24 Juni 2019

opini musri nauli : Simalaka Zonasi



Akhir-akhir ini, issu zonasi terhadap Sekolah menjadi wacana public yang memantik kontroversial. Zonasi (dulu dikenal dengan istilah rayon) adalah menempatkan anak-anak disekitar sekolah didekatnya. Sehingga tidak terjadi penumpukkan satu sekolah dibandingkan dengan sekolah lain.
Kebijakan Zonasi dilatarbelakangi akibat adanya “Sekolah favorit” dan “sekolah unggulan’. Sekolah favorit atau Sekolah unggulan menyebabkan satu sekolah menjadi “pilihan utama” dibandingkan dengan sekolah yang biasa-biasa saja.

Dengan penumpukan satu sekolah, menyebabkan sekolah menjadi unggul yang menjadi perhatian dari orang tua untuk memasukkan anaknya sekolah. Entah dengan “fasilitas” ataupun berbagai keunggulan dibandingkan dengan sekolah lain. Baik akreditasi, guru yang sesuai dengan bidang pelajaran ataupun fasilitas-fasilitas lainnya.

Tidak dapat dipungkiri, anak-anak yang mempunyai kemampuan baik kemudian “menumpuk” dalam satu sekolah. Sehingga sekolah unggulan kemudian menghasilkan mutu-mutu yang baik. Baik karena “anak-anak” sekolah yang rata-rata baik dikumpulkan, guru maupun fasilitas lainnya.

Dalam interaksi penulis dengan kisah-kisah menyekolahkan anak, perhatian utama dari guru yang disekolah unggulan menjadi perhatian penulis. Para guru “rajin” mengabarkan perkembangan (apalagi sudah ada kemajuan komunikasi) murid. Sehingga “control” menjadi mudah terhadap anak-anak disekolah.

Bahkan dalam cerita dari berbagai teman-teman, bahkan sekolah-sekolah swasta justru mempunyai program yang dapat dimonitor setiap saat kedua orangnya.

Namun yang menjadi perhatian penulis bukan semata-mata itu. Anak-anak pintar, mempunyai wawasan luas, dilahirkan dari keluarga terpandang mempunyai “kecendrungan” ingin berkumpul dengan teman-teman yang mempunyai kualitas yang sama. Entah dalam “kepintaran” yang sama ataupun wawasan dan cara pandang yang setara.

Dalam komunikasi dengan Guru BP, penulis menemukan jawaban. Mengapa anak-anak pintar “tidak boleh” digabungkan dengan anak-anak yang kepintarannya “biasa-biasa” saja.

“Anak pintar sering iseng terhadap pelajaran yang dikuasainya, pak”, kata Guru BP ketika mengabarkan keusilan putra saya. Sayapun tersenyum. Tidak membenarkan perbuatannya. Namun dapat memahami.

“Kami malas berteman dengannya. Sudah sering dibantu PR matematika, tapi dia lambat nian mengertinya”, protes putriku ketika kutanyakan mengapa dia enggan bergaul dengan teman-teman sebaya.

“Penjelasan” dari Guru BP dan “protes putriku kemudian menemukan “benang merah”. Mereka enggan bergaul dengan teman-teman sebayanya yang “kurang menguasai pelajaran matematika”. “Bosan” ditanya terus dan minta dibuatkan PR. Demikian kesanku.

Kembali ke sekolah “unggulan” dan sekolah “favorit’. Menempatkan anak-anak pintar dalam satu komunitas adalah sebuah bentuk agar mereka menempatkan diri sehingga bisa mengembangkan diri. Namun apabila kemudian “dia’ tidak menemukan ruangnya, “keusilan” tidak dapt dihindarkan. Bahkan dia “jenuh” menunggu kawan-kawan untuk mengimbanginya. Sehingga “kesan cuek” ataupun antipati dengan pergaulan merupakan pandangan yang tidak dapat dibenarkan.

Namun apabila tidak ada upaya “serius” membenahi” sekolah-sekolah disekitar murid tinggal seperti “meningkatkan” kemampuan anak-anak mengembangkan diri, memenuhi guru-guru yang kualifikasi sesuai dengan mata ajarnya, adanya kreatifitas menggali potensi pengembangan diri tidak dapat dihindarkan. Sekolah harus terpacu untuk mengimbangi kebutuhan mendasar. Dan negara harus mampu memenuhi kewajibannya.

Penulis teringat salah satu tokoh pendidikan. Menerima pendidikan adalah hak setiap anak-anak Indonesia. Dan itu hak dasar. Negara harus berkewajiban memenuhinya.

Yang harus dilakukan, negara harus memberikan “perhatian” yang sama, dukungan guru yang mumpuni disetiap sekolah, fasilitas yang mumpuni. Sehingga kedepan tidak adalah “keistimewaan’ satu sekolah dibandingkan dengan sekolah yang lain.

Namun apabila kita berkeinginan untuk “mendapatkan” pendidikan yang “wah”, maka itu adalah fasilitas yang berakibat “besarnya” biaya yang harus dikeluarkan. Sehingga sekolah-sekolah unggulan tidak dapat dipungkiri menjadi “pilihan” utama dari orang tua untuk memberikan pendidikan yang baik.  

Bukankah “harga kopi” cuma Rp 5 ribu dapat kita nikmati di warung kopi. Namun “Sedikit” sekali yang protes apabila kita membeli “black coffee” atau Capucino yang bisa mencapai 10 x dari harga yang seharusnya ?