Kasus ini mempertentangkan persepsi hukum apakah hukum itu bersifat formalitas ataukah nurani.
Dua pertentangan ini dalam berbagai diskusi seringkali menimbulkan perdebatan panjang dan para pengikut dua aliran ini saling meyakini bahwa aliran satu lebih baik daripada aliran yang lain. Namun pada kesempatan ini penulis mengajak sejenak untuk tidak mempertentangkan karena kajian ini telah dibahas tuntas dalam mimbar akademik.
Tapi penulis sengaja mengajak publik apakah kasus ini menarik untuk kita diskusikan sebagai bahan kajian dalam melihat posisi hukum di Indonesia ataukah hanya kasus ini merupakan kasus yang menghiasi media massa tanpa adanya pelajaran yang dapat kita petik hikmahnya.
Ketika kasus Yulidar kemudian diekspose dimedia massa, kasus ini langsung menarik perhatian publik. Kasus penculikan, penganiayaan dan perkosaan terhadap seorang bocah Yulidar (14 tahun) pelajar Kelas VI SD.
Yulidar pelajar SD 172 Kelurahan Selamat itu, datang bersama kuasa Hukumnya Herlina ke Poltasbes Jambi. Kasus yang lama tersebut menguap ketika keluarga korban yang tidak mampu dan tidak memiliki uang untuk menuntut kasus yang konon dipending atau sengaja didiamkan. (Baca Posmetro, 16 Oktober 2003).
Namun yang menarik perhatian penulis adalah ketika proses ini sedang berlangsung, Yulidar kemudian dipanggil menjadi saksi berdasarkan pasal 310 dan 335 KUHP.
Dua pasal menarik perhatian penulis, karena hampir 7 tahun penulis menyoroti pasal ini sebagai bentuk keprihatinan penulis bagaimana hukum ternyata tidak beranjak maju menghadapi perkembangan zaman.
Dalam tulisan di Harian Jambi Independent tanggal 10 Desember 2002, penulis telah memaparkan bahwa pasal-pasal di KUHP termasuk pasal 310 dan pasal 335 KUHP merupakan peraturan perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan HAM.
Kata-kata dianggap bertentangan sengaja penulis sampaikan karena masih dalam perdebatan ahli hukum dalam menafsirkan ketentuan pasal tersebut.
Dalam tulisan yang sama selain pasa 310 dan pasal 335 KUHP juga termasuk pasal seperti pasal 510 arak-arakan dimuka umum (dahulu lebih dikenal dengan pasal “Rapat gelap”), pasal 134, 154 dan 160 yang mengatur tentang pasal penyebar kebencian (Hatzaai Artikelen), Pasal 170 dan pasal 187 KUHP yang sering diperlakukan terhadap aktivis tani, buruh dan mahasiswa dengan mengambil korban Cecep cs, pasal 212 dan Pasal 281 yang sering digunakan untuk membubarkan demonstrasi.
Selain pasal yang telah diatur didalam KUHP tersebut, penulis juga menyoroti tentang UU No. 12 Tahun 1951 yang lebih sering digunakan orang yang membawa senpi dan sajam. Pasal ini digunakan untuk menghukum Anas Bafadhal ketika menolak Pemilihan Wawako. Dan UU No. 9 Tahun 1998 yang lebih dikenal sebagai UU Unjuk rasa.
Deskripsi yang penulis tawarkan berdasarkan pemetaan yang telah dilakukan terhadap penggunaan pasal tersebut lebih sering digunakan sebagai bentuk sikap otoriter Pemerintah didalam membungkam suara kritis terhadap kebijakan Pemerintah.
Pasal-pasal yang telah penulis uraikan diatas, telah memakan korban baik dari petani yang tengah memperjuangkan tanahnya yang digusur untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit, aktivis mahasiswa yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, buruh yang tengah berjuang memperebutkan hak-haknya dan tentu saja pihak-pihak yang kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Pasal-pasal yang digunakan berdasarkan KUHP semata ternyata selain tidak memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat juga memberikan catatan jelek terhadap rezim yang berkuasa di Indonesia.
Pada masa Pemerintahan Belanda, Pasal 160 KUHP yang lebih dikenal sebagai pasal penyebar kebencian dikenakan kepada Soekarno tahun 1927 yang dalam Nota Pembelaannya, Soekarno memberi judul yang terkenal “INDONESIA MENGGUGAT”.
Namun pada masa setelah merdekapun, pasal ini dikenakan kepada Pajubul Rahman (Mahasiswa ITB) yang melakukan demonstrasi kampus terhadap Meteri dalam Negeri ketika itu Rudini.
Pasal ini juga dikenakan terhadap Nuku Soelaiman dan Yenny Rosa Damayanti yang melakukan demonstrasi terhadap penentangan SDSB, juga terhadap Bintang Pamungkas dalam kasus Dreslen. Pasal ini di Jambi dikenakan kepada Cecep CS pasca pengrusakan Kantor Polda Jambi.
Pasal 510 lebih dikenal sebagai pasal lima ribu perak. Karena adanya denda sebesar lima ribu rupiah.
Perlu dicatat bahwa pada masa lalu, pasal 510 ini sering digunakan untuk membubarkan demonstrasi tanpi izin, membubarkan seminar dan lokakarya walaupun diadakan di kampus.
Juga pernah diperlakukan terhadap rapat tanpa izin.
Pasal 310 dan pasal 335 lebih dikenal sebagai pasal Keranjang sampah. Artinya pasal ini digunakan untuk membungkam pihak-pihak yang kritis dengan alasan mencemarkan nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan.
Pasal ini setiap pemerintahan sering digunakan. Bahkan terakhir menimpa terhadap Pimpinan Redaksi majalah Tempo dalam pemuatan berita Tanah Abang.
Pasal 170 dan pasal 187 lebih dikenal sebagai pasal melakukan kekerasan terhadap benda dimuka umum. Dalam beberapa kasus yang penulis soroti pasal ini effektif untuk membungkam pejuang demonstrasi dalam pasca huru-hara social. Misalnya pembakaran PT. DAS November 1998, PT. Tebora Maret 1999, PT. KDA September 1999, PT Jamika Raya Januari 2000.
Juga diperlakukan terhadap aktivis Mahasiswa dalam pasca pelembaran kantor Gubernur, perusakan kantor Polda dan sebagainya.
Pasal 212 dan Pasal 218 effektif digunakan terhadap demonstrasi yang berunjuk rasa karena melawan perintah bubar dari pejabat yang berwenang. Pasal ini diperlakukan terhadap petani, buruh dan mahasiswa dan aksi-aksinya apabila diperintah bubar oleh Polisi.
Penggunaan pasal dengan penafsiran legal formal membuat hukum dijadikan alat terhadap kepentingan tertentu. Hukum tidak menjadi alat yang kemudian effektif dan memberikan “rasa aman” kepada rakyat.
Penafsiran ini bertentangan dengan HAM (Pasal 28 - 35 UU No. 39 Tahun 1999)
Dalam perjalanan bangsa Indonesia, ternyata pasal-pasal tersebut sering digunakan terhadap rakyat yang kritis terhadap kebijakan Pemerintah.
Baik itu pejuang buruh, tani mahasiswa dan masyarakat yang concern dengan persoalan demokrasi di Indonesia.
Walaupun secara legal formal pasal-pasal tersebut masih berlaku, namun semangat terhadap pasal-pasal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi di masa reformasi.
Maka sudah saatnya pasal-pasal itu tidak dikenakan terhadap para kaum kritis di Indonesia.
Namun yang menarik bagi penulis, adalah catatan terhadap proses penyidikan yang tengah dilakukan oleh Poltabes dalam mengusut misteri penculikan terhadap Yulidar.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa proses hukum didalam membongkar misteri penculikan terhadap Yulidar masih berlangsung. Yulidar sebagai saksi korban telah melaporkan kepada Polisi terhadap tindak pidana yang dilakukan terhadapnya. Para saksi telah dipanggil.
Walaupun proses ini tengah berlangsung, namun yang pasti Yulidar telah menempuh proses hukum.
Artinya menyelesaikan persoalan ini dengan menyerahkan kepada aparat hukum untuk mengusut tuntas kasus ini.
Sikap yang diambil oleh Yulidar ini memang melambangkan sikap sebagai bentuk tanggung jawab negara hukum.
Maka sudah semestinya sikap ini harus diberi perlindungan terhadap Yulidar dalam proses penyidikannya. Namun sungguh saying yang terjadi.
Ketika proses itu tengah berlangsung, para pihak yang merasa tidak puas kemudian melaporkan kepada Polda Jambi dengan tuduhan pasal 310 dan pasal 335 KUHP. Para pihak yang telah membuat laporan dengan tuduhan pasal tersebut tidaklah salah.
Namun sungguh bijak ketika Polda Jambi memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada Poltabes untuk membongkar misteri ini. Bukan memanggil saksi Yulidar sebagai saksi dengan tuduhan Pasal 310 dan pasal 335 KUHP.
Kalaulah proses pemeriksaan terhadap dengan tuduhan pasal 310 dan pasal 335 KUHP berjalan disatu sisi dan pemeriksaan terhadap Yulidar dalam membongkar misteri ini berjalan disisi lain, maka akan ada tumpang tindih dan apapun yang terjadi akan menimbulkan kerancuan dan justru memberikan pendidikan hukum yang jelek kepada masyarakat.