Menyebutkan
nama Sungai Paur tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang Desa Lubuk
Kambing. Berdasarkan Perda Kabupaten Tanjung Jabung Barat No. 20 Tahun 2011
maka Desa Lubuk Kambing mengalami pemekaran. Desa Sungai Paur kemudian menjadi
Desa. Sehingga masyarakat Desa Lubuk Kambing dan Desa Sungai Paur mempunyai
keterikatan kekerabatan yang kuat. Hingga sekarang.
Desa
Sungai Paur terdiri dari Dusun Sungai Paur (sering juga disebut Dusun 1), Dusun
Sungai Jelatang (Biasa disebut Dusun 2) dan Dusun Ibul (Sering juga disebut
Dusun 3).
Selain
Sungai Paur, Sungai Ibul juga terdapat Sungai Semantung. Sungai Semantung
adalah nama Sungai. Anak Sungai dari Sungai Ibul.
Ibul
adalah nama nenek moyang (muyang) yang bernama Ibul. “Muyang” yang kemudian
tinggal disekitar Sungai Semantung dan Sungai Ibul. Untuk menjaga anak-anak dan
keturunan dari Ibul sebagai nenek moyang, anak-anak yang kecil kemudian
dibuatkanlah “buai” (tempat ayunan atau tempat buaian untuk menenangkannya.
Didalam
mengelola tanah, masyarakat mempunyai pengetahuan yang masih digunakan
masyarakat hingga kini. Biasa disebut sebagai “ico pakai”.
Ico pakai adalah bahasa adat yang berarti kebiasaan
yang berlaku pada suatu tempat dalam Wilayah Adat[1].
“Ico Pakai” (Penerapan) adat istiadatnya yang disebut “Tak Lapuk di Hujan,
Tak Lekang di Panas”[2].
Istilah Ico Pakai dapat ditemukan didalam Perda Provinsi Jambi No. 2 Tahun
2014, Perda Kotamadya Jambi No. 4 Tahun 2014 dan Perda Kabupaten Tanjung Jabung
Timur No. 5 Tahun 2014, Perda Kabupaten Bungo No. 9 Tahun 2007.
Untuk
menentukan ukuran tanah masyarakat mengenal istilah depa (depo). Satu depo
adalah 1,7 meter. Satu hamparan dengan ukuran depo dikenal bidang.
Terhadap
tanah yang diberikan maka harus ditandai. Biasa dikenal sebagai “mentaroan”. Selain “mentaroan” biasa disebut juga “sepadan
tanah”. Ada yang menyebutkan “pinang batas”. Atau “pinang sepadan”.
Mentaro
juga dikenal di Marga Kumpeh Ulu dan Marga Kumpeh. Mentaro ditandai dengan
tanaman yang ditanami berjejer. Di daerah ulu biasa diseut sebagai “pinang belarik. Selain “mentaroan” biasa disebut juga “sepadan tanah”.
Tanah
yang telah diberikan kemudian harus ditanami. Tanaman tua seperti “jengkol”,
durian, pinang”. Menjelang tanaman tua menghasilkan, maka sering ditanami padi
ataupun sayur-sayuran.
Masyarakat
mengenal tanaman padi local seperti Kuku balam, padi rias. Rata-rata berumur 5-6
bulan.
Untuk
lahan seluas 1 ha diperlukan bibit padi 4 kaleng. 1 kaleng ditaksir Rp
400.000,-.
Terhadap
tanah yang tidak ditanami maka disebut sebagai “tanah liaran”. (tanah terlantar).
“tanah liaran” adalah sarang hama. Sehingga mengganggu tanah disekitarnya.
Yang
ditandai dengan “belukar”. Biasanya “tanah terlantar” sekitar 3-5 tahun.
Sehingga terhadap tanah yang kemudian tidak ditanami 3-5 tahun maka status
tanah menjadi hilang.
Dalam
hukum tanah Melayu Jambi, “belukar”
dikategorikan sebagai “belukar mudo”
dan belukar tuo”. Ada juga
menyebutkan sebagai “belukar lasah”. Ada
juga menyebutkan “perimbun”. Ada juga
menyebutkan “empang krenggo” atau “larangan krenggo”.
Di
daerah uluan, belukar (baik belukar mudo
maupun belukar tuo) ditandai dengan seloko “hilang celak jambu kleko”. Ada juga menyebutkan sebagai “tunggul pemarasan’.
Setiap
“mentaroan” maka diwajibkan oleh pemilik tanah[3].
Sebagai tanda dan identitas terhadap kepemilikan terhadap tanah.
Sehingga
“mentaroan” tidak ada lagi maka tanah
kemudian dikembalikan. Dan dapat digunakan kepada orang lain.
Desa
Sungai Paur kemudian masuk kedalam Kecamatan Renah Mendaluh, Kabupaten Tanjung
Jabung Barat.
Baca : Marga Tungkal Ulu