16 Februari 2023

opini musri nauli : Vonis dan Ultra Petita


Akhirnya usai perjalanan panjang kasus yang paling menghebohkan jagat hukum. Peristiwa pembunuhan terhadap anggota Polri oleh Seorang Jenderal, istri Jenderal, para Ajudan dan ART memasuki akhir persidangan. 


Putusan hakim (vonis) telah menjatuhkan para terdakwa. Sang Jenderal dihukum mati. Sang Istri dihukum 20 tahun penjara. RR dijatuhi 13 Tahun penjara dan ART 15 tahun penjara. Serta “justice collaborator” 1,6 tahun. 

Ditengah eforia putusan baik terhadap hukuman mati terhadap sang Jenderal, sang Istri, RR dan ART melebihi tuntutan Jaksa Penuntut umum, sempat adanya sebuah kata-kata penting yang mengganggu konsentrasi saya. 


Adanya kata-kata “ultra petita” yang disandingkan terhadap putusan Hakim yang melebihi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum. 


Kata-kata “ultra petita” menjadi pembicaraan hangat di publik. Termasuk sering dikutip petinggi negeri di acara televisi. 


Sebagaimana diketahui, Sang Jenderal yang dituntut Seumur Hidup kemudian diputuskan Pidana Mati. Sedangkan sang istri, KM dan RR yang dituntut 8 tahun namun ternyata melebihi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Sang istri dari 8 tahun menjadi seumur hidup. Begitu juga RR yang dituntut 8 tahun ternyata menjadi 13 Tahun. Sedangkan KM yang dituntut 8 tahun Malah menjadi 15 tahun. 


Nah, dengan alasan Hakim (vonis) yang memutuskan melebihi dari tuntutan Jaksa Penuntut umum inilah yang kemudian dilekatkan dengan istilah “ultra petita”. 


Secara umum, istilah “utra petita” memang dikenal didunia hukum. Secara harfiah, istlah “ultra petita” memang dapat disandingkan dengan asas “hakim dilarang mengabulkan permintaan melebihi yang diminta dari para pihak”. 


Asas ini tegas melarang kepada hakim agar tidak dapat dibenarkan untuk memutuskan perkara yang kemudian “melebihi dari permintaan para pihak”. 


Praktek ini dikenal di dunia hukum. Terutama di Lapangan hukum acara Perdata. 


Walaupun asas ini dapat dikesampingkan dengan asas “Ex Aquo Et Bono”. Asas yang menyerahkan kepada hakim agar hakim dapat memutuskan “putusan yang adil dan patut Menurut hukum (Ex Aquo Et Bono). 


Praktek mengenyampingkan asas “utra petita” pernah dilakukan oleh Mahkamah Agung mengabulkan permohonan penggugat dengan memerintahkan Pemerintah untuk membayar Rp. 50.000,- per meter. Sedangkan para pihak hanya meminta Rp 5.000,- per meter. Memutuskan untuk membayar Rp. 50.000,- per meter padahal para pihak hanya meminta Rp . 5.000,- per meter, inilah yang dimaksudkan dengan “memutuskan” melebihi apa yang diminta para penggugat. Dan inilah yang kemudian dikenal dengan istilah “ultra petita”.


Alasan hakim ketika memutuskan “melebihi” apa yang diminta didasarkan kepada waktu mengajukan gugatan. Pada waktu mengajukan gugatan, harga Rp. 5.000 per meter dianggap wajar. Tapi ketika diputuskan di tingkat Mahkamah Agung yang sudah berjalan puluhan tahun, maka harga Rp 5.000.- per meter sudah dianggap tidak wajar lagi. 


Sedangkan Rp 50.000,- per meter sudah dianggap sesuai dengan fluktuatif dengan perkembangan ketika harga Rp. 50.000,- per meter di saat diputuskan.


Alasan lain berangkat dari permintaan para penggugat dimana didalam dalil permohonan selalu mencantumkan “Supaya hakim dapat memutuskan yang adil dan patut menurut hukum (Ex Aeque Et Bono). Dengan permintaan ini, hakim mengabulkan agar tercapai rasa keadilan.


Di MK sendiri, asas ini tegas disampaikan Pasal 45A UU tentang perubahan UU No. 23/2004 tentang Mahkamah Konstitusi. 


Rumusan pasal ini menyebutkan Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok permohonan. 


Sebagai sejarah perkembangan”ultra petita” di MK, MK yang lahir lahir di tahun 2003, MK ternyata tetap mengadili terhadap UU sebelum tahun 2003. Misalnya MK kemudian juga membatalkan pasal 134 KUHP, Pasal 136 bis KUHP, pasal 137 KUHP, Pasal 154 KUHP, Pasal 155 KUHP, Pasal 356 ayat (1) KUHP yang tidak memberikan ketidakadilan dan tidak sesuai dengan semangat reformasi dan demokratisasi di Indonesia. 


Begitu juga Putusan Konstitusi Nomor 06/PUU-IV/2006, walaupun pemohon hanya meminta membatalkan (a) Pasal 1 Ayat (9); (b) Pasal 27; (c) Pasal 44 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. 


Namun kemudian MK tidak hanya menyatakan bahwa pasal-pasal itu bertentangan dengan konstitusi, namun justru menyatakan bahwa UU No. 27 tahun 2004 bertentangan dengan konstitusi. 


Sehingga kemudian MK mengabulkan melebihi yang diminta oleh pemohon (ultra petite). Perkembangan wacana “ultra petita” yang kemudian menjadi pembahasan revisi UU MK menimbulkan problematika yuridis. 


Dengan demikian melihat putusan kasus pembunuhan melebihi tuntutan Jaksa penuntut umum istilah “ultra petita” kemudian dilekatkan. 


Namun apakah tepat menggunakan istilah “ultra petita” didalam putusan Pidana kasus pembunuhan. 


Didalam KUHAP, Yurisprudensi dan praktek dunia hukum, hakim hanya berpedoman kepada surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum. 


Bukan berpedoman terhadap surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum. 


Dengan demikian, hakim mempunyai kebebasan dan independensi untuk menjatuhkan putusan pidana terutama masa hukuman (straftmaacht). 


Prinsip ini harus ditegaskan. Agar kekeliruan dan cara pandang tidak dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. 


Dengan demikian maka “berapapun” tuntutan Jaksa Penuntut umum, maka hakim sama sekali tidak terikat. 


Sekali lagi, hakim hanya menyandarkan kepada surat dakwaan. 


Dengan demikian maka asas “ultra petita” sama sekali tidak tepat dilekatkan kasus pidana. 


Atau dengan kata lain, asas “ultra petita” tidak dapat dibenarkan didalam praktek hukum acara pidana. 



Advokat. Tinggal di Jambi