25 Mei 2021

opini musri nauli : Hulu

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kata Hulu sering dipadankan dengan kata “Hilir”. Yang kemudian diartikan sungai sebelah atas. Sehingga kata “hilir” adalah sungai disebelah Bawah. 


Dengan demikian maka kata “Hulu” kemudian diartikan “bagian atas sungai” yang kemudian merujuk ke Sungai. 


Dalam dialek “Hulu” kemudian sering disebutkan sebagai “ulu Sungai”. 

Seloko menggunakan kata “ulu” dapat ditandai dengan “keruh aek di mudik. Tengok aek di ulu”. Ada juga menyebutkan “Keruh Aek di ilir. Tengok aek di mudik”. 


Makna kata “keruh aek dihilir. tengok aek dimudik” adalah ajaran orang tua Melayu Jambi yang menempatkan mencari sebab-sebab dari “keruhnya aek di hilir”. 


Apakah di mudik yang menjadi penyebab sehingga “aek di hilir” menjadi keruh. 


Seloko  “keruh aek di mudik. Tengok aek di ulu”, “Keruh Aek di ilir. Tengok aek di mudik” juga sering dipadankan dengan “mencari pangkal dari bungkul. Mencari asal dari usul”.


Seloko-seloko seperti “mencari pangkal dari bungkul. Mencari asal dari usul” atau “keruh aek dihilir. tengok aek dimudik” adalah mencari penyebab dari berbagai perselisihan. 


Atau juga disebabkan hubungan sebab akibat (teori causalitet). Biasa juga disebabkan hukum pembuktian. Mencari asal-usul dari perselisihan yang Timbul. 


Ulu Sungai sering juga disebutkan didalam seloko seperti “Kepala Sauk”. Simbol dari tempat yang tidak boleh diganggu. Sebagai areal Konservasi. 


Ditengah masyarakat Melayu Jambi, kata “ulu” yang menunjukkan tempat seperti “hulu mentenang”, “hulu sungai terap”,  “hulu sungai jumat”, “hulu sungai nilo dingin”, “hulu Sungai Simpang”. Kesemuanya adalah nama-nama tempat yang tidak boleh diganggu (areal Konservasi).