Dulu
saya tidak mengerti. Mengapa orang-orang tua kampong menyekolahkan anaknya di
pesantren sejak tamat SD.
Terbayang.
Masa kanak-kanak harus berpisah, jauh dari orang tua, merantau ke negeri yang
belum pernah didatangi.
Pertanyaan
mengganggu pernah saya tanyakan.
“Tuk,
mengapa anak baru tamat SD langsung masuk ke pesantren ? Bukankah dia masih
anak-anak dan mesti berpisah dari orang tua ?”, tanya saya heran.
“Sebelum
dia mengenal dunia, dia harus belajar ilmu agama. Ilmu umum nanti saja menyusul
setelah dia sudah besar”. Jawaban yang tidak saya mengerti saat itu.
Pelan
tapi pasti, ucapan sederhana sang datuk mulai saya pahami.
Ketika
generasi diusia sekolah SMP-SMA yang cuma “tau mengaji” (itupun guru ngaji didatangkan), dia baru belajar agama setelah “masa
kuliah”. Masa dimana “usia seharusnya belajar ilmu umum”.
Apakah
salah ? Tidak salah.
Namun
berbeda belajar agama di kampong. Tradisi “ngaji” di masjid tidak mungkin
ditemukan diajarkan “guru ngaji privat’. Dia tidak bertemu dengan kawan-kawan
sebayanya dalam kegembiraan “suasana agama’.
Entah
“berebut memukul bedug” menjelang Ramadhan, berebutan mencium tangan sang
penceramah, buat lampu dari botol untuk semarak Ramadhan. Suasana yang
menciptakan keguyuban beragama yang kemudian membekas. Saya lebih suka
menyebutkannya sebagai “ngaji” sore.
Di
langgar (masjid) kecil, pecutan rotan tidak pernah tinggal. Sehingga “sangat
menghormati” guru. Apalagi orang tua.
Selain
itu, “diusia” informasi “penting” masuk, dia hanya mengenal agama. Sehingga “cara
beragama” menjadi toleran. Saling menghargai, menghormati yang tua, guru dan
orang tua.
Jadi.
Pendidikan agama bukan sekedar pengetahuan tentang agama. Tapi juga diimbangi
dengan sikap hormat kepada guru, orang yang tua. Apalagi orang tua.
Cara
ini tidak ditemukan didalam suasana “pengajian
privat”. Apalagi ngaji dan belajar agama di bangku kuliahan.
Namun
pelan tapi pasti. Saya kemudian memahami. Suasana “ngaji” dan belajar agama di
bangku kuliah kemudian tidak menemukan “rasa menghormati’. Menghormati orang
lain, guru, orang yang tua dan orang tua.
Lihatlah.
Bagaimana kampus-kampus elite kemudian menjadi “dogma” yang mengkhawatirkan.
Pengajian “yang tidak diimbangi’ dengan “rasa menghormati’ berubah menjadi “cacian,
makian, hinaan”, kepada tokoh-tokoh agama.
Dengan
gampang mereka “membullly’, “mempersoalkan ilmu agama dari tokoh agama”,
menghina bahkan tidak sungkan untuk “merendahkan”. Rasa yang tidak mungkin
dimiliki para “murid” yang mengaji sore ataupun mereka yang belajar agama di
pesantren.
Mereka
yang “baru belajar mengaji”, belajar dari youtube ataupun dari internet dengan
gampang “mempersoalkan” ilmu para tokoh-tokoh agama kondang.
Tokoh
selevel “Quraish Shihab” yang membuat tafsir Al-Misbah 15 volume, 8605 halaman,
panjangnya “sedepa” sejajar dengan Tafsir Al yang beratnya mencapai 15 kg. Dua
tokoh agama ini tidak mungkin dimentahkan dengan orang yang baru belajar ngaji.
Itupun “ngaji” dari internet.
Atau
dengan gampang “menghina KH. Maimun Zubair yang mengarang kitab “Al-Ihtijajus Syafiiyah ‘Alar Rawafidh al-Imamiyyah. Kitab klasik yang
dituliskan dengan “arab tanpa baris” (biasa juga disebut dengan Arab gundul).
Jangankan
menuliskan kitab dengan menggunakan aksara “arab
gundul”. Membacanya saja dibutuhkan berbagai ilmu bantu yang sangat banyak.
Apalagi mempelajarinya. Tidak mungkin dipelajari dari “internet”, “bertanya
dengan google”, belajar ngaji dari “guru ngaji privat”, dan dipelajari pas masa
kuliah. Sebuah paradok untuk menutupi kebodohan.
Atau
dengan enteng “membully” Said Aqil Siroj yang menuliskan Disertasi dari pendekata
Tasawuf yang berjudul ”Shilatullah
bil Kaun fit Tasawwuf al-Falsafi” (Relasi Tuhan dengan Ciptaan Menurut
Tasawuf Falsafi).
Padahal menuliskan “tasawuf” adalah “puncak”
dari berbagai ilmu pengetahuan didalam Islam. Tidak hanya menguasai hukum islam
saja, namun berbagai dimensi ilmu Islam yang komprehensif.
Akibat
“mengaji” dari internet, tanpa guru “mendampingi” kalaupun menghasilkan ilmu
namun tidak cukup waktu untuk mempersoalkan “ketiga tokoh agama”. Selain
rentang yang panjang (kesemuanya
dilahirkan dari ulama besar, dari kecil sudah dididik ilmu agama, belajar agama
yang panjang dan menghasilkan karya-karya besar), “kecongkakan” mempersoalkan
ilmu para tokoh agama kemudian menimbulkan huru-hara ditengah masyarakat.
Bukankah
ada tokoh agama yang menafsirkan “kafir’ yang tidak bersandarkan ilmu yang
cukup. Bahkan menjadi tertawaan para santri di tingkat dasar.
Ataupun
ada yang mengaku “tokoh agama” dengan enteng tidak mengetahui jumlah ayat Al –
Isra. Dengan enteng dia menyebutkan surat Al-Isra ayat 176. Padahal para santri
pasti paham. Jumlah Surat Al-Isra hanya berjumlah 111 ayat. Bukan 176 ayat.
Berbagai
“dagelan” yang ditunjukkan “mengaku” tokoh agama yang tidak berangkat dari “ngaji”
yang baik selain menimbulkan bahan tertawaan, menimbulkan huruhara ditengah
masyarakat justru akan menimbulkan kesesatan baru.
Kalaupun
ingin menjadi dan bercita-cita “ulama” ataupun menjadi “tokoh agama”,
belajarlah dari tempat yang memang dididik belajar agama. Yang paling utama
dari pesantren. Berkelilinglah mencari guru-guru yang terbaik. Dari satu tempat
ketempat lain. Selain jelas dari sumber ilmunya, gurunya memang mumpuni juga tidak
mudah menyalahkan segala sesuatu.
Para
pengajar selain “kaya ilmu agama” juga diwariskan sikap “tawadhu”, rendah hati,
sangat menghormati guru dan sangat toleran menghargai sesame manusia.
Sehingga
“usia emas” yang kemudian diisi untuk belajar ilmu agama maka dia tidak mudah
uring-uringan, memandang segala sesuatu secara komprehensif dan tetap rendah
hati.
Ilmu
kampong masih tetap relevan menghadapi sikap mau menang sendiri dan sama sekali
tidak menghargai guru.