25 Mei 2021

opini musri nauli : Alur Makan Patut



Didalam Skripsi DITA CAHYANI disebutkan prosesi adat untuk pemberian gelar. 


Bersandarkan kepada Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Lembaga Adat Melayu Tanah Pilih Pusako Batuah Kota Jambi menyebutkan “Lembaga adat wajib memberikan gelar minimal 3 tahun dan maksimal 5 tahun kepada kepala daerah, Gubernur, Walikota, Bupati, Ketua DPR, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, dan Alim Ulama. 

Prosesi ini kemudian dikenal dengan istilah “Alur makan patut”. Alur makan patut adalah prosesi untuk pemberian gelar adat yang berhak menerimanya atau layak untuk diberi gelar. 


Apabila calon penerima gelar pernah memiliki atau dalam menjalankan amanah setelah diberi gelar melakukan kasus dan asusila maka gelar tersebut akan hilang atau gugur. Ketika calon penerima gelar bersih dari kasus maka orang tersebut bisa mendapatkan gelar itu. 


Selanjutnya gelar adat Melayu Jambi yang telah diberikan dapat dicabut kembali, apabila penerima gelar melakukan beberapa keselahan, yaitu: Merugikan nama baik lembaga adat dan nama daerah, Tidak menunjukkan kesetiaan dan loyalitas terhadap lembaga adat dan Kota Jambi, Berprilaku tidak baik ditengah-tengah masyarakat. 


Sebelum upacara di lakukan seluruh masyarakat anak negeri, daging negeri, cepak negeri. Seluruh kecamatan dan seluruh kelurahan di kota Jambi membawa “Puteh Hate (Nasi Putih). 


“Puteh Hate” merupakan ungkapan rasa senang dan bantuan dari masyarakat untuk proses upacara pemberian gelar.  


Dalam tradisi Jawa dikenal dengan istilah “rewangan”. Di Jambi dikenal dengan istilah “Makan nasi berawang”. Makan nasi berawang” adalah makan nasi diluar dari rumah. Biasanya dikebun atau ditengah lapangan. Namun dalam kali ini makna “makan nasi berawang” adalah makan nasi “puteh hate” di balairung Lembaga adat. 


“Puteh Hate” sering juga disebutkan sebagai “putih hati” adalah Lambang dari kesucian yang datang sebagai ungkapan sebagai orang yang dihormati. 


Di Berbagai tempat prosesi “puteh hate” sering dilakukan dalam prosesi yang dikenal “nasi putih. Air Jernih”. 


“Nasi Putih. Air Jernih” adalah prosesi “urang sumando” yang datang ke Desa dan melaporkan kepada “penghulu adat terhadap kedatangannya. Biasa dikenal sebagai “pamit ke penghulu. Sehingga setiap kedatangan harus sepengetahuan pemangku adat. 


Prosesi ini dikenal didalam berbagai prosesi adat seperti “rembug”, “tepung Tawar”, setawar sedingi”, “lambas” atau “Rapat kenduri”


Prosesi “nasi putih. Air Jernih” adalah implementasi sebagaimana seloko “Datang Nampak muko, pegi Nampak punggung”. 


Sebagai penghormatan terhadap pemangku adat  yang dikenal sebagai “Alam sekato Rajo. Negeri sekato Batin. Atau “Alam Berajo, Rantau Berjenang, Negeri Bebatin, Luhak Berpenghulu, Kampung betuo, Rumah betengganai” atau  “Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak. Atau “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang. Seloko ini melambangkan alam kosmos Rakyat Melayu Jambi untuk menempatkan dan menghormati pemimpin.


Setelah proses penyerahan Puteh Hate, keesokan harinya upacara pemberian gelar diawali dengan menjemput calon penerima gelar di rumahnya oleh orang adat dan tokoh adat menunggu di Lembaga Adat. 


Setelah pemberi gelar datang disambut dengan membaca kitab suci Al- Quran dan Tamboran. Setelah itu pembacaan SK pemberian gelar, pengumuman disertai dengan penabuhan gong, kemudian dilakukan pengukuhan calon penerima gelar berdiri dengan dipakaikan lacak dan diselipkan keris. 


Kemudian di Ba’iat dengan mengucapkan “saya selipkan keris nan seketik untuk mengayomi, melindungi dan mengurus anak negeri, telintang layut tebujur mati” 


Maknanya adalah yang diberi gelar harus mau dan tak kenal waktu untuk mengemban amanah. Mempunyai tanggungjawab walaupun apapun resikonya (telintang layut tebujur mati). 


Baca : Gelar Adat