20 November 2003

opini musri nauli : YULIDAR DAN PROBONO


Dalam satu bulan terakhir ini, publik diajak melihat bagaimana proses hukum terhadap Yulidar terseok-seok langkahnya. 
Yulidar yang telah mengalami penculikan, penganiayaan dan pemerkosaan ketika mengajukan agar kasusnya dibongkar melalui proses peradilan ternyata dalam perkembangannya sama sekali tidak mengalami kemajuan. Misteri satu belum dibongkar kemudian misteri lainnya semakin menyelimuti. 

Publikpun semakin pesimis ketika proses ini tidak mengalami kemajuan. Bahkan dengan dipanggilnya Yulidar sebagai saksi dalam perkara 310 dan 335 KUHP oleh Polda Jambi semakin menjawab kekhawatiran publik bahwa kasus ini kemudian membentur tembok dan semakin jauh dari realitas keadilan yang diinginkan oleh publik. 

Dalam pengamatan penulis selaku praktisi hukum, ada yang memiris dada melihat bagaimana publik menjadi apatis dan sama sekali tidak berharap agar kasus ini segera diungkapkan. 

Titik perhatian penulis adalah bagaimana ketika kasus ini menguap ke permukaan, sms (Short message servise) yang dikirimkan melalui Redaksi yang kemudian dimuat oleh harian Jambi Ekspress. 

Ungkapan seperti bahwa karena Yulidar orang miskin maka kasus ini menjadi terhenti. 

Atau karena Yulidar orang miskin maka banyak yang tidak menarik perhatian masyarakat. Kata-kata “miskin” sengaja penulis garis bawahi sebagai titik perhatian diskusi penulis tawarkan. 

Dalam istilah dikalangan hukum, determinan kata-kata miskin diterjemahkan dengan istislah “orang tidak mampu”. 

 Dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP dinyatakan “dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih, bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkatan pemeriksaan dalam proses semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka”. 

 Dari pernyataan pasal tersebut dapat kita simpulkan sebagai berikut. (1) bahwa KUHAP memberikan ruang determinan istilah tidak mampu kepada pelaku yang ancaman pidana tertentu; (2) negara haruslah menyediakan penasehat hukum untuk mendampingi setiap proses pemeriksaan; (3) adanya pengakuan negara terhadap terdakwa dimuka persidangan sehingga tercipta peradilan fair dan adil kepada terdakwa; 

Determinan istilah tidak mampu inilah yang menurut penulis sering dikategorikan miskin. 

Dalam administrasi peradilan, tersangka/terdakwa haruslah membuktikan ketidakmampuannya dengan surat keterangan tidak mampu dari pejabat yang berwenang. 

Pemaparan ini sekaligus membantah adanya pernyataan bahwa tidak mampu ini adalah tidak mampu pengetahuan dibidang hukum. Pemikiran ini juga menghinggapi terhadap para saksi. 

Yulidar yang dapat dikategorikan tidak mampu walaupun tidak diatur dalam KUHAP, namun tidak mampu Yulidar (miskin) merupakan jiwa yang melekat terhadap profesi Penasehat Hukum (officium Nobile) didalam menjalankan tugasnya. 

Artinya Yulidar dapat meminta bantuan hukum kepada para advokat untuk mendampingi proses tersebut sehingga proses hukum terhadap Yulidar dapat didampingi Advokat. 

Lantas ketika negara ternyata haruslah menyediakan Penasehat Hukum terhadap tersangka/terdakwa, bagaimana negara menyediakan Pengacara bagi masyarakat miskin (pro bono). 

Dalam peraturan perundang-undangan, penasehat hukum terhadap saksi korban sama sekali tidak diatur. 

Ketentuan ini hanya dapat ditemui dengan prinsip Officium Nobile. 

Prinsip yang melekat terhadap profesi advokat bahwa tidak seorangpun ditolak persengketaannya karena tidak ada biaya (Pro bono publico). System ini memiliki hubungan erat dengan equlity before of law and access to legal councel yang menjamin keadilan bagi semua orang. 

Oleh karena itu prinsip officium nobile merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusional terutama didalam pasal 27 ayat 1 yang berbunyi “setiap warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Tulisan ini pernah penulis sampaikan dan dimuat di Mingguan Sinar Jambi Baru, 31 Agustus 2000. 

Kenapa penulis tersentak ketika determinan “miskin” dari kasus Yulidar?. Ada beberapa pertimbangan penulis sehingga harus mengungkapkannya sebagai pertanggungjawaban profesi. 

Pertama sebagai negara hukum, semua orang dipandang sama dihadapan hukum (equality before the law) dan semua orang harus dapat menunjukkan advokat atau penasehat hukum (access to counsel) untuk dibela kepentingannya. Kedua. Criminal Justice System. 

Sebagai negara yang berkembang (development country), Indonesia mempunyai masalah dalam penegakan hukum pidana. Polisi, Jaksa, Hakim dan petugas kemasyarakatan belum bias bekerja sama secara terpadu untuk satu tujuan bersama yakni pencapaian keadilan bagi masyarakat berdasarkan proses hukum yang adil. 

Masing-masing subsistem masih bekerja terkotak-kotak dan belum terpadu. Sehingga profesi Advokat dapat mengambil peran dalam mewujudkan criminal justice system dan kepercayaan masyarakat terhadap proses ini dapat tercapai. 

Ketiga. Bahwa profesi advokat yang melekat pro bono publico atau dalam bahasa Belandanya prodeo sebagai penjabaran persamaan hak dihadapan hukum (equlity beofe the law) dianggap merupakan katup pengaman (safety valve) untuk meredam keresahaan social yang dapat berakibat buruk seperti huruhara (riot), gejolak social (social turmoil). 

 Hal ini belum dapat mendapatkan tempat yang layak dalam system hukum di Indonesia. J

elas didalam keadaan seperti ini Pemerintah dan masyarakat harus turut bertanggungjawab dalam memberikan bantuan yang dibutuhkan oleh masyarakat. 

Bantuan hukum ini sifatnya membela kepentingan masyarakat terlepas dari latar belakang etnis, asal-usul, keturunan, warna kulit, ideology, keyakinan politik, kaya miskin, agama dan kelompok orang yang dibelanya. Sehingga sudah selayaknya profesi pengacara haruslah dipahami.