18 Juli 2019

opini musri nauli : Sungai Paur




Menyebutkan nama Sungai Paur tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang Desa Lubuk Kambing. Berdasarkan Perda Kabupaten Tanjung Jabung Barat No. 20 Tahun 2011 maka Desa Lubuk Kambing mengalami pemekaran. Desa Sungai Paur kemudian menjadi Desa. Sehingga masyarakat Desa Lubuk Kambing dan Desa Sungai Paur mempunyai keterikatan kekerabatan yang kuat. Hingga sekarang.

Desa Sungai Paur terdiri dari Dusun Sungai Paur (sering juga disebut Dusun 1), Dusun Sungai Jelatang (Biasa disebut Dusun 2) dan Dusun Ibul (Sering juga disebut Dusun 3).

Selain Sungai Paur, Sungai Ibul juga terdapat Sungai Semantung. Sungai Semantung adalah nama Sungai. Anak Sungai dari Sungai Ibul.

Ibul adalah nama nenek moyang (muyang) yang bernama Ibul. “Muyang” yang kemudian tinggal disekitar Sungai Semantung dan Sungai Ibul. Untuk menjaga anak-anak dan keturunan dari Ibul sebagai nenek moyang, anak-anak yang kecil kemudian dibuatkanlah “buai” (tempat ayunan atau tempat buaian untuk menenangkannya.

Didalam mengelola tanah, masyarakat mempunyai pengetahuan yang masih digunakan masyarakat hingga kini. Biasa disebut sebagai “ico pakai”.

Ico pakai adalah bahasa adat yang berarti  kebiasaan yang berlaku pada suatu tempat dalam Wilayah Adat[1]. Ico Pakai” (Penerapan) adat istiadatnya yang disebut “Tak Lapuk di Hujan, Tak Lekang di Panas”[2]. Istilah Ico Pakai dapat ditemukan didalam Perda Provinsi Jambi No. 2 Tahun 2014, Perda Kotamadya Jambi No. 4 Tahun 2014 dan Perda Kabupaten Tanjung Jabung Timur No. 5 Tahun 2014, Perda Kabupaten Bungo No. 9 Tahun 2007.

Untuk menentukan ukuran tanah masyarakat mengenal istilah depa (depo). Satu depo adalah 1,7 meter. Satu hamparan dengan ukuran depo dikenal bidang.  

Terhadap tanah yang diberikan maka harus ditandai. Biasa dikenal sebagai “mentaroan”. Selain “mentaroan” biasa disebut juga “sepadan tanah”. Ada yang menyebutkan “pinang batas”. Atau “pinang sepadan”.

Mentaro juga dikenal di Marga Kumpeh Ulu dan Marga Kumpeh. Mentaro ditandai dengan tanaman yang ditanami berjejer. Di daerah ulu biasa diseut sebagai “pinang belarik. Selain “mentaroan” biasa disebut juga “sepadan tanah”.

Tanah yang telah diberikan kemudian harus ditanami. Tanaman tua seperti “jengkol”, durian, pinang”. Menjelang tanaman tua menghasilkan, maka sering ditanami padi ataupun sayur-sayuran.

Masyarakat mengenal tanaman padi local seperti Kuku balam, padi rias. Rata-rata berumur 5-6 bulan.

Untuk lahan seluas 1 ha diperlukan bibit padi 4 kaleng. 1 kaleng ditaksir Rp 400.000,-.

Terhadap tanah yang tidak ditanami maka disebut sebagai “tanah liaran”. (tanah terlantar). “tanah liaran” adalah sarang hama. Sehingga mengganggu tanah disekitarnya.

Yang ditandai dengan “belukar”. Biasanya “tanah terlantar” sekitar 3-5 tahun. Sehingga terhadap tanah yang kemudian tidak ditanami 3-5 tahun maka status tanah menjadi hilang.

Dalam hukum tanah Melayu Jambi, “belukar” dikategorikan sebagai “belukar mudo” dan belukar tuo”. Ada juga menyebutkan sebagai “belukar lasah”. Ada juga menyebutkan “perimbun”. Ada juga menyebutkan “empang krenggo” atau “larangan krenggo”.

Di daerah uluan, belukar (baik belukar mudo maupun belukar tuo) ditandai dengan seloko “hilang celak jambu kleko”. Ada juga menyebutkan sebagai “tunggul pemarasan’.

Setiap “mentaroan” maka diwajibkan oleh pemilik tanah[3]. Sebagai tanda dan identitas terhadap kepemilikan terhadap tanah.

Sehingga “mentaroan” tidak ada lagi maka tanah kemudian dikembalikan. Dan dapat digunakan kepada orang lain.

Desa Sungai Paur kemudian masuk kedalam Kecamatan Renah Mendaluh, Kabupaten Tanjung Jabung Barat.








            [1] Perda Provinsi Jambi No. 2 Tahun 2014 Tentang Lembaga Adat Provinsi Jambi dan Perda Kota Jambi No. 4 Tahun 2014.
            [2] Budhi Vrihaspathi Jauhari dan Eka Putra, Senarai Sejarah Kebudayaan Suku Kerinci, Bina Potensia Aditya Yodha Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi, 2012, hal. 87-88
     [3] Desa Sungai Paur, 15 Juli 2019