16 Juni 2002

opini musri nauli : PROFESIONALISME DAN NASIONALISME

AKU MALU JADI ORANG INDONESIA (Taufik Ismail) 

 Sungguh luar biasa pertandingan Sepakbola tahun 2002. Prediksi dan hitung-hitungan diatas kertas sungguh jauh berbeda di lapangan. 


Lihatlah bagaimana mungkin Perancis sebagai Juara Bertahan adalah tim unggulan yang kemudian angkat koper dan pulang belum melewati babak kedua. 
Sebuah ironi dari 72 tahun kejuaraan Bola kaki. Atau Argentina yang kemudian menyusul. Juga Portugal dan nyaris terjadi di tim Italia. 

Dari kawasan benua Eropa negara yang mengikuti sebanyak 15 negara kemudian tinggal 9, Amerika Latin dari 9 kemudian 4 negara, Afrika dari 4 negara hanya tinggal 1 negara dan dari kawasan Asia sebanyak 4 negara masih menyisakan 2 wakilnya. 

Sebuah kekuatan yang sudah merata di berbagai lini. 

Dari berbagai pernik yang penulis lihat selama pertandingan sepakbola tahun ini. Ada perasaan yang menggelitik penulis untuk kita diskusikan. 

Rasa menggelitik itu adalah Rasa Nasionalisme yang didalam zaman yang global sekarang yang hampir praktis tidak mempunyai batas administrasi wilayah. 

Lihatlah bagaimana sikap dari Bruno Metso (pelatih Senegal) warga negara Perancis yang kemudian ternyata Negara Senegal mampu menyingkirkan Perancis di partai pembukaan. Atau Swan Gorin Ericcson (pelatih Inggris) warga negara Swedia yang kemudian Inggris bertemu dengan Swedia di partai Grup maut F. 

Atau Guus Hiddink warga negara Belanda yang melatih Korea Selatan namun Belanda sendiri tidak mengikuti Pertandingan Piala Dunia karena gagal di penyisihan. Bandingkan dengan Indonesia. 

Hendrawan yang hampir tiap tahun mewakili Indonesia di berbagai kejuaraan bulu tangkis dan Piala Thomas, menjelang keberangkatan mewakili Indonesia di Piala Thomas 2002, belum pasti kewarganegaraanya yang telah lama diurusnya. 

Aneh bin ajaib. Bagaimana mungkin seseorang yang telah membawa nama Indonesia, telah medok bahasa Jawanya, ternyata diragukan bahkan tidak memiliki kewarganegaraan dimana negara itu diwakilinya didalam kejuaraan bulutangkis. 

Sehingga sudah semestinya Indonesia harus menerima hukuman bahwa prestasi atlet Indonesia tidak pernah banyak berbicara di berbagai event internasional. Bandingkan dengan negara-negara yang menghargai prestasi atletnya. 

Rasa malu Indonesia juga berlaku di berbagai pengurus organisasi olahraga di Indonesia. 

Mulai dari olahraga sepakbola yang merupakan olahraga paling populer di Indonesia hingga olahraga-olahraga lainnya. Bagaimana aneh, Indonesia yang mempunyai penduduk 206 juta, 32 Propinsi, 400 kabupaten tidak mempunyai kesebelasan sepakbola yang hanya terdiri dari 11 pemain inti dan 11 pula pemain cadangan. 

Sungguh aneh memang. Bandingkan dengan negara Denmark yang hanya mempunyai penduduk 6 juta atau Swedia 2 juta. 

Sungguh sudah sepantasnya Piala Dunia 2002 merupakan arena paling memalukan bagi pengurus sepakbola yang bersama-sama komentator televisi lebih banyak berbicara score pertandingan dan mendukung tim kesayangannya daripada mencari format “Bagaimana sih konsep bolakaki dunia itu”. 

Lihatlah pula negara yang baru saja masuk piala dunia seperti Senegal, atau negara-negara yang didalam peta dunia luasnya hanyalah setitik pena atau bahkan sangat sulit mencari dimana posisinya namun merajai sepakbola dan berbicara di Piala Dunia 2002. 

Atau pemain-pemain baru seperti China, Jepang yang sekarang ditakuti. Sungguh sumpah serapah ini tidak muat untuk menampung kedongkolan terhadap Indonesia yang tidak juga mampu berbicara di sepakbola. 

Atau kalaulah tidak mau dikatakan kedongkolan maka lebih baik dikatakan sebagai harapan publik terhadap perkembangan Indonesia. Dari sudut itulah penulis merasa tertarik dengan konsep nasionalisme. 

Dalam pertandingan sepakbola maka sudah semestinya konsep nasionalisme haruslah dirumuskan ulang. 

Konsep nasionalisme yang didalam textbook adalah dibatasi secara administrasi wilayah kekuasaan ternyata didalam zaman global ini menemukan format yang telah dirumuskan ulang.