Sejarah padi tidak dapat dilepaskan dari teknologi dibawa migrasi yang berasal dari India. Diduga kuat padi dibawa masuk ke Jawa dan kepulauan Asia Tenggara lainnya oleh bangsa Austronesia yang pertama kali dibudidayakan di China Tengah. Diperkirakan bahwa padi padi mulai dibudidayakan di Pulau Jawa sejak sekitar 4000 tahun yang lalu. Anthony Reid menjelaskan bahwa beras merupakan bahan makanan utama masyarakat Asia Tenggara. Bahan tersebut diperoleh dengan menggunakan teknologi yang agak primitif.
Menurut data arkeologi, migrasi telah terjadi setidaknya sejak 2 juta tahun yang lalu sejak Kala Plestosen, dimana Homo Erectus mengembara keluar dari Benua Afrika (menurut teori Out of Africa) menuju Benua Eropa kemudian menuju Benua Asia. Di Indonesia jejak-jejak Homo Erectus.
Berbagai Literatur menyebutkan Kemakmuran dan kebesaran kerajaan di Jambi tidak dapat dilepaskan dari Merica dan karet. Namun negeri ini sangat menggantungkan hidupnya dari beras, yang diangkut dengan kapal yang kekurangan dan harus dibayar dengan mata uang.
Ditengah upaya semangat menghadapi pandemik, Al Haris Tetap berkonsentrasi terhadap kemandirian pangan. Sebagai benteng untuk menghadapi krisis yang belum berujung. Pertemuan Al Haris sebagai Gubernur dengan masyarakat Kabupaten Batanghari di Muara Bulian menegaskan.
Namun “padi” sebagai warisan leluhur Nenek moyang Jambi kemudian terus tergerus. Dengan jumlah penduduk Jambi 1,06 juta (1971), melonjak terus mencapai 2,02 juta jiwa (1990). Terus naik mencapai 2,4 juta jiwa (2000) dan mencapai 3,09 juta jiwa (2013) dan mencapai 3,3 juta jiwa (2015). BPS menyebutkan lonjakan penduduk hingga 3 x lipat selama 39 tahun.
Tingkat pertumbuhan penduduk ternyata tidak diimbangi dengan hasil produksi pertanian. Dari hasil padi 607 ribu ton (1993) berkurang tinggal 541 ribu ha (2015).
Angka terbalik juga terjadi dengan semakin berkurangnya luas sawah. 120 ribu ha (2003) menurun menjadi 113 ribu ha (2013). Angka ini belum ditambah 12 ribu ha yang dikonversi ke lahan tambang emas.
Berkurangnya luas sawah disebabkan semakin bertambahnya luas kebun sawit yang sudah mencapai 657 ribu ha (2013). Walaupun BPN sendiri sudah mensinyalir mencapai 1,2 juta ha. namun baru 487 ribu ha yang sudah menjadi HGU.
Sawit juga menggerus tanaman karet dari 450 ribu ha (2003) berkurang menjadi 384 ribu ha (2013).
Bahkan luas perkebunan kelapa sawit saat ini sudah 819.237 hektar, 8 kali lipat luas lahan sawah yang tinggal 143,034 hektar. Pada periode 2008-2010 terjadi alih fungsi lahan pangan seluas 75.560 hektar di propinsi ini, alih fungsi terbesar terjadi di wilayah transmigrasi (Trans-PIR) dimana lahan peruntukan tanaman pangan seluas 60.000 hektar seluruhnya diubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Hal ini menempatkan Jambi sebagai titik rawan pangan prioritas pertama.
Akibat alih fungsi lahan sawah ini Propinsi Jambi hanya mampu memenuhi 11,7 persen kebutuhan berasnya sendiri atau sebesar 350 ton per tahun dari kebutuhan minimal 3.000 ton per tahun.
Angka ini belum seberapa ditambah dengan luas pertambangan batubara yang mencapai 1,09 juta ha. Ditambah dengan “kerumitan” kawasan hutan dengan luas 2,1 juta ha yang sulit diakses dan digunakan untuk pertanian. Sehingga praktis, areal pertambangan dan kawasan hutan yang tidak bisa dijadikan lahan pertanian akan mengurangi areal pertanian dari luas wilayah Jambi daratan 4,8 juta ha.
Dengan kalkulasi sederhana 2,1 juta ha kawasan hutan ditambah 1,09 juta areal pertambangan batubara dan 1,2 juta ha sawit, praktis tinggal menyisakan 800 ribu ha yang dapat digunakan.
Padahal dengan kalkulasi rumus konsumsi beras/orang = 0,5 kg/tahun atau (menurut Menteri Pertanian, 2010) konsumsi beras perkapita/ton = 140 kg, maka konsumsi beras yang harus dipenuhi dari Jambi 0,46 juta ton.
Dengan kalkulasi penduduk Jambi 3,3 juta jiwa dengan kalkulasi areal untuk pertanian tinggal 800 ribu dan produksi padi cuma 541 ribu ton/tahun, maka ancaman terhadap pangan sudah didepan mata.
Padahal padi tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan sehari-hari. Di Jambi dikenal istilah seperti ”ngambil arin dan baleh arin” atau “narin” atau “pelarian”, Gerebuh, Nyerayo, “Nigoi sawah” , “Nugal”. Penanaman padi ladang mengunakan alat dari kayu yang diruncingkan untuk membuat lobang tanam yang dinamakan “tugal”.
Di daerah gambut, juga dikenal seperti “peumoan, pematang,”, tradisi membersihkan lahan seperti pelarian, beselang maupun tata cara membuka lahan seperti melaras, menebang, mereda, melarat, membakar dan memerun maupun teknik mengelola wilayah “peumoan” seperti “mengorot, ngaur, ngiri, menampi sudah dikenal masyarakat.
Sejarah panjang tentang padi juga ditandai dengan benih-benih local padi. Setiap desa-desa di Jambi mengenal padi benih local dengan penamaan yang masih dirawat hingga sekarang. Misalnya Renik Kanal, Pulut Mantung, Silang Jambu, Silang Kudung, Pulut Turun Daun (Desa Tanjung Alam), Seringin Tinggi, Kuning Besar, Pulut Putih, Pulut Hitam (Desa Gedang), Padi rias, Padi Sunggut, Padi Dayang, Padi Lumut, Padi Seribu Naik, Padi Kasar (Lubuk Mandarsyah) adalah nama-nama padi local yang tetap dirawat hingga sekarang. Tentu masih banyak nama-nama setiap desa yang mengenal benih local. Bahkan saya pernah mencatat, ada satu desa hingga mempunyai benih local hingga 15 padi local.
Masyarakat di Jambi juga mengenal alat tradisional seperti Tajak, Luci, galah, Tuai, jangki, bilik sebagai alat bantu untuk padi. Fungsi alat-alat pertanian tradisional digunakan untuk memanen dan memelihara padi baik sebelum atau sesudah pane.
Dengan dirawatnya padi oleh rakyat di Jambi, maka ujaran seperti Padi Menjadi. Airnyo jernih, ikan jinak. Rumput hijau. Kerbo gepuk. Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugu’, merupakan lambang kesuburan dan kemakmuran di Jambi. Tanda alam bersahabat dan memberikan kemakmuran kepada manusia di sekitarnya.
Penghormatan terhadap padi sering juga diujar didalam makna filosofi seperti “Ilmu padi. Semakin berisi semakin menunduk”. Atau “Menanam padi pasti tumbuh rumput. Tapi menanam rumput tidak mungkin tumbuh padi”.
Semangat Kemandirian Pangan yang digagas adalah muara dari kegelisahan Al Haris sebagai Gubernur Jambi. Kemandirian pangan diperlukan sebagai benteng menghadapi virus corona yang masih terus berlangsung.
Direktur Media Publikasi Al Haris-Sani