Tidak dapat dipungkiri, setiap pertengahan tahun, Jambi dan beberapa Provinsi dadanya berdegub kencang. Menghadapi “teror” kebakaran yang terus berulang.
Berdasarkan data Sistem Pemantauan Karhutla (SiPongi) milik Kementerian Kehutanan, data input sampai dengan Juni 2025 memperlihatkan indikasi areal hutan dan lahan yang terbakar mencapai 8.594 hektare.
Di Provinsi Riau, Berdasarkan pantauan titik panas/ hotspot satelit Terra Aqua Nasa dari Sistem Pemantauan Karhutla Kementerian Kehutanan – SiPongi periode 1 Januari s.d. 20 Juli 2025, di wilayah Riau tercatat dengan hotspot tertinggi yaitu Kabupaten Rokan Hilir (1.767 titik), Rokan Hulu (1.114 titik) dan Dumai (333 titik). Hotspot secara keseluruhan di wilayah Riau sejumlah 4.449 titik, dengan hotspot tertinggi pada bulan Juli sejumlah 3.031 titik.
Dari perhitungan Kementerian Kehutanan, luas karhutla tahun 2025 di Provinsi Riau periode Januari-Mei 2025 seluas 751,08 Ha. Berdasarkan jenis tanah, karhutla terjadi seluas 695,72 Ha di tanah gambut (96,23%) dan seluas 55,37 Ha di tanah mineral (7,37%).
Berdasarkan tutupan lahan, seluas 16,45 Ha tutupan hutan (2,19%), dan seluas 734,63 Ha tutupan non hutan (97,81%). Berdasarkan fungsi kawasan terhitung 14,22% di kawasan hutan dan sebanyak 85,78% di APL.
Sementara itu di Provinsi Sumatera Selatan Data BPBD Sumatera Selatan menunjukkan hingga 23 Juli 2025, terdapat 1.104 titik panas dan 64 kejadian karhutla dengan total lahan terdampak sekitar 43 hektare. Secara nasional, dari Januari hingga Mei 2025, tercatat 983 kejadian karhutla dengan total luas 5.485 hektare.
Bandingkan dengan Provinsi Kalimantan Tengah yang telah menunjukkan 1326 titik hotspot (website Pemprov Kalteng). Dan Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi ini sempat tercatat memiliki 1.500 hotspot hingga 31 Juli 2025, sudah termasuk 258 yang terbukti merupakan titik api dan berdampak terhadap lahan seluas 989 hektare (Tempo).
Namun berbeda di Jambi. Sejak 1 Januari sampai 26 Juli 2025, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Sultan Thaha Jambi mendeteksi 261 titik api (hotspot). Dalam rentang waktu itu, terjadi 110 kali kebakaran seluas 421,77 hektar (Mongabay)
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui Stasiun Meteorologi Sultan Thaha Jambi mencatat dalam 22 hari terakhir terpantau 142 titik api atau hotspot di Provinsi Jambi.
Ratusan titik api itu tersebar di 7 kabupaten kota. Diantaranya Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Muaro Jambi, Kota Jambi, Batanghari , Tebo, dan sebagian Kabupaten Bungo.
Koordinator bidang data dan informasi BMKG, Nabilatul Fikroh menyampaikan, ke 142 titik panas itu terpantau dari tanggal 1 sampai tanggal 22 Juli. (Jambione)
Titik panas terbanyak ada di Muaro Jambi, dengan jumlah 29 titik panas. Lalu, Sarolangun 27 titik panas, dan di Merangin ada 24 titik panas. Mongabay menyebutkan “Luas terbakar di Desa Gambut Jaya seluas 260 ha”.
Melihat data-data yang telah diperlihatkan, diluar Desa Gambut Jaya yang terbakar seluas 260 ha, relatif daerah gambut menunjukkan angka yang relatif Kecil. Apabila tidak dikatakan tidak terbakar.
Angka-angka ini menggembirakan. Selain telah terbangunnya 821 sekat kanal (Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, 2023) yang telah berfungsi, daerah-daerah gambut yang rawan kebakaran seperti di daerah Geragai, Londerang dan sekitar Puding relatif aman.
Padahal itu adalah tempat “biang kerok” kebakaran yang berulang. Tahun 2015 dan tahun 2019 kebakaran yang di tempat sama terjadi. Dan berulang kemudian di Londerang tahun 2024.
Sehingga tidak salah kemudian Provinsi Jambi mendapatkan apresiasi dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kepala BRGM dan Duta Besar Norwegia tahun 2023.
Selain telah terbangunnya sekat kanal yang telah berfungsi, berbagai alat bantu seperti Sipalaga, sebuah sistem monitor yang telah ditempatkan di berbagai tempat, dukungan masyarakat yang “reaksi cepat” dengan Masyarakat Peduli Api justru menjadikan Jambi paling sigap mengantisipasi dan monitor ancaman serangan api.
Yang tidak boleh dilupakan, Pemerintah Provinsi Jambi mempunyai banyak regulasi yang mendukung kinerja persoalan api di daerah gambut. Regulasi seperti Peraturan Daerah No 2 Tahun 2016, Peraturan Daerah No 1 Tahun 2020, Peraturan Gubernur Jambi Nomor 20 Tahun 2023 adalah pondasi penting. Sekaligus cara memandang Pemerintah Provinsi Jambi didalam menghadapi kebakaran di daerah gambut.
Tapi apapun cerita, daerah gambut yang “memang harus basah” adalah hipotesis yang tidak terbantahkan. Berbagai model pengelolaan gambut seperti pengeringan dengan membuat kanal, mengatur hidrologi gambut terbantahkan dengan areal yang terbakar. Sehingga hipotesis pengelolaan gambut harus dikembalikan fungsinya. Gambut harus basah.
Namun upaya panjang didalam membasahi gambut tidak boleh lengah. Antisipasi sekaligus “monitor” hingga akhir September memasuki kemarau tidak boleh dilupakan.
Dan antisipasi sekaligus monitor harus disiagakan hingga memasuki musim hujan.