Akhir-akhir
ini, issu zonasi terhadap Sekolah menjadi wacana public yang memantik
kontroversial. Zonasi (dulu dikenal dengan istilah rayon) adalah menempatkan
anak-anak disekitar sekolah didekatnya. Sehingga tidak terjadi penumpukkan satu
sekolah dibandingkan dengan sekolah lain.
Kebijakan
Zonasi dilatarbelakangi akibat adanya “Sekolah favorit” dan “sekolah unggulan’.
Sekolah favorit atau Sekolah unggulan menyebabkan satu sekolah menjadi “pilihan
utama” dibandingkan dengan sekolah yang biasa-biasa saja.
Dengan
penumpukan satu sekolah, menyebabkan sekolah menjadi unggul yang menjadi
perhatian dari orang tua untuk memasukkan anaknya sekolah. Entah dengan “fasilitas”
ataupun berbagai keunggulan dibandingkan dengan sekolah lain. Baik akreditasi,
guru yang sesuai dengan bidang pelajaran ataupun fasilitas-fasilitas lainnya.
Tidak
dapat dipungkiri, anak-anak yang mempunyai kemampuan baik kemudian “menumpuk”
dalam satu sekolah. Sehingga sekolah unggulan kemudian menghasilkan mutu-mutu
yang baik. Baik karena “anak-anak” sekolah yang rata-rata baik dikumpulkan,
guru maupun fasilitas lainnya.
Dalam
interaksi penulis dengan kisah-kisah menyekolahkan anak, perhatian utama dari
guru yang disekolah unggulan menjadi perhatian penulis. Para guru “rajin”
mengabarkan perkembangan (apalagi sudah ada kemajuan komunikasi) murid.
Sehingga “control” menjadi mudah terhadap anak-anak disekolah.
Bahkan
dalam cerita dari berbagai teman-teman, bahkan sekolah-sekolah swasta justru
mempunyai program yang dapat dimonitor setiap saat kedua orangnya.
Namun
yang menjadi perhatian penulis bukan semata-mata itu. Anak-anak pintar,
mempunyai wawasan luas, dilahirkan dari keluarga terpandang mempunyai “kecendrungan”
ingin berkumpul dengan teman-teman yang mempunyai kualitas yang sama. Entah
dalam “kepintaran” yang sama ataupun wawasan dan cara pandang yang setara.
Dalam
komunikasi dengan Guru BP, penulis menemukan jawaban. Mengapa anak-anak pintar “tidak
boleh” digabungkan dengan anak-anak yang kepintarannya “biasa-biasa” saja.
“Anak
pintar sering iseng terhadap pelajaran yang dikuasainya, pak”, kata Guru BP
ketika mengabarkan keusilan putra saya. Sayapun tersenyum. Tidak membenarkan
perbuatannya. Namun dapat memahami.
“Kami
malas berteman dengannya. Sudah sering dibantu PR matematika, tapi dia lambat
nian mengertinya”, protes putriku ketika kutanyakan mengapa dia enggan bergaul
dengan teman-teman sebaya.
“Penjelasan”
dari Guru BP dan “protes putriku kemudian menemukan “benang merah”. Mereka
enggan bergaul dengan teman-teman sebayanya yang “kurang menguasai pelajaran
matematika”. “Bosan” ditanya terus dan minta dibuatkan PR. Demikian kesanku.
Kembali
ke sekolah “unggulan” dan sekolah “favorit’. Menempatkan anak-anak pintar dalam
satu komunitas adalah sebuah bentuk agar mereka menempatkan diri sehingga bisa
mengembangkan diri. Namun apabila kemudian “dia’ tidak menemukan ruangnya, “keusilan”
tidak dapt dihindarkan. Bahkan dia “jenuh” menunggu kawan-kawan untuk
mengimbanginya. Sehingga “kesan cuek” ataupun antipati dengan pergaulan
merupakan pandangan yang tidak dapat dibenarkan.
Namun
apabila tidak ada upaya “serius” membenahi” sekolah-sekolah disekitar murid
tinggal seperti “meningkatkan” kemampuan anak-anak mengembangkan diri, memenuhi
guru-guru yang kualifikasi sesuai dengan mata ajarnya, adanya kreatifitas
menggali potensi pengembangan diri tidak dapat dihindarkan. Sekolah harus
terpacu untuk mengimbangi kebutuhan mendasar. Dan negara harus mampu memenuhi
kewajibannya.
Penulis
teringat salah satu tokoh pendidikan. Menerima pendidikan adalah hak setiap
anak-anak Indonesia. Dan itu hak dasar. Negara harus berkewajiban memenuhinya.
Yang
harus dilakukan, negara harus memberikan “perhatian” yang sama, dukungan guru
yang mumpuni disetiap sekolah, fasilitas yang mumpuni. Sehingga kedepan tidak
adalah “keistimewaan’ satu sekolah dibandingkan dengan sekolah yang lain.
Namun
apabila kita berkeinginan untuk “mendapatkan” pendidikan yang “wah”, maka itu
adalah fasilitas yang berakibat “besarnya” biaya yang harus dikeluarkan.
Sehingga sekolah-sekolah unggulan tidak dapat dipungkiri menjadi “pilihan”
utama dari orang tua untuk memberikan pendidikan yang baik.
Bukankah
“harga kopi” cuma Rp 5 ribu dapat kita nikmati di warung kopi. Namun “Sedikit”
sekali yang protes apabila kita membeli “black coffee” atau Capucino yang bisa
mencapai 10 x dari harga yang seharusnya ?