Menulis adalah pelajaran yang paling banyak diajarkan. Baik dimulai dari bangku kelas 1 SD hingga ke perguruan tinggi. Sehingga dipastikan setiap orang “yang pernah” sekolah dapat menulis.
Dengan tulisan maka setiap pemikiran dapat dinikmati generasi selanjutnya. Dengan tulisan orang akan mudah mengetahui cara pandang, pengetahuan tentang sebuah tema. Bahkan dia dapat memutar kembali memorinya.
Bukankah sejak remaja dikenal buku “Diari” untuk mencatat kegiatan sehari-hari. Termasuk kegundahan. Baik karena dimarahin ibu karena telat bangun, lupa mengerjakan PR. Bahkan “suasana” melayang-layang karena jatuh cinta.
Seorang seniman seperti Taufik Ismail bisa menceritakan tentang “Panggung Sandiwara” kemudian hits dalam Lagu Godbless. Atau Pramudya Ananta Tour yang fasih menceritakan setiap detail kejadian tahun 1990-an dalam novelnya.
Seorang John Grisham dengan jernih memotret hukum di Amerika dalam novel-novel klasiknya. Atau seorang HAMKA bisa menceritakan kisah cinta mendayu-dayu dalam Novel “tenggelamnya kapal Van der wijk”. Kisah yang kemudian diangkat dalam film.
Dalam setiap tingkatan seperti sarjana, master dan doctoral diharuskan untuk menulis. Entah membuat makalah, Skripsi, Tesis dan disertasi. Semakin tinggi Pendidikan seseorang maka semakin dalam tulisannya.
Karya tulis Skripsi hanya sekedar menceritakan “das sollen- das sein”. Pesan guruku, cukup hanya menceritakan adanya perbedaan antara teori yang didapatkan dengan kenyataan yang dilapangan.
Namun ketika memasuki karya tulis Tesis, “das sollen – das sein” dibutuhkan kedalaman analisisnya. Tidak sekedar menceritakan adanya “perbedaan”. Tapi dibutuhkan berbagai pisau analisis yang mendalam.
Bahkan untuk selevel doctoral, disertasi harus mampu menghasilkan teori. Dalam lapangan ilmu alam seperti teknologi mampu menghasilkan rekayasa industry. Entah dengan membuat sirip pesawat yang kemudian dikenal sebagai teori “sirip” oleh BJ Habibie. Ataupun mampu membuat pesawat supersonic yang mampu dengan 3 x kecepatan suara. Sehingga setiap tingkatan mempunyai tanggungjawab yang lebih berat.
Namun semuanya runtuh dengan berbagai penulis yang kemudian kita kenal seperti HAMKA. Seorang ahli tafsir yang membuat kitab “Tafsir Al Azhar”.
Sebuah kitab yang panjangnya “nauzubillah”. Bahkan di salah satu ruangan kampus elite di Malaysia justru ada ruangan HAMKA. Padahal HAMKA justru tidak pernah menyelesaikan Pendidikan formalnya.
Tafsir Al Azhar kemudian dapat dipadankan dengan panjangnya tafsir Al Misbah. Karya monumental Quraish Shihab.
Kebesaran Islam justru dengan kekayaan pengetahuan berbagai disiplin ilmu di Islam itu sendiri. Berbagai karya-karya yang bisa kita rujuk justru menampakkan keagungan pemikiran. Dan kesemuanya karena para ahli tafsir kemudian menuliskan buah pikirannya.
Banyak yang menyebutkan “budaya Melayu” adalah budaya bertutur. Secara sekilas pernyataan itu banyak dibenarkan. Namun apabila kita telaah lebih jauh, kekuatan Melayu justru diwariskan melalui tulisan.
Berbagai tembo yang penulis dengar justru berdasarkan “tulisan” yang menerangkan tentang sejarah, wilayah, nenek moyang. Bahkan Kitab Tanjung Tanah yang kemudian menjadi monumental adalah karya “budaya menulis”.
Cerita-cerita yang kemudian dikenal sebagai tembo berdasarkan piagam dari Raja. Entah ikrar Raja Jambi yang dikenal sebagai Datuk Paduko Berhalo yang kemudian masih dapat ditelusuri hingga ke Sultan Thaha Saifuddin.
Bahkan Barbaya W Andaya justru dengan fasih menerangkan tentang Jambi berangkat dari dokumen, surat menyurat, catatan di Kerajaan Jambi.
Atau perdebatan klasik letak Kerajaan Sriwijaya justru berangkat dari catatan I-Tsing.
Kita bisa “merasakan” sumatera dalam catatan harian William Marsden. Atau bisa melihat perdagangan di Aceh melalui catatan Marco Polo. Bahkan catatan harian Vasco de Gama justru dengan jernih melihat perdagangan Eropa pada abad pertengahan.
Bahkan kita masih bisa menyusuri jejak Lada berdasarkan catatan pengapalan dan pengiriman Lada ke berbagai belahan dunia.
Berbeda dengan Sumatera, berbagai kitab-kitab di Jawa paling banyak ditemukan. Kitab seperti Negarakertagama yang melambangkan kekuasaan Majapahit sekaligus daerah-daerah kekuasaanya masih dapat kita temukan dalam daun lontar. Kitab Negara kertagama kemudian sudah banyak ditranskripkan kedalam Bahasa Indonesia.
Berbagai ornament, puzzle yang masih kita ikuti jejaknya justru dari “budaya menulis’. Sehingga tidak salah kemudian apabila kita tidak menulis maka akan “tertelan zaman” (Pram).
Baca : Menulis
Opini Musri Nauli, Musri Nauli, jambi dalam hukum, Hukum adat jambi, jambi, sejarah Hukum adat jambi, politik jambi,