Walaupun Indonesia dikenal sebagai sistem hukum Eropa kontinental yang ditandai dengan istilah Rechtstaat yang termaktub didalam UUD 1945 sehingga mengenai pembagian warisan kemudian diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang diadopsi dari sistem hukum, Indonesia juga mengenal pembagian warisan berdasarkan hukum adat.
Didalam praktek berbagai ketentuan hukum adat yang Masih dikenal masyarakat sekaligus masih dipraktekkan maka dapat menjadi dasar didalam pembagian waris adat.
Lihatlah putusan Mahkamah Agung No. 932 K/Sip/1971 yang tegas menyatakan “hak para Penggugat untuk menuntut pembagian Harta Warisan dari almarhum orang tuanya, menurut hukum adat, tidak lenyap atau tidak hilang haknya, karena alasan kadaluwarsa”.
Putusan ini kemudian diperkuat dengan putusan Mahkamah Agung No.157 K/Sip/1975 yang menyebutkan “Hak Penggugat untuk mengajukan gugatan atas sebidang tanah yang telah lama dikuasai oleh Tergugat, menurut Hukum Adat tidak terkena kadaluwarsa.
Bahkan Mahkamah Agung berdasarkan Putusannya Nomor 312 K/AG/1997 mengenyampingkan hukum nasional tentang warisan yang menyebutkan “Ketentuan Verjaring atau kadaluwarsa yang diatur didalam pasal 835 jo 1967 KUHPerdata, tidak dapat diberlakukan terhadap orang Bumiputera, khususnya Bumiputera yang memeluk Agama Islam, karena dalam “Hukum Waris Islam” tidak dianut “Asas Kadaluwarsa” dalam gugatan terhadap Harta Warisan, yang belum dilakukan pembagian kepada para ahli warisnya.
Sistem Pembagian warisan berdasarkan hukum adat dapat ditemukan didalam Putusan Mahkamah Agung No. 416 K/Sip/1968 “Menurut hukum adat yang berlaku di Sumatera Timur, anak angkat tidak mempunyai hak untuk mewarisi harta peninggalan orang tua angkat, ia hanya dapat memperoleh pemberian/hibah dari orang tua angkat selagi hidup”.
Atau Putusan Mahkamah Agung No. 39 K/Sip/1968. “Menurut hukum adat Minangkabau, terhadap harta pencaharian tidak ada hak mewarisi dari kemenakan.
Begitu juga Putusan Mahkamah Agung No. 136 K/Sip/1967 “Kepada seorang anak perempuan patut diberikan bagian dari harta warisan peninggalan ayahnya berdasarkan adat Batak “Holong Ate” dengan memperhatikan kemajuan kedudukan dan hak-hak wanita di tanah Batak.
Begitu juga Putusan Mahkamah Agung No. 1037 K/Sip/1971 “Hukum adat di Pematang Siantar, dalam hal seorang meninggal dengan meninggalkan seorang anak perempuan, anak perempuan inilah yang merupakan satu-satunya ahli warisnya dan yang berhak atas harta yang ditinggalkannya.
Atau Mahkamah Agung No. 2662 K/Pdt/1984 “Pada masyarakat adat Sasak di Lombok Timur telah diakui kedudukan perempuan sebagai ahli waris yang mewarisi harta peninggalan orang tuanya bersama-sama dengan saudara laki-lakinya.
Dan Putusan Mahkamah Agung No. 741 K/Pdt/1985 “Menurut hukum adat, istri kedua tidak memperoleh hak atas harta gono gini antara suaminya dengan istri pertama, karena harta gono gini tersebut merupakan hak dari istri pertama dengan anak-anaknya.
Advokat. Tinggal di Jambi