Hubungan antara negara dan warga negara seharusnya didasari oleh kepercayaan. Negara melindungi, rakyat mematuhi.
Namun apa yang terjadi ketika kepercayaan itu luntur dan digantikan oleh ketakutan? Dinamika hubungan itu berubah. Negara mulai melihat setiap tindakan rakyatnya sebagai potensi ancaman, dan di situlah lahir negara paranoid.
Fenomena "negara mengintai rakyatnya" bukanlah fiksi, melainkan manifestasi dari kecurigaan yang merasuk. Dari hobi sepele hingga aset pribadi, setiap inci hidup kita menjadi subjek pengawasan.
Ketika Bendera One Piece Menjadi Simbol Pemberontakan
Di mata warga biasa mengibarkan bendera kru Topi Jerami dari serial anime populer One Piece adalah ekspresi hobi yang tidak berbahaya.
Namun bagi negara yang paranoid, ini bisa jadi dianggap sebagai simbol anarki atau bahkan ideologi terlarang. Lambang tengkorak dan tulang menyilang, yang identik dengan bajak laut, diinterpretasikan sebagai penghinaan terhadap otoritas dan ajakan untuk melawan hukum.
Dalam nalar paranoid, setiap simbol non-nasional dianggap subversif. Pengawasan terhadap hobi personal seperti ini menunjukkan bahwa negara tidak lagi membedakan antara ancaman nyata dan ekspresi individu yang tidak berbahaya. Hobi Anda bukanlah lagi sekadar hiburan, melainkan sebuah pernyataan politik yang bisa berujung pada konsekuensi serius.
Duit Kita, Ancaman Mereka: Pengintaian Finansial sebagai Deteksi Dini
Pemerintah mengawasi transaksi keuangan dengan alasan yang sah: mencegah pencucian uang, mendanai terorisme, dan menghindari pajak.
Namun, negara paranoid akan menggunakan kewenangan ini secara berlebihan. Setiap transaksi besar bahkan yang wajar seperti transfer untuk bisnis atau pembelian properti yang sah, akan dicurigai sebagai upaya pendanaan kegiatan ilegal.
Bank didorong untuk melaporkan segala aktivitas yang dianggap "tidak biasa." Dalam skenario ini, privasi finansial sepenuhnya dikorbankan atas nama keamanan. Rakyat dianggap bersalah sampai terbukti sebaliknya, dan setiap aset yang dimiliki adalah bukti yang perlu diverifikasi.
Namun, di balik pengawasan finansial yang ketat, rakyat menemukan cara untuk melawan. Mereka menyadari bahwa kekuatan finansial mereka, ketika ditarik secara kolektif, bisa menjadi alat perlawanan yang dahsyat. Gerakan untuk menarik uang tunai dari bank, atau mengalihkan aset ke instrumen finansial yang kurang terlacak oleh negara, bukanlah sekadar tindakan ekonomi. Ini adalah pernyataan politik yang kuat.
Gerakan ini menunjukkan penolakan terhadap narasi bahwa setiap transaksi adalah potensi ancaman. Ini adalah upaya untuk merebut kembali otonomi finansial dan menuntut privasi yang layak. Dengan menarik uang mereka, rakyat mengirimkan pesan yang jelas: "Kepercayaan tidak bisa dibeli dengan pengawasan. Jika Anda tidak percaya pada kami, kami juga tidak akan percaya pada sistem Anda."
Tanah Tidur, Potensi Kejahatan: Pengintaian Lahan Nganggur
Negara paranoid tidak melihat tanah nganggur sebagai lahan yang belum dimanfaatkan, melainkan sebagai potensi sarang kejahatan atau spekulasi. Mereka khawatir tanah tersebut akan digunakan untuk aktivitas terlarang atau ditimbun oleh para "penimbun" yang berusaha menggerogoti stabilitas ekonomi.
Pengawasan terhadap tanah kosong menjadi alat untuk mengontrol properti dan memastikan setiap inci lahan berada di bawah kendali negara. Hal ini bisa berujung pada kebijakan yang agresif seperti perampasan tanah tanpa ganti rugi yang layak, dengan dalih kepentingan publik yang seringkali tidak jelas.
Pajak "Cekikikan": Memastikan Kepatuhan Mutlak
Pajak adalah kontrak sosial yang vital, tetapi bagi negara paranoid, pajak bukan hanya kewajiban, melainkan alat kontrol. Pengawasan ketat terhadap penghasilan dan pekerjaan bukan sekadar untuk memastikan penerimaan negara, melainkan untuk memastikan setiap warga tunduk pada sistem.
Rakyat yang menghindari pajak tidak hanya dianggap tidak taat hukum, tetapi juga sebagai pengkhianat yang merusak stabilitas negara. Dalam pandangan ini, sistem pajak yang rumit dan pengawasan yang ketat adalah cara untuk membuat rakyat selalu merasa diawasi, sehingga mereka tidak berani untuk menolak atau menentang.
Dari Earphone Hingga Subversi: Mengintai Pilihan Musik
Ini adalah bentuk paranoia yang paling modern dan mengerikan. Melalui platform digital, negara bisa saja mengumpulkan data tentang apa yang kita dengarkan. Negara yang paranoid tidak melihat musik sebagai hiburan, melainkan sebagai media propaganda dan pembentukan ideologi. Sebuah lagu yang berisikan kritik sosial atau lirik yang dianggap "anarkis" bisa dicap sebagai subversif. Profil musik seseorang bisa digunakan untuk memprediksi kecenderungan politiknya, mengidentifikasi potensi pemberontak, atau bahkan menyusun daftar orang-orang yang harus diwaspadai.
Sebagai respons atas pengawasan ini, rakyat membalas dengan cara yang senyap namun kuat: menolak memutar musik nasional.
Lagu kebangsaan dan lagu-lagu patriotik yang seharusnya menyatukan, kini dianggap sebagai alat propaganda yang dipaksakan. Di ruang-ruang publik, di kendaraan, atau bahkan dalam percakapan pribadi, musik yang kritis dan berani lebih disukai daripada musik yang mengagungkan negara.
Penolakan ini bukan sekadar preferensi estetika, melainkan sebuah pernyataan bahwa identitas nasional tidak bisa dipaksakan melalui frekuensi radio atau daftar putar wajib. Ini adalah perlawanan kultural yang menunjukkan bahwa di era digital, loyalitas tidak lagi diukur dari seberapa keras seseorang menyanyikan lagu kebangsaannya, melainkan dari seberapa bebas ia memilih suara yang ingin didengarnya.
Denga demikian maka Negara yang paranoid menciptakan masyarakat yang takut. Kepercayaan digantikan oleh kecurigaan, privasi dikorbankan atas nama keamanan yang semu, dan kebebasan berekspresi dibungkam. Namun, di balik ketakutan itu, muncul perlawanan. Ketika negara memilih jalan ini, ia tidak hanya kehilangan kepercayaan rakyatnya, tetapi juga membangunkan sebuah kekuatan yang tak terlihat—keinginan untuk merdeka dan berdaulat atas hidupnya, bahkan dalam hal memilih lagu.
Advokat. Tinggal di Jambi