebam akibat dipukul ?
“Husshh..
jangan ngaco.. Itu photoshop.. !!!