03 Juli 2020

opini musri nauli : Nasib Pemulihan gambut di Jambi



Memasuki musim kemarau tahun 2020 (sering juga disebut musim kering/musim panas), dada ini berdegub kencang. Selain “menghantui” kebakaran tahun 2013, 2015 dan kemudian berulang di tahun 2019, juga upaya pemulihan gambut yang “nyaris’ tidak berhasil.
Dalam paparan berbagai sumber, ketika kebakaran 2013 kemudian berulang 2015 dan semakin tinggi 2019 membuktikan hipotesis selama ini.

Mengapa kebakaran terus terjadi ditempat. Berulang setiap tahun.

Ketika regulasi menempatkan persoalan gambut menempatkan sebagai “Kawasan esensial” (UU No. 32/2009 menyebutkan sebagai “ecoregion). Pasal 1 angka (1) UU No. 32 Tahun 2009 menyebutkan “ecoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora dan fauna asli serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas system alam dan lingkungan hidup”. Berbagai literatur kemudian menempatkan “rawa, gambut, Sungai, savana, pesisir, laut, karst”. Regulasi kemudian menegaskan didalam penjelasan Pasal 24 ayat (1) PP No. 28 Tahun 2011 kemudian menegaskan sebagai Kawasan ekosistem esensial adalah “karst”, lahan basah (danau, sungai, rawa, payau dan diwilayah pasang surut, mangrove dan gambut”.

Sehingga PP No. 28 Tahun 2011 kemudian mendefinisikan sebagai Kawasan esensial yang terdiri dari “ekosistem esensial lahan basah dan ekosistem terrestrial”. “Ekosistem lahan basah” kemudian terdiri dari danau, sungai, payau, rawa, Mangrove dan gambut’.

Ketika gambut sebagai Kawasan esensial berdasarkan PP No. 28 Tahun 2011 juga ditegaskan sebagai “Kawasan plasma nutfah spesifik dan atau endemik” (Pasal 9 ayat (4) huruf b PP No. 71 Tahun 2014”.

Dengan demikian maka perlakuan terhadap gambut harus terpisah dengan pengelolaan dari Kawasan lain. Perlakuan berbeda harus ditempatkan dengan cara pandang tentang Kawasan gambut.

Turunan UU No. 32 Tahun 2009 kemudian dilihat didalam Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2004 yang kemudian diperbaiki PP No. 57 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Gambut.

Pasal 9 ayat (2) PP No. 71 Tahun 2014 junto PP No. 57 Tahun 2016 menegaskan fungsi ekosistem gambut. Terdiri dari fungsi lindung dan fungsi budidaya.

Gambut fungsi lindung kemudian menetapkan “kedalaman 3 meter lebih” (Pasal 9 ayat (2) huruf dan Pasal 2 ayat (4) huruf a PP No. 71 Tahun 2014 junto PP No. 57 Tahun 2016. Sehingga gambut kedalaman 3 mter lebih kemudian ditetapkan sebagai Kawasan gambut fungsi lindung.

Problema muncul. Bagaimana dengan gambut fungsi budidaya (dibawah 3 meter) yang kemudian diatur didalam Pasal 9 ayat (2) huruf b dan pasal 9 ayat (6), Pasal 21 ayat (2) PP No. 71 Tahun 2014 junto PP No. 57 Tahun 2016 ?

Lalu bagaimana dengan diareal yang fungsi budidaya kemudian sering terjadi kebakaran ?

Berbagai mekanisme untuk perintah pemulihan gambut telah ditegaskan berbagai regulasi. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 Tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut (Permen LHK No. P/16/2017) dan Peraturan Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Nomor P.3/PPKL/PKG/PKL.0/3/2018 Tentang Pedoman Pembangunan Infrastruktur Pembasahan Untuk Pemulihan Ekosistem Gambut (Baca Perdirjen No. P3/2018).

Melihat regulasi sebagaimana diatur didalam Pasal 30 ayat 1, Pasal 31 A PP No.57 Tahun 2016 maka “Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pemanfaatan Ekosistem Gambut” diperintahkan untuk melakukan “wajib melakukan pemulihan”.

Perintah ini tegas. Bahkan “Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pemanfaatan Ekosistem Gambut” kemudian membandel, maka “negara” dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan gambut (Dan biaya kemudian dibebankan kepada “Penanggung jawab usaha”. Sehingga ada “paksaan negara’ untuk pemegang izin melakukan pemulihan gambut.

Lalu mengapa “pemulihan gambut” belum berhasil yang kemudian ditandai dengan kebakaran yang berulang tahun 2019 ?

Apakah belum dilaksanakan “pemulihan gambut ? Atau memang ada dimensi lain yang menarik untuk ditelusuri.

Problema yuridis adalah apakah “gambut fungsi budidaya” masih relevan menjadi rujukan.

Melihat regulasi yang menempatkan fungsi budidaya dibawah 3 meter menimbulkan problema dilapangan.

Ketika regulasi menempatkan gambut dibawah 3 meter sebagai fungsi budidaya menimbulkan dampak lingkungan hidup dikawasan ekosistem gambut.

Sebagaimana paparan yang masih menempatkan gambut dibawah 3 meter sebagai fungsi budidaya terbantahkan dengan fakta kebakaran yang masih terjadi.

Tentu saja regulasi ini harus menjadi highlight yang menjadi perhatian.

Untuk memahami gambut, tidak terlepas dari pengetahuan masyarakat tentang gambut itu sendiri.

Untuk mengetahui gambut dalam maka acuannya sederhana. Pengetahuan empirik ditengah masyarakat menempatkan “tanah redang” (Riau), soak, danau, lopakpayopayo dalambento, hutan hantu pirau (Jambi), rawang hidup, lebak lebung, lebak berayun (Sumsel), tanah sepo’gente (Kalbar), pakung pahewa, tanah petak, petak sahep (Kalteng), tanah ireng, tanah item (Kalsel), tanah begoyang (Papua)

Cara melihat sangat sederhana. Ditandai dengan “akar bekait, pakis dan jelutung” (Walhi, 2016). Di daerah Hilir Jambi dikenal dengan “dua-tigo mato cangkul” (Perdes Sungai Beras, Tanjabtim).

Sehingga nama tempat seperti “tanah redang” (Riau), soak, danau, lopakpayopayo dalambento, hutan hantu pirau (Jambi), rawang hidup, lebak lebung, lebak berayun (Sumsel), tanah sepo’gente (Kalbar), pakung pahewa, tanah petak, petak sahep (Kalteng), tanah ireng, tanah item (Kalsel), tanah begoyang (Papua)  yang ditandai dengan “akar bekait, pakis, jelutung”, “dua-tigo mato cangkul”  maka dipastikan sebagai “gambut dalam” berfungsi lindung.

Sebagai Kawasan “gambut dalam” fungsi lindung berdasarkan pengetahuan masyarakat dari dulu memang tidak pernah dikonversi. Baik sebagai tempat menanam padi (peumoan, genah umo/umo genah) maupun sebagai areal perkebunan (petanang, pematang, kasang).

Fungsi lindung hanya dapat dimanfaatkan sebagai untuk mengambil ikan, air dan pandan serta purun.

Praktek yang jamak dari ratusan yang lalu.

Lalu berapa kedalaman gambut dalam berdasarkan pengetahuan masyarakat ?

Apabila kita melihat penamaan tempat (payo, soak, lopak) dan tanda (akar bekait, 2-3 mato cangkul) terhadap gambut maka kedalaman gambut dalam justru hanya 0,5 meter. Sehingga dipastikan diatas 0,5 meter dikategorikan sebagai gambut dalam (fungsi lindung).

Sehingga hipotesis adalah kedalaman gambut 0,5 meter - 3 meter adalah problema yuridis dan praktek pengetahuan empirik ditengah masyarakat.

Melihat kebakaran yang terus berulang, justru terjadi diareal di kedalaman gambut 0,5 meter – 3 meter. Sehingga hipotesis hukum yang masih menempatkan gambut budidaya dibawah 3 meter berbenturan dengan fakta kebakaran yang terus berulang. Kebakaran yang terus berulang justru ditemukan dalam pengetahuan ditengah masyarakat.

Pengetahuan empirik yang menempatkan hanya 0,5 meter justru menemukan relevansi dengan kebakaran yang terus berulang.

Daerah yang sering terjadi kebakaran memang dikenal sebagai daerah lindung.

Di Desa Sungai Aur (Kumpeh, Muara Jambi), nama-nama tempat seperti Danau Ara, Danau Selat, Danau Rumbe, Talang babi, Lubuk Ketapang, Pematang kerangi, Pematang Kayo, pematang duren, Sungai Sumpit, Sungai Aur, Sungai Palu dan Olak Resam  adalah nama-nama tempat kebakaran tahun 2015.

Padahal nama-nama tempat ini dikenal sebagai daerah untuk menyediakan air untuk tanaman padi. Khas Payo.

Begitu juga di Desa Kota Kandis Dendang (Kecamatan Dendang, Tanjabtim) dikenal tempat seperti Hutan Hijau. Atau “Pematang Gede Mat, Ujung Sungai Bungur, Ujung Pematang Tepulo, Ujung Pematang Sirih, Ujung Pematang Tepus (Desa Sungai Bungur).

Berkaca kebakaran 2013, 2015 dan berulang 2019 maka nama-nama tempat yang dikenal masyarakat sebagai “wilayah gambut lindung” harus dikembalikan fungsinya. Kembali fungsi gambut dalam sebagai Kawasan penting untuk dilindungi.

Melihat regulasi yang masih menempatkan kedalaman dibawah 3 meter sebagai Kawasan gambut budidaya menjadi tidak relevan.

Berpijak kebakaran yang terus berulang, maka pengetahuan empirik ditengah masyarakat yang menempatkan fungsi lindung diatas 0,5 meter harus diangkat dan menganulir fungsi budidaya dibawah kedalaman 3 meter.

Sudah saatnya regulasi budidaya dibawah kedalaman 3 meter diperbaiki dalam tataran regulasi.

Pengetahuan empirik masyarakat yang menempatkan 0,5 meter sebagai fungsi lindung justru menjadi solusi efektif untuk memperbaiki lingkungan hidup dalam upaya pemulihan gambut. Sehingga “gambut dalam” berfungsi lindung dikategorikan diatas 0,5 meter (Pasal 9 ayat (4) huruf a PP No. 71 Tahun 2014).

Berdasarkan fakta kebakaran yang terus berulang dan pengetahuan empirik masyarakat kemudian menempatkan fungsi lindung diatas 0,5 meter. Sehingga berbagai regulasi kemudian memperbaiki fungsi budidaya dibawah 0,5 meter (penafsiran a contrario). Termasuk mengembalikan fungsi lindung berdasarkan pengetahuan masyarakat dalam Peta gambut (pasal 11 PP No. 71 Tahun 2014).

Pemerintah Daerah dapat mengusulkan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar fungsi budidaya dikembalikan menjadi fungsi lindung (Pasal 11 ayat (4) huruf c)

Selama fungsi lindung berdasarkan pengetahuan masyarakat tidak dikembalikan untuk pembasahan, maka dipastikan kebakaran terus terjadi setiap tahun.

Dan selama itu pula nasib akan dirasakan oleh rakyat Jambi selama puluhan tahun kedepan.