Didalam perkara Perdata terutama hukum acara Perdata didalam praktek, maka hak penggugat untuk menarik pihak sebagai tergugat benar-benar diletakkan dimuka hukum.
Namun terhadap pihak yang kemudian tidak ditarik menjadi tergugat maka kemudian dikenal sebagai pihak ketiga.
Terhadap pihak ketiga yang mempunyai kepentingan langsung dari perkara yang Tengah disidangkan menyebabkan konsekwensi hukum terhadap gugatan perkaranya.
Didalam praktek hukum acara Perdata maka dikenal berbagai yurisprudensi. Lihatlah bagaimana yurisprudensi menempatkan hak penggugat untuk menarik pihak ketiga seperti “Penarikan Judex Facti terhadap pihak ketiga sebagai tergugat adalah bertentangan dengan asas hukum Acara Perdata, yang menentukan bahwa hanya “Pihak Penggugat” saja yang paling berhak untuk menentukan siapa-siapa orangnya yang akan ditarik sebagai Tergugat dalam Surat Gugatannya dan hakim tidak berwenang tentang hal ini (Putusan Mahkamah Agung No.305 K/Sip/1971)
Begitu juga didalam putusan Mahkamah Agung No.231 K/Sip/1956 yang menyebutkan “Gugatan atas “Harta Bersama” yang dikuasai oleh pihak ketiga, tidak harus diajukan oleh suami dan istri secara bersama sebagai Penggugatnya, melainkan diperbolehkan salah satu dari suami istri tersebut yang mengajukan gugatan terhadap pihak ketiga tersebut.
Atau Putusan Mahkamah Agung No.439 K/Sip/1960 yang menyebutkan “Gugatan terhadap pihak ketiga yang menguasai harta warisan untuk dikembalikan kepadanya dan selanjutnya dilakukan pembagian warisan kepada semua ahli waris, termasuk pihak ketiga yang juga ahli waris, gugatan tersebut diperkenankan diajukan oleh sebagian saja dari seluruh ahli waris yang ada; tidak harus seluruh ahli waris bertindak sebagai Penggugat.
Namun apabila para pihak yang berkepentingan yang kemudian tidak ditarik menjadi pihak tergugat mempunyai konsekewensi hukum. Putusan Mahkamah Agung No.98/tahun 1952 dengan tegas menyebutkan “Gugatan yang petitumnya mohon agar Hakim memerintahkan kepada Tergugat untuk mengosongkan tanah tambak berdasar atas tidak sahnya penjualan tambak itu kepada sipembeli (Tergugat), harus dinyatakan “tidak dapat diterima”, dengan pertimbangan bahwa dalam gugatan pihak penjual tanah tambak tidak ditarik sebagai “Turut Tergugat”.
Atau seperti “Merupakan Perbuatan yang sah menurut hukum, bahwa seorang pemilik tanah yang mengalihkan haknya/kekuasaannya atas tanah yang dimilikinya itu kepada pihak lain, melalui cara pembuatan “Akta Kuasa Mutlak” dimana pihak Penerima kuasa menjadi berhak dan berkuasa penuh atas tanah tersebut, seperti halnya seorang pemilik dan ia dapat menuntut pihak ketiga yang dinilai mengganggu haknya itu. Dasar pemikiran ini menjadi landasan menyelesaikan kasus ini (Putusan Mahkamah Agung No.3176 K/Pdt/1988)
Dapat juga dilihat Putusan Mahkamah Agung No.503 K/Sip/1974 yang menyebutkan “Karena yang berhak atas tanah sengketa adalah ketiga orang tersebut, maka mereka semuanya diikutsertakan dalam perkara ini, baik sebagai Penggugat maupun sebagai Tergugat.
Sehingga apabila adanya pihak yang tidak ditarik baik sebagai penggugat maupun tergugat mempunyai konsekewensi hukum. Lihat putusan Mahkamah Agung No.150 K/Sip/1975 yang menyebutkan “Karena yang berhutang kepada Penggugat adalah dua orang, seharusnya gugatan ditujukan kepada kedua orang tersebut, dan karena gugatan tidak lengkap seperti tersebut (yang digugat hanya satu orang), maka gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Atau “Suatu gugatan yang dalam petitumnya menuntut “pembatalan dan pencabutan sertifikat tanah” yang diterbitkan oleh Kantor Pendaftaran Tanah, maka Pemerintah RI cq Kepala Kantor Pendaftaran Tanah harus ditarik sebagai Tergugat. Demikian pula tuntutan untuk membatalkan Surat IPEDA. maka PEMDA/Kepala Kantor IPEDA yang bersangkutan juga harus ditarik sebagai Tergugat (Putusan Mahkamah Agung No.550 K/Sip/1979).